LAPORAN
PENELITIAN HADITS TENTANG BUAH MENTIMUN
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Naqd al-Hadits
Dosen Pengampu: Prof. Dr. H. Muhammad Erfan Soebahar, M. Ag.
Di
susun oleh :
Siti
Chaizatul Munasiroh ( 133111045)
Muhammad Elhan
Fikry (133111070)
Muhammad
Lukmanul Hakim (133111081)
FAKULTAS
ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015
I.
PENDAHULUAN
Al-Qur’an
dan As-Sunnah adalah dua sumber utama hukum Islam yang memiliki sifat holistik
dan menyeluruh. Keduanya mengatur
seluruh sendi kehidupan manusia, dari manusia itu hadir ke dunia ini hingga ia
kembali kepada Ilahi. Al-Qur’an menjadi sumber utama hukum Islam yang
membutuhkan perincian dari As-Sunnah (Al-Hadits), maka keduanya saling
melengkapi dan tidak dapat dipisahkan. Berkaitan dengan kedudukan As-Sunnah
yang begitu urgen sebagai sumber hukum Islam, disebutkan dalam sebuah hadits, Nabi
bersabda : “Ketahuilah, sesungguhnya aku diberikan al-Kitab (al-Qur’an) dan
yang sepertinya (yaitu as-Sunnah) bersamanya. Tentunya hadits yang dimaksud
adalah hadits yang telah mengalami seleksi keshahihan sehingga hadits tersebut
terlepas dari segala bentuk cacat dan kelemahan.
Namun,
muncul permasalahan bagaimana kita mengetahui bahwa hadits tersebut shahih?
Maka di sini perlu adanya kegiatan penelitian hadits untuk mengetahuinya. Oleh
karena itu dalam makalah ini akan dibahas tentang contoh langkah-langkah penelitian
hadits mengenai Buah Mentimun .
II.
PEMBAHASAN
A.
Takhrijul
Hadits
رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَأْكُلُ الْقِثَّاءَ بِالُّرطَبِ
“Rasulullah
SAW memakan ketimun dengan kurma”
Takhrijul hadits adalah penelusuran atau pencarian hadits pada
berbagai kitab sebagai sumber asli dari hadits yang bersangkutan, yang di
dalamnya dikemukakan secara lengkap matn dan sanad hadits yang bersangkutan.[1]
Adapun dalam makalah ini, Pemakalah menggunakan metode Takhrijul Hadits bil
Lafdzi. Yaitu menggunakan lafadz hadits “القثاء” sebagai kata
kunci untuk mencari dan menulusuri hadits pada tema yang sama dengan sanad dan
periwayat yang berbeda di dalam kamus Al-Mu’jam Al-Mufahras li Al-Fadhil
Hadits An-Nabawi.[2]
Hasil penelusuran ditemukan hadits tentang makan mentimun ini dalam beberapa
kitab, di antaranya :
1.
Imam
Ahmad bin Hanbal dalam kitab Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, Jilid 2 halaman 670.
حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيْمُ بْنُ سَعْدٍ
عَنْ أَبِيْهِ قَالَ: سَمِعْتُ عَبْدَاللهِ بْنَ جَعْفَرٍ قَالَ: رَأَيْتُ النَّبِيَّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَأْكُلُ الْقُثَّاءَ بِالُّرطَبِ (رواه احمد)[3]
2.
Imam
Bukhari dalam kitab Shahih Bukhari Bab Makanan, Sub Bab 39 dan 45
حَدَّثَنَاعَبْدُ
الْعَزِيْزِ بْنُ عَبْدُاللهِ قَالَ: حَدَّثَنِي إِبْرَاهِيْمُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ أَبِيْهِ
عَنْ عَبْدِاللهِ بْنِ جَعْفَرٍ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ:
رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَأْكُلُ الرُّطَبَ بِالْقِثَّاءٍِ
(رواه البخارى)
حَدَّثَنِي
إِسْمَاعِيْلُ بْنُ عَبْدِاللهِ قَالَ: : حَدَّثَنِي إِبْرَاهِيْمُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ
أَبِيْهِ قَالَ: سَمِعْتُ عَبْدَاللهِ بْنُ جَعْفَرٍ قَالَ: رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَأْكُلُ الرُّطَبَ بِالْقِثَّاءِ (رواه البخارى)[4]
3.
Ibnu
Majah dalam kitab Sunan Ibnu Majah Bab Makanan, Sub Bab 37
حَدَّثَنَا يَعْقُوْبُ بْنُ حُمَيْدٍ بِنْ
كَا سِبٍ، وَإِسْمَاعِيْلُ بْنُ مُوْسَي، قَالَا: حَدَّ ثَنَا إِبْرَاهِيْمُ بْنُ
سَعْدٍ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ عَبْدِاللهِ بْنِ جَعْفَرٍ قَالَ
: رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَأْكُلُ الْقِثَّاءَ
بِالرُّطَبِ. (رواه ابن ماجه)[5]
4.
Abu
Dawun dalam kitab Sunan Abu Dawud Bab Makanan, Sub Bab 44
حَدَّثَنَا
حَفْصُ بْنُ عُمَرَ النُّمَرِيُّ قَالَ: حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيْمُ بْنُ سَعْدٍ، عَنْ
أَبِيْهِ عَنْ عَبْدِاللهِ بْنِ جَعْفَرٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ :كَانَ يَأْكُلُ الْقِثَّاءَ بِالرُّطَبِ. (رواه أبو داود)[6]
5.
At-Tirmidzi
dalam kitab Jami’ At-Tirmidzi Bab Makanan,
Sub Bab 37
حَدَّثَنَا
إِسْمَاعِيْلُ بْنُ مُوْسَي الْفَزَارِيُّ: حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيْمُ بْنُ سَعْدٍ،
عَنْ أَبِيْهِ عَنْ عَبْدِاللهِ بْنِ جَعْفَرٍ قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَأْكُلُ الْقِثَّاءَ بِالرُّطَبِ. (رواه الترمذى)[7]
6.
Imam
Muslim dalam kitab Shahih Muslim bab Minuman,
Sub bab 23
حَدَّثَنَا
يَحْيَ بْنُ يَحْيَ التَّمِيْمِيُّ وَعَبْدُاللهِ ابْنُ عَوْنٍ الْهِلاَلِيُّ قَالَ
يَحْيَ: أَخْبَرَنَا، وَقَالَ ابْنُ عَوْنٍ: حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيْمُ بْنُ سَعْدٍ
عَنْ أَبِيْهِ عَنْ عَبْدِاللهِ بْنِ جَعْفَرٍ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَأْكُلُ الْقِثَّاءَ بِالُّرطَبِ. (رواه مسلم)[8]
B.
I’tibar
Sanad
Untuk skema sanad secara keseluruhan dari hadits tentang makan
mentimun yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Ibnu Majah, Imam Muslim, Imam
Bukhari, At-Tirmidzi dan Abu Dawud disampaikan dalam lampiran I.
C.
Jam’ur
Ruwah
Pemakalah memilih hadits tentang memakan mentimun yang mukharijjnya
adalah Imam At-Tirmidzi, dengan
hadits sebagai berikut :
حَدَّثَنَا
إِسْمَاعِيْلُ بْنُ مُوْسَي الْفَزَارِيُّ: حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيْمُ بْنُ سَعْدٍ،
عَنْ أَبِيْهِ عَنْ عَبْدِاللهِ بْنِ جَعْفَرٍ قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَأْكُلُ الْقِثَّاءَ بِالرُّطَبِ. (رواه الترمذى)
Adapun Tabel periwayat dan urutan sanad dari Hadits memakan
mentimun dari Imam At-Tirmidzi adalah sebagai berikut :
NO
|
Nama
Periwayat
|
Urutan
sebagai Periwayat
|
Urutan
sebagai Sanad
|
1
|
Abdullah bin Ja’far
|
Periwayat
1
|
Sanad
4
|
2
|
Sa’ad bin Ibrahim
|
Periwayat
2
|
Sanad
3
|
3
|
Ibrahim bin Sa’ad
|
Periwayat
3
|
Sanad
2
|
4
|
Isma’il bin Musa Al-Fazariy
|
Periwayat
4
|
Sanad
1
|
5
|
Imam At-Tirmidzi
|
Periwayat
5
|
Mukharijjul
Hadits
|
Tabel P
Tabel persambungan Periwayatan Hadits dapat dilihat pada lampiran
II dan berikut adalah analisisnya :
1.
Periwayat
pertama adalah Abdullah bin Ja’far (w. 80 H). Nama aslinya adalah
Abdillah bin Ja’far bin Abi Thalib Qurasyiyu al-Hasyimiyu. Beliau mempunyai
guru di antaranya, Nabi Muhammad Saw, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib,
Ammar bin Yasar. Sedangkan muridnya antara lain, Ishaq bin Abdullah bin Ja’far,
Isma’il bin Abdullah bin Ja’far, Sa’du bin Ibrahim bin Abdurrahman bin Auf,
Abbas bin Sahal bin Sa’din As-Sa’diyyu. Periwayat pertama ini merupakan sahabat
Nabi SAW yang diajar langsung oleh beliau maka tidak diragukan lagi
kedhabitannya.[9]
2.
Periwayat
yang kedua adalah Sa’din bin Ibrahim (w. 125 H). Nama aslinya adalah Sa’du bin
Ibrahim bin Abdirrahman bin Auf al-Qurasyiyu az-Zuhriyyu. Guru beliau di
antaranya, Ibrahim bin Abdirrahman bin Auf, Abdullah bin Ja’far bin Abi
Thalib. Sedangkan muridnya antara lain, Ibnuhu Ibrahim bin Sa’din,
Khammad bin Salamah.
Menurut
Muhammad bin Sa’din, Muhammad bin Ahmad bin Hanbal dan Yahya bin Ma’in beliau
adalah seorang tsiqah.[10] Begitu juga dengan beberapa Ulama kritikus
lain, yang mengatakan bahwa beliau adalah tsiqah sehingga metode periwayatan ‘An
yang digunakan beliau dapat diterima dan sanad antara beliau dengan Abdullah
bin Ja’far itu bersambung karena beliau merupakan muridnya.
3.
Periwayat
yang ketiga adalah Ibrahim bin Sa’id (L. 108 H dan w. 183 H) yang mempunyai
nama asli Ibrahim bin Sa’din bin Ibrahim bin Abdirrahman bin Auf al-Qurasyiyu
al-Zuhriyyu. Guru beliau di antaranya, Abi Shahrah Khumaid bin Ziyad
al-Madaniyyu, ayahnya sendiri yaitu Sa’din bin Ibrahim. Sedangkan murid
beliau di antaranya, Ibrahim bin Khamzah al-Zubairiyyu, Abdillah bin ‘Aun
al-Hilaaliy al-Khorrozi, Isma’il bin Musa al-Fazariyyu.[11]
Menurut
Abdullah bin Ahamad bin Hanbal, Ahmad bin Abdullah bin Shalih al-‘Ijli dan Abu
hatim beliau adalah seorang yang tsiqah. Adapun Persambungan
sanadnya bisa dilihat tidak ragu lagi adalah bersambung karena beliau
merupakan putra sekaligus murid dari Sa’din bin Ibrahim.
4.
Periwayat
yang keempat adalah Isma’il bin Musa al-Fazariyyu (w. 245 H). Guru beliau
adalah Ibrahim bin Sa’din, Abdillah bin Bukair al-Ghonawiyyi, Malik bin
Anas, Abi Ma’mar Sa’id bin Khutsaim al-Hilaliy. Adapun muridnya antara lain At-Tirmidzi,
Abu Dawud, Abu Ya’la Ahmad bin Ali bin al-Matsna al-Mausiliyy, Isma’il bin
Harun al-Kufiy.[12]
Menurut
Abdurrahman bin Abi Hatim, Muhammad bin Abdullah al-Khadhramiyyu dan An-Nasa’i
beliau adalah orang yang Shoduq. Artinya beliau adalah orang yang
benar (cukup dibenarkan apa yang dikatakannya dalam hadits tersebut). Jadi
Shoduq di sini merupakan lafadz at-Ta’dil yang kedhabitannya berkurang sedikit
dari level tsiqah. Shoduq ini dapat mempengaruhi keshahihan sanad hadits dan
membuat hadits menjadi bestatus hasan.[13] Adapun sanadnya bersambung karena
beliau adalah murid dari Ibrahim bin Sa’din.
5.
Imam
At-Tirmidzi (w. 299 H) memiliki nama lengkap Muhammad bin Isa bin Saurah bin
Musa bin adh-dhahak. Di antara guru-guru beliau adalah Qutaibah bin Sa’id,
Mahmud bin Ghailan, Isma’il bin Musa al-Fazariy, Imam Bukhari, Ahmad bin
Mani’. Sedang murid-muridnya antara lain Abu Bakr Ahmad bin Isma’il bin Amir
As-Samarkandi, Abu Hamid Ahmad bin Abdullah bin Dawud, Ahmad bin Yusuf
an-nisafiy.[14]
Abu
Ya’la al-Khalili menuturkan bahwa beliau seorang yang tsiqah
menurut kesepakatan para Ulama, terkenal dengan amanah dandan keilmuannya.
Adapun persambungan sanadnya bisa dilihat bahwa sanadnya bersambung karena
At-Tirmidzi merupakan murid dari Isma’il bin Musa al-Fazariy.
D.
Natijah
Sanad
Unsur keshahihan sanad menurut M. Syuhudi Isma’il adalah sanadnya
bersambung dari Mukharrij sampai Nabi SAW, periwayatnya tsiqah dan tidak ada
kejanggalan dan cacat.[15]
Dari skema I’tibar sanad dan Jam’ur Ruwah hadits tentang memakan mentimun dari
riwayat Imam At-Tirmidzi dapat diketahui bahwa periwayat haditsnya bersambung
mulai dari Imam At-Tirmidzi sampai dengan Nabi Muhammad SAW. Sebagai bukti
persambungan sanadnya dilihat dari kesambungan sebagai guru, murid, atau ayah
dan anak serta dapat dilihat dari tahun kelahiran dan kewafatan yang
menunjukkan bahwa mereka pernah saling bertemu.
Adapun kualitas Para Perawinya dari data yang disampaikan di dalam
bagian Naqd al-Sanad, para ulama menyatakan mereka adalah tsiqah kecuali
Isma’il al-Fazariy yang seorang shoduq. Lafadz at-Ta’dil Shoduq ini mengakibatkan
kualitas sanad tidak shahih dan kualitas hadits menjadi bestatus hasan. Ini
sesuai dengan pendapat M. Syuhudi Ismail tentang hadits hasan, yaitu hadits
yang sanadnya bersambung dari awal sampai akhir, para periwayatnya bersifat
adil namun kedhabitannya agak kurang sedikit, serta terhindar dari syudzuz dan
illat.[16] Jadi
kualitas sanadnya adalah hasan li dzatih. Namun kualitasnya terangkat
menjadi shahih li ghairih karena mendapat sokongan dari
mukharrijul hadits lain yang mempunyai sanad shahih dan periwayat yang tsiqah.
E.
Naqd
al- Matn
Setelah melakukan Naqd al-Sanad yang kesimpulannya adalah shahih li
ghairih maka selanjutnya adalah melakukan Natijah Matn yaitu dengan melakkukan
telaah Lafadz. Hal ini dilakukan karena hadits yang sampai kepada para
mukharrij memiliki keberagaman lafadz sehingga perlu dilakukannya telaah lafadz
pada hadits-hadits tersebut. Ulama-ulama
hadits berpendapat bahwa perbedaan lafadz yang tidak mengakibatkan perbedaan
makna dan sanadnya shahih maka hal ini dapat ditoleransi.[17]
Adapun matn yang kualitasnya baik atau shahih menurut Sahahud-Din
al-Adlabi yaitu :
1.
Tidak
bertentangan dengan petunjuk al-Qur’an
2.
Tidak
bertentangan dengan hadits yang lebih kuat
3.
Tidak
bertentangan dengan akal yang sehat, indera, dan sejarah
4.
Susunan
pernyataannya menunjukkan ciri-ciri sabda kenabian
Dalam hadits memakan buah mentimun dengan kurma yang diriwayatkan
oleh Imam At-Tirmidzi, Imam Ahmad, Imam Muslim, Ibnu Majah, dan Abu Dawud
memiliki susunan lafadz dan makna yang sama, yaitu :
رسول
الله صلى الله عليه و سلم يأكل القثاء بالرطب
Namun dalam periwayatan Imam Bukhari lafadznya dibalik menjadi
kurma terlebih dahulu baru kemudian mentimun, berikut ini lafadznya :
رسول
الله صلى الله عليه و سلم يأكل الرطب بالقثاء
Perbedaan tersebut hanya pada susunan lafadznya namun arti dan
kandungan maknanya sama, yaitu menjelaskan bahwa Rasulullah SAW pernah memakan
dua buah secara bersamaan dalam waktu yang sama antara buah mentimun dengan
buah kurma.
Setelah melakukan Naqd al-Matn dapat dipahami bahwa hadits ini
tidak bertentangan dengan Al-Qur’an Surat Al-Mukminun ayat 19 yang berbunyi :
فَأَنْشَأْنَا
لَكُمْ بِهِ جَنّتٍ مِّنْ نَّخِيْلٍ وَأَعْنبٍ لَكُمْ فِيْهَا فَوَاكِهُ كَثِيْرَةٌ
وَمِنْهَا تَأْكُلُوْنَ {19}
“Lalu dengan (air) itu, kami tumbuhkan untukmmu kebun-kebun kurma dan anggur, di sana
kamu memperoleh buah-buahan yang banyak dan sebagian dari (buah-buahan) itu
kamu makan.” (QS. Al-Mukminun: 19)
Tafsir ayat ini adalah Allah
SWT menurunkan air ke bumi sehingga terbuka mata air dan sungai yang dapat
mengairi kebun-kebun yang di dalamnya terdapat berbagai macam tanaman dan
buah-buahan. Dan ketika sudah masak dan matang, sebagian
dari buah-buahan itu kamu makan.[18] Tafsir tersebut mencerminkan bahwasannya Allah SWT
membolehkan manusia memakan buah-buahan yang sudah disediakan oleh-Nya dan
boleh dimakan secara bersamaan.
F.
Fiqh
al-Hadits
Adapun kandungan makna dari hadits yang diriwayatkan Imam
At-Tirmidzi yaitu tentang memakan mentimun dengan kurma, dimana hadits ini
diawali dari Abdullah bin Ja’far yang melihat langsung Rasulullah SAW telah
memakan mentimun dengan kurma. Dan di dalam hadits ini terdapat bebarapa
pelajaran penting di antaranya : dibolehkannya memakan dua jenis buah tersebut
secara bersamaan, boleh memakan dua jenis buah-buahan secara bersamaan, memperbanyak jenis makanan yang dimakan. Adapun
yang diriwayatkan dari sebagian Salafus Shalih hukumnya makruh membiasakan
makan dengan berbagai macam makanan secara berlebihan, begitu juga memperbanyak
macam makanan yang tidak sesuai dengan ajaran agama.[19]
Nabi mencampur buah kurma dengan mentimun adalah supaya yang satu
memperbaiki yang lain dan menghilangkan kekurangan yang lain. Buah mentimun
menghilangkan haus, menyegarkan badan, sedang kurma masak menguatkan maidah
yang basah, tetapi dapat mengakibatkan haus. Maka dengan bercampur dua macam
makanan itu badan menjadi segar dan subur.[20]
Jadi perpaduan satu kalimat dan syarah di atas dapat diketahui bahwa Nabi SAW
memakan dua buah itu yaitu Mentimun dan kurma adalah dengan cara bersamaan.
Dari pemaparan di atas dapat diketahui bahwa matn dan kandungan
hadits ini tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan memenuhi standar kualitas
matn yang Shahih. Oleh karena itu, dapat disampaikan bahwa matn hadits ini
berkualitas Shahih.
III.
KESIMPULAN
Dari
penelitian hadits di atas, yang diawali dengan kegiatan Takhrijul Hadits sudah
diketahui bahwa hadits tentang Rasulullah SAW pernah memakan mentimun dengan
kurma itu diriwayatkan oleh banyak Mukharrij seperti, Imam Bukhari, Imam Muslim,
Ibnu Majah, Imam Ahmad, Imam At-Tirmidzi, dan Abu Dawud. Kemudian kesimpulan
dari langkah I’tibar sanad diketahui ada 6 periwayat dan ada 6 sanad
berdasarkan tingkat periwayatannya. Kesimpulan langkah selanjutnya yaitu dari
Jam’ur Ruwah dan Natijah Sanad, para perawinya itu bersambung karena ada
hubungan antar guru dan murid serta kualitas para perawinya itu sebagian ulama
memberikan pendapat bahwa mereka itu tsiqah keculai periwayat keempat.
Selanjutnya
untuk Natijah Matn, lafadz dari beberapa Mukharrij seperti Imam Muslim, Abu
Dawud, Ibnu Majah, Imam Ahmad, At-Tirmidzi, susunan matnnya sama hanya berbeda
dalam riwayat Imam Bukhari yang membalik antar lafadz “Qitsa’” dengan “Rutab”.
Akan tetapi arti yang dikandung adalah sama, yaitu Nabi SAW pernah memakan dua
buah tersebut secara bersamaan.
Adapun
kandungan maknanya dapat disimpulkan bahwa memakan dua buah secara bersamaan
itu diporbolehkan. Serta buah mentimun dan kurma sendiri memiliki banyak
manfaat bagi kesehatan. Jadi hadits tentang memakan mentimun dengan kurma yang
diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi ini adalah hadits yang Shahih li
ghairih karena sanadnya bersambung dari awal sampai Nabi SAW dengan
mendapat sokongan dari para mukharrij hadits lain yang shahih seperti Imam
Bukhari, Imam Muslim dan Imam Ahmad serta matnnya memenuhi standar kualitas
matn yang Shahih.
IV.
PENUTUP
Demikian makalah yang kami susun dengan judul “Laporan Penelitian Hadits
tentang Buah Mentimun”, kami menyadari bahwa makalah yang kami susun masih
banyak kekurangan, serta kekeliruan, baik dalam segi penulisan, maupun isi
makalah. Oleh karena itu, pemakalah mengharapkan kritik dan saran dari pembaca
yang bersifat membangun. Terima kasih.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad bin Muhammad bin Hanbal. 2007. Musnad Imam Ahmad. Jakarta:
Pustaka Azzam.
Al-Bukhari, Abu
Abdullah Muhammad bin Isma’il. 2012. Ensiklopedia Hadits Shahih Bukhari II.
Jakarta: Almahira.
Al-Mazzi,
Jamaluddin Abu al-Hajjaj Yusuf. Tahdzibul Kamal Juz 1. Beirut : Dar
al-Fikr.
, Jamaluddin Abu
al-Hajjaj Yusuf. Tahdzibul Kamal Juz 10. Beirut : Dar al-Fikr.
, Jamaluddin Abu
al-Hajjaj Yusuf. Tahdzibul Kamal Juz 17. Beirut : Dar al-Fikr.
, Jamaluddin Abu
al-Hajjaj Yusuf. Tahdzibul Kamal Juz 2. Beirut : Dar al-Fikr.
, Jamaluddin Abu
al-Hajjaj Yusuf. Tahdzibul Kamal Juz 7. Beirut : Dar al-Fikr.
An-Naisaburi,
Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi. 2012. Ensiklopedia
Hadits Shahih Muslim II. Jakarta: Almahira.
An-Nawawi. 2013. Syarah Shahih Muslim Jilid 9. Jakarta:
Darul Sunnah.
Ash-Shiddiqie,
Muhammad Hasbi. 2003. Mutiara Hadits 6. Semarang: PT Pustaka Rizki Putra.
At-Tirmidzi,
Abu Isa Muhammad bin Isa. 2013. Ensiklopedia Hadits Jami’
At-Tirmidzi. Jakarta: Almahira.
Ibnu Majah, Abu
Abdullah Muhammad bin Yazid al-Qazwini. 2013. Ensiklopedia Hadits Sunan Ibnu
Majah. Jakarta: Almahira.
Isma’il, Muhammad Syuhudi. 1992. Metodologi
Penelitian Hadits Nabi. Jakarta: PT Bulan Bintang.
Musbikin,
Miftahul Asrar & Imam. 2015. Membedah Hadits Nabi SAW. Madiun: Jaya
Star Nine.
Sulaiman, Abu Dawud. 2013. Ensiklopedia Hadits Sunan Abu Dawud.
Jakarta: Almahira.
Syakir, Syaikh Ahmad. 2014. Mukhtasar Tafsir Ibnu Katsir.
Jakarta: Darus Sunnah Press.
Wensinck, A.J. dkk. 1965. Al-Mu’jam Al-Mufahras Li Afadzil
Hadits An-Nabawi. Leiden: E.J. Brill. Juz V.
[1] M. Syuhudi
Isma’il, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, (Jakarta: PT Bulan Bintang,
1992), hlm. 43
[2] A.J. Wensinck
dkk, Al-Mu’jam Al-Mufahras Li Afadzil Hadits An-Nabawi, (Leiden: E.J.
Brill, 1965), Juz V, hlm. 304-305
[3] Ahmad bin
Muhammad bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007),
hlm. 670
[4] Abu Abdullah
Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Ensiklopedia Hadits Shahih Bukhari II, (Jakarta:
Almahira, 2012), hlm. 418
[5] Abu Abdullah
Muhammad bin Yazid al-Qazwini Ibnu Majah, Ensiklopedia Hadits Sunan Ibnu
Majah, (Jakarta: Almahira, 2013), hlm. 603
[6] Abu Dawud
Sulaiman, Ensiklopedia Hadits Sunan Abu Dawud, (Jakarta: Almahira,
2013), hlm. 804
[7] Abu Isa
Muhammad bin Isa at-Tirmidzi, Ensiklopedia Hadits Jami’ At-Tirmidzi,
(Jakarta: Almahira, 2013), hlm. 632
[8] Muslim bin
al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Ensiklopedia Hadits Shahih Muslim II,
(Jakarta: Almahira, 2012), hlm. 306
[9] Jamaluddin Abu
al-Hajjaj Yusuf al-Mazzi, Tahdzibul Kamal Juz 10, (Beirut : Dar al-Fikr),
hlm. 57-60
[10] Jamaluddin Abu
al-Hajjaj Yusuf al-Mazzi, Tahdzibul Kamal Juz 10, hlm. 72-75
[11] Jamaluddin Abu
al-Hajjaj Yusuf al-Mazzi, Tahdzibul Kamal Juz 1, hlm. 349-354
[12] Jamaluddin Abu
al-Hajjaj Yusuf al-Mazzi, Tahdzibul Kamal Juz 2, hlm. 236-237
[13] Baca Miftahul
Asrar & Imam Musbikin, Membedah Hadits Nabi SAW, (Madiun: Jaya Star
Nine, 2015) , hlm. 68-78
[14] Jamaluddin Abu
al-Hajjaj Yusuf al-Mazzi, Tahdzibul Kamal Juz 17, hlm. 133-135
[15] M. Syuhudi
Isma’il, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, hlm. 65
[16] M. Syuhudi
Isma’il, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, hlm. 37
[17] M. Syuhudi
Isma’il, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, hlm. 131
[18] Syaikh Ahmad
Syakir, Mukhtasar Tafsir Ibnu Katsir, (Jakarta: Darus Sunnah Press,
2014) ,hlm. 779-780
[19] Imam
An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim Jilid 9, (Jakarta: Darul Sunnah, 2013),
hlm. 804
[20] Muhammad Hasbi
Ash-Shiddiqie, Mutiara Hadits 6, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra,
2003) , hlm. 227
Komentar