Langsung ke konten utama

FILSAFAT SUHRAWARDI



PEMIKIRAN FILSAFAT SUHRAWARDI (1153-1191 M)

MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Filsafat Islam
Dosen Pengampu: Dr. Mahfud Junaedi, M. Ag.





 
DI SUSUN OLEH :

1.      SITI CHAIZATUL MUNASIROH            ( 133111045)
2.      AGUNG SUPRAYITNO                          (133111051 )
3.      DEWI HUSNAWATI                                (133111079 )





FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
IAIN WALISONGO SEMARANG
2014

I.         PENDAHULUAN
Ketika filsafat muncul dalam kehidupan Islam, kemudian berkembang sehingga banyak dibicarakan oleh orang-orang Arab, tampillah beberapa filosof seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibn Sina dan lain-lain, kaum sejarawan banyak menulis berbagai buku tentang kehidupan, pendapat serta pemikiran mereka. Para penulis buku itu menyebut mereka “kaum filosof Islam”, ada pula yang menamakan “para filosof beragama Islam”, kadang-kadang disebut juga dengan ungkapan “para hikmah Islam” (Falasifatul-Islam, atau Al-falasifatul Islamiyyin atau Hukuma’ul-Islam), mengikuti sebutan yang diberikan Syahrastani, Al-Qithi’, Al-Baihaqi dan lain-lain. Oleh sebab itu Syaikh Musthafa ‘Abdurrazaq mengatakan dalam bukunya yang berjudul Pengantar Sejarah Islam bahwa para ahli filsafat telah sepakat memberi nama demikian, karena pemberian nama lain tidak dibenarkan dan tidak boleh dikisrukan: “Maka kami berpendapat perlu menamakan filsafat itu dengan nama yang telah diberikan oleh ahli filsafat itu sendiri yaitu Filsafat Islam dengan arti bahwa filsafat tersebut lahir di negeri Islam dan berada di bawah pengayoman negara Islam”.[1]
Usaha untuk mencari relasi filsafat dengan tasawuf ternyata tidak hanya didominasi oleh Ibn ‘Arabî dan para pengikutnya. Tetapi, usaha tersebut juga dirintis oleh para filosof lain dengan metode dan pendekatan yang berbeda. Salah satu di antara para filosof itu adalah Suhrawardî. Ia memperkenalkan filsafat iluminasi (al-isyrâqiyat) yang bersumber dari hasil dialog spritual dan intelektual dengan tradisi-tradisi dan agama-agama lain. Suhrawardî memperkenalkan diri sebagai penyatu kembali apa yang disebutnya sebagai hikmat al-ladûnniyat (kebijaksanaan ilahi) dan al-hikmat al-’âtiqat (kebijaksanaan kuno). Ia yakin bahwa kebijaksanaan ini adalah perenial (abadi) dan universal yang terdapat dalam berbagai bentuk di antara orang-orang Hindu, Persia, Babilonia, Mesir Kuno dan orang-orang Yunani sampai masa Aristoteles.

II.      RUMUSAN MASALAH
A.     Bagaimana Riwayat Hidup dan Karya-karya Suhrawardi?
B.     Bagaimana Pemikiran Filsafat Suhrawardi?
C.     Apa saja ajaran pokok ajaran Isyraqiyah?


III.   PEMBAHASAN
A.     Riwayat Hidup dan Karya-karya Suhrawardi
1.      Riwayat Hidup
Syihabuddin Yahya ibn Habasy ibn Amiak Abu Al Futuh Suhrawardi sangat terkenal dalam sejarah filsafat islam sebagai guru iluminasi ( Syekh Al-Isyraq), suatu sebutan baginya yang lazim sebagai pendiri mazhab baru filsafat yang berbeda dengan mazhab peripatetik. [2] Syihab al-Din Suhrawardi dilahirkan di sebuah desa kecil, Suhraward dekat kota Zinjan, di Persia Barat tahun 549/1153 M. Ia mula-mula belajar di bawah bimbingan Majd al-Din Jili di Maraghah dan kemudian belajar pada Zahir al-Din di Isfahan  serta guru lain adalah Fakhr al-Din al-Mardini ( w. 1198) yang juga mengajar di Isfahan atau Mardin. Guru lainnya adalah Zahir al-Farsi yang mengajarkan tentang pengamatan (al-basa’ir) dan ahli logika terkenal, dan Umar ibn Sahlan al-Sawi, salah seorang dari filosof yang namanya disebut ole Suhrawardi, khususnya dengan persoalan-peresoalan tertentu logika yang ruwet, ia membaca kitab toko logika ini yang berjudul al-Basa’ir al-Nusairiyah. [3]
Di Zinjan dan Isfahan ini, ia menyelesaikan pendidikan formalnya dalam bidang agama, ilmu-ilmu filsafat, dan memasuki dunia sufisme ia kemudian pergi mengembara menjelajahi pelosok-pelosok negeri Persia untuk menemui guru-guru sufi. selain itu , ia juga pergi ke Syria dan Antolia.Pada tahun 1183, seusai menulis kita Al Hikmah Al Isyraq, ia melawat ke Aleppo, dan akhirnya ke Damsyik (Damaskus), di Damsyik ini ia diterima menjadi penasihat kerohanian di istana Pangeran Malik Az-Zahir Ghazi, putra Sultan Salahuddin Al-Ayyubi, yang lebih dikenal dengan sultan Saladin. Ini membuat para fuqaha menjadi iri terhadapnya, dan mulai mengecamnya.
Akibatnya dia segera dipanggil Pangeran Al-Zhahir, putra Shalahuddin Al-Ayyubi, yang ketika itu bertindak sebagai penguasa Halb. Pangeran kemudian melangsungkan suatu pertemuan dengan dihadiri para teolog maupun fuqaha. Maka di sinilah dia berhasil mengemukakan argumentasi-argumentasinya yang kuat, yang membuatnya menjadi dekat dengan Al-Zhahir serta mendapat sambutan yang sangat baik. Tetapi orang-orang yang dengki terhadapnya melaporkan kepada Shalahuddin Al-Ayyubi, yang memperingatkan bahaya akan tersesatnya aqidah Al-Zhahir seandainya terus bersahabat dengan Al-Suhrawardi. Shalahuddin Al-Ayyubi, yang terpengaruh laporan tersebut, kemudian memerintahkan putranya untuk segera membunuh Al-Suhrawardi. Maka setelah meminta pendapat para fuqaha Halb, yang memang menjatuhkan fatwa bahwa Al-Suhrawardi harus dibunuh, AI-Zhahir pun memutuskan agar Al-Suhrawardi dihukum gantung. Penggantungan ini berlangsung saat umurnya 38 tahun pada tahun 587/1192 M, dan karena itulah terkadang disebut Guru yang terbunuh ( Asy- Syaikh Al-Maqtul ).[4]
2.      Karya-karya Suhrawardi.
Selama hidupnya, Suhrawardi menulis beberapa karya yang  ditulis dalam bahasa Persia dan Arab.  Tulisan-tulisannya bersifat doktrinal , dimulai dengna sebuah elaborasi dan transformasi berahap filsafat peripateik Ibn Sina dan akhirnya berpncak dalam Hikmah Isyraq ( The Theosophy of the Orient of Light), yang merupakan karya paling penting dalam tradisi filsafat islam. Suhrawardi adalah sosok pemuda yang cerdas, kreatif, dan dinamis. Ia termasuk dalam jajaran para filosof-sufi yang sangat produktif sehingga dalam usianya yang relatif pendek itu ia mampu melahirkan banyak karya. Hal ini menunjukkan kedalaman pengetahuannya dalam bidang filsafat dan tasawuf yang ia tekuni.
Dalam konteks ini, Hossein Nasr mengklasifikasikannya menjadi lima kategosri sebagai berikut: [5]
a.       Memberi interpretasi dan memodifikasi kembali ajaran   peripatetik. Termasuk dalam kelompok ini antara lain kitab : At-Talwihat al-Lauhiyyat al-‘Arshiyyat, Al-Muqawamat, dan Hikmah al-‘Ishraq.
b.      Membahas tentang filsafat yang disusun secara singkat dengan bahasa yang mudah dipahami : Al-Lamahat, Hayakil al-Nur, dan Risalah fi al-‘Ishraq.
c.       Karya yang bermuatan sufistik dan menggunakan lambang yang sulit dipahami: Qissah al-Ghurbah al-Gharbiyah, Al –‘Aql al-akhmar, dan Yauman ma’a Jama’at al-Sufiyyin.
d.      Karya yang merupakan ulasan dan terjemahan dari filsafat klasik klasik: Risalah al-Tair dan Risalah fi al-‘Ishq.
e.       Karya yang berupa serangkaian do’a yakni kitab Al-Waridat wa al-Taqdisat.
Banyaknya karya ini menunjukkan bahwa Suhrawardi benar-benar menguasai ajaran agama-agama terdahulu, filsafat kuno dan filsafat Islam. Ia juga memahami dan menghayati doktrin-doktrin tasawuf, khususnya doktrin-doktrin sufi abad III dan IV H. Oleh karena itu tidak mengherankan bila ia mampu menghasilkan karya besar serta memunculkan sebuah corak pemikiran baru, yang kemudian dikenal dengan corak pemikiran mistis-filosofis (teosofi).[6]
                            
B.     Pemikiran Filsafat Suhrawardi
Suhrawardi memperkenalkan konsep baru yang disebut illuminasionsime (Isyraqiyah), yakni suatu pancaran cahaya yang berasal dari Nur al Anwar. Konsep ini belum ada filsuf muslim yang mengemukakanya. Filsafat Suhrawardi ini adalah perpaduan antara filsafat peripatetik dengan mistisisme Islam.
Kata isyraq yang mempunyai padanan llumination dalam bahasa inggris mempunyai arti cahaya atau penerangan. Dalam bahasa filsafat, iluminationisme berarti sumber kontemplasi atau perubahan bentuk dari kehidupan emosional untuk mencapai tindakan dan harmoni. Bagi kaum isyraq apa yang disebut hikmah bukanlah sekedar teori yang diyakini melainkan perpindahan rohani secara praktis dari alam kegelapan yang didalamnya pengetahuan dan kebahagiaan. Merupakan sesuatu yang mustahil, kepada cahaya yang bersifat akali yang didalamnya pengetahuan dan kebahagiaan dicapai bersama-sama. Karena itu menurut kaum isyraqi sumber pengetahuan adalah penyinaran yang itu berupa semacam hads yang menghubungkan dengan subsatansi cahaya.[7]
Lebih jauh, cahaya adalah simbol utama dari filsafat isyraqi. Simbolisme cahaya digunakan untuk menetapkan suatu faktor yang menentukan wujud, bentuk, materi, hal-hal masuk akal yang primer dan sekunder, intelek, jiwa, zat individual dan tingkat-tingakat intensitas pengalaman mistik. Jelasnya penggunaan simbol-simbol cahaya merupakan karakter dari bangunan filsafat isyraqiah.[8]
Secara umum, sistematika Hikmat al-Isyrâq terbagi ke dalam dua bagian utama. Bagian pertama mengulas sejumlah kritik terhadap pemikiran peripatetis terutama terhadap konsep epistemologi. Bagian kedua membahas konsep cahaya dengan berbagai dimensinya.[9]
Pada bagian pertama, sejalan dengan arah kritik yang dilancarkan, maka kritik epistemologi berkisar antara logika dan sumber ilmu pengetahuan.[10]Dalam kajian tentang sumber ilmu pengetahuan, Suhrawardî membaginya ke dalam pengetahuan hushûlî dan hudhûrî. Pengetahuan hushûlî terbagi ke dalam dua jenis sarana untuk mencapainya. Pertama diperoleh dengan memaksimalkan fungsi indrawi atau observasi empiris. Melalui indra yang dimiliki, manusia mampu menangkap dan menggambarkan segala objek indrawi sesuai dengan justifikasi indrawi yaitu melihat, mendengar, meraba, mencium dan merasa. Kedua diperoleh melalui sarana daya pikir (observasi rasional), yaitu upaya rasionalisasi segala objek rasio dalam bentuk spritual (ma’qûlat) secara silogisme yaitu menarik kesimpulan dari hal-hal yang diketahui kepada hal-hal yang belum diketahui.[11]
Sedangkan pengetahuan hudhûrî adalah pengetahuan dengan kehadiran (observasi ruhani) yaitu pengetahuan yang bersumber langsung dari pemberi pengetahuan tertinggi berdasarkan mukâsyafat (pengungkapan tabir) dan iluminasi.  Konsep ilmu hudhûrî ini dikembangkan Suhrawardî dengan penekanan pada aspek ketekunan dalam mujâhadat, riyâdhat dan ‘ibâdat daripada memaksimalkan fungsi rasio, dengan kata lain ilmu hudhûrî lebih menekankan olah dzikir dari pada olah pikir.[12]
Bagian kedua dari Hikmat al-Isyrâq mengungkapkan pemikiran teosofi Suhrawardî yang memuat konsep metafisikanya.[13]Pada bagian ini, Suhrawardî menjelaskan konsep teosofi yang berpusat pada kajian cahaya (al-isyrâq) sebagai media simbolik. Suhrawardî mengelaborasi cahaya untuk mengungkapkan kesatuan pemikirannya baik pada tataran epistimologi, teologi, dan ontologi.  Pembahasan utama pada bagian ini meliputi hakikat cahaya, susunan wujud (being), aktivitas cahaya, cahaya dominan, pembagian barzâkh (alam kubur), persoalan alam akhirat, kenabian, dan nasib perjalanan manusia menuju purifikasi jiwa.
1.      Mengenai Ketuhanan
Inti filsafat illuminasion adalah sifat dan penyebaran cahaya. Beberapa tokoh sufi menyebutkan Allah dengan cahaya, berdasarkan QS. Al Nur: 35. Sedangkan Suhrawardi menyebut Allah dengan Nur al Anwar. Cahaya merupakan esensi yang paling terang dan paling nyata, sehingga mustahi terdapat sesutau yang lebih terang dan lebih jelas pada cahaya. Oleh karena itu, cahaya pertama tidak memerlukan penyebab luar selain diriNya.[14] Suhrawardi mengikuti argument yang dikemukan oleh Ibn sina dalam menjelaskan wajib al wujud.
Konsep terang dan gelap Suhrawardi diadopsi dari konsep Tuhan dalam ajaran Zoroaster, hal itu tidak berarti bahwa prinsip yang dipakainya adalah sama persis, sebab pada kenyataannya terdapat perbedaaan yang menonjol antara penggunaan konsep terang dan gelap dalam ajaran Zoroaster dan Suhrawardi.[15]
Nur al Anwar merupakan sumber semua gerak. Akan tetapi gerak cahaya disini bukan dalam arti perpindahan tempat. Menurut Suhrawardi, gerakan itulah yang memiliki peran sentral bagi terbentuknya segala wujud yang ada. Dalam hal ini Suhrawardi menegaskan bahwa semua pergerakan adalah atas kehendakNya dan pergerakan tersebut juga sebagai pangkal bagi terciptanya alam semesta.
Dalam pemikiran falsafi Suhrawardi, unsur cinta merupakan modal dari kedinamisan gerak semua makhluk. Semua wujud dan kelangsungan pergerakan makhluk tergantung dari proses penyinaran dari Nur Al Anwar. Penyinaran adalah kunci sentral segala pergerakan. Kenyataan ini mengindikasikan bahwa setiap eksistensi alam semesta menyandarkan wujudnya pada penerangan abadiNya.
Proses penyebaran cahaya yang dikemukakan oleh Suhrawardi tidaklah sama dengan teori emanasi neo-platonis dan filusuf paripatetik. Menurutnya, pancaran  yang dihasilkan oleh sumber pertama tidak hanya terbatas hanya sepuluh, duapuluh, seribu akan tetapi bisa mencapai jumlah yang banyak.[16]
Cahaya yang dihasilkan oleh cahaya yang berada di atasnya melalaui deret tangga vertical, yang semakin jauh semakin berkurang. Seperti pada pancaran sinar matahari, semakin jauh semakin redup. Jadi pancaran cahaya yang dihasilkan melalui Isyraqi sangat tergantung pada intensitas sinar yang dipancarkan dari sumbernya.
2.      Mengenai Kemanusiaan
Konsep jiwa Suhrawadi tidak jauh berbeda dengan pandangan para filosof paripatetik. Ia lebih cenderung mengikuti konsep yang telah disempurnakan oleh para filosof muslim. Seperi konsep jiwa Ibn Sina semakin lengkap dan sempurna. Dia memberikan penjelasan tentang jiwa dan daya-daya yang melekat padanya secara sistematis.
Suhrawardi menuangkan pemikirannya tentang jiwa dalam magnum opusnya Hikmah Al Isyraq, misalnya tentang barzakh, mimpi, ma’ad dan kenabian. Kedua dalam kitab Hayakil al Nur, misalnya argument-argument yang membuktikan adanya jiwa, daya-daya jiwa, karakter-karakternya, sumber-sumber jiwa dan nasib jiwa setelah terlepas dari jasad.
Sebagai bukti adanya jiwa adalah kesadaran diri tiap manusia pada jati dirinya.[17] Suhrawardi menekankan adanya jiwa pada manusia berbeda dari jasad yang ditempati oleh jiwa. Disamping itu, jiwa memiliki kemampuan untuk menyerap makna-makna yang terlepas dari badan. Kemampuan jiwa tersebut menunjukkan bahwa jiwa memiliki karakter-karakter khusus yang tak dimiliki oleh badan. Pada hakikatnya manusia akan tetap utuh dan eksis apabila jiwa masih melekat pada badannya. Oleh karena itu, eksistensi manusia terletak pada jiwanya.
Jiwa manusia disebut juga dengan Al Nafs an Nathiqah yang terbebas dari ikatan materi. Ia tunggal, esa dan tak terbagi. Jiwa manusia merupakan unsur ruhani, karena itu ia dapat digerakkan oleh cinta yang bersifat ruhani. Suhrawardi sependapat dengan Ibn Sina bahwa jiwa memiliki daya pencerap dalam dan luar. Daya pencerap luar meliputi pancaindra. Sedangkan daya pencerap dalam meliputi daya imajinasi, daya berpikir, daya penjaga dan daya estimasi.
Menurut suhrawardi, jiwa manusia melimpah dari pemberinya dalam satu waktu yang bersamaan dengan jasad yang menampungnya. Jika alam semesta merupakan hasil rentetan illuminasi dari Allah dan emanasi dariNya, jiwa juga akan sampai pada kesempurnaan melalui perantaraan illuminasi.[18] Proses naiknya jiwa menuju asalnya disebut remanasi.
3.     Konsep Teosofi
Pokok kajian teosofi adalah menyingkap misteri ketuhanan yang masih tersembunyi. Selain itu, kajian teosofi juga berkaitan dengan manusia, alam dan Tuhan. Teosofi berasal dari bahasa Yunani theoshopia yang berarti hikmah Tuhan. Dalam kaitannya dengan Suhrawadi adalah Hikmah al Isyraq (oriental theosophy).
Teosofi merupakan bentuk  final dari pemikiran falsafi suhrawardi. Konsep ini sarat dengan bahasa simbolik, seperti malaikat, barzakh, maghrib (barat) dan masyriq (timur). Sejumlah terminologi yang tampak familiar dalam teosofinya, tidak boleh dipahami secara konvensional, akan tetapi harus dipahami secara simbolik pula. Isyraqiyyah merupakan hasil perpaduan antara rasio dan intuisi.[19]
Istilah Isyraqi sendiri sebagai symbol geografis, mengandung makna timur sebagai dunia cahaya. Sementara masyriq yang berarti tempat terbit matahari yang merefleksikan sumber cahaya.[20]
Henry corbin menyatakan, bahwa pengertian Isyraqi dapat didekati melalui tiga pengertian: Pertama, teosofi yang mendasarkan pada sumber penyinaran. Kedua, teosofi dalam wujudnya sebagai doktrin yang didasarkan pada kehadiran filosof yang memiliki kematangan dan kesiapan untuk pencerahan langsung ke dalam jiwanya, suatu pengetahuan yang berasal dari timur, akal murni merupakan oriental knowledge. Ketiga, teosofi dari para ahli Persia kuno.[21]
Dalam filosofi suhrawardi, istilah cahaya menggantikan penamaan akal. Dalam penjabarannya mengenai cahaya dan gelap, ia menyamakan keduanya dengan ruh dan materi. Menurut Suhrawardi, cahaya dan gelap memiliki 2 jenis. Cahaya terbagi menjadi cahaya dalam realitas dirinya dan untuk dirinya sendiri, dan cahaya dalam dirinya sendiri sendiri tetapi untuk sesuatu yang lain.[22]
Kegelapan juga ada 2 jenis: pertama, kegelapan murni, yang disebut dengan substansi kabur. Kedua, kegelapan yang terdapat pada sesuatu yang lain ( bentuk cahaya yang sudah terkontaminasi). Disamping itu, Suhrawardi memperkenalkan istilah barzakh (pembatas) merupakan symbol perantara dan penghubung antara yang nyata dan yang ghaib.[23]
Suhrawardi mengembangkan teori emanasi menjadi teori illuminasi. Melalui teorinya, dia menyatakan bahwa illmuninasi dari Nur al Anwar menghasilkan cahaya-cahaya murni/dominator. Dalam konsep cahaya Suhrawardi terdapat peringkat cahaya horizontal dan cahaya vertikal.
4.     Kritik terhadap filsafat Paripatetik
Kritik yang dilancarkan Suhrawardi  terhadap Filsafat Paripatetik sebagiannya tertuju  pada dua aspek yaitu epistemology dan ontology. Kritik Suhrawardi terhadap epistemology terkait dengan pengetahuan yang diperoleh  melalui definisi, persepsi indra dan logika. Suhrawardi menolak teori paripatetik dan menyatakan bahwa teori tersebut tidak mampu memberikan pengetahuan yang sejati. Ia menganggap teori paripatetik gagal membangun teori pengetahuan yang mapan, yang dapat mendatangkan pengetahuan yang sebenarnya.[24]
Kelemahan yang menonjol terdapat pada metode definisi, persepsi indera dan logika. Dengan kelemahan tersebut Suhrawardi menawarkan solusi dengan suatu teori yang diyakini dapat mendatangkan pengatahuan sejati yang disebut dengan ilmu hudhuri. Ilmu hudhuri adalah pengetahuan dengan kehadiran, sejenis penyinaran langsung dari sumber cahaya dan menemopatkan jiwa manusia sebagai penerima cahaya.  Komponen yang mendasar dalam ilmu hudhuri adalah mukasyafah dan mujahadah.
Pada tataran ontologis, Suhrawardi memperkenalkan istilah-istilah tersendiri yang  bisa digunakan untuk mengungkapkan  seluruh pemikirannya. Melalui terminology cahaya, Suhrawardi menumbangkan teori akal sepuluh yang menjadi acuan umum hampir semua filsuf muslim. Suhrawardi memahami bahwa pancaran cahaya tidak hanya sepuluh  bahkan bisa lebih dari itu.[25]
Pada sisi lain, sikap Suhrawardi terhadap adanya empat unsur dasar; tanah, angin, udara dan api yang dianggap sebagai unsur pembentuk alam semesta. Di tangan Suhrawadi unsur tersebut menjadi tiga; angin, tanah dan udara. Unsur panas pada api dimasukkan ke dalam unsur udara, karena api adalah udara yang bergerak.
5.      Sumber Pengetahuan yang membentuk pemikiran Isyraqi Suhrawardi
Tentang sumber-sumber pengetahuan yang membentuk pemikiran isyraqi Suhrawardi ini, menurut SH. Nasr terdiri atas lima aliran, yaitu :[26]
a.       Pemikiran-pemikiran sufisme khususnya karya-karya Al-Hallaj ( 858-913 M ) dan al-Ghazali (1058-1111 M ). Salah satu karya al-Ghazali, Misykat al-Anwar, yang menjelaskan adanya hubungan antara nur ( cahaya ) dengan iman, mempunyai pengaruh langsung pada pmikiran illuminasi Suhrawardi.
b.      Pemikiran filsafat paripatetik Islam, khususnya filsafat Ibn Sina. Meskipun Suhrawardi mengkritik sebagiaannya tetapi ia memandangnya sebagai azas penting dalam memahami keyakinan-keyakinan Isyraqi.
c.       Pemikiran filsafat sebelum islam, yakni aliran Pyithagoras ( 580- 500 SM ), Platonisme dan Hermenisme sebagaimana yang tumbuh di Alexanderia, kemudian dipelihara dan disebarkan di Timur dekat oleh kaum Syabiah Harran yang memandang kumpulan aliran Hermes sebagai kitab samawi mereka.
d.      Pemikiran-pemikiran (Hikmah) Iran Kuno.
e.       Bersandar pada ajaran Zoroaster dalam menggunakan lambang-lambang cahaya dan kegelapan.

C.     Ajaran Pokok Isyraqiyah
1.      Gradasi essensi[27]
Salah satu ajaran pokok Isyraqiyah adalah gradasi essensi. Dengan konsep al-Isyrâq-nya, Suhrawardî menyatakan bahwa seluruh alam semesta merupakan rentetan dari intensitas cahaya. Namun demikian, menurutnya masing-masing cahaya tersebut berbeda tingkat intensitas penampakannya, tergantung pada tingkat kedekatannya dengan cahaya segala cahaya (Nur Al Anwar). Semakin dekat dengan Nur Al Anwar yang merupakan cahaya yang paling sempurna, berarti semakin sempurnalah cahaya tersebut, begitu pula sebaliknya.[28]
Begitu pula yang terjadi pada wujud-wujud, karena tingkatan-tingkatan cahaya ini berkaitan dengan tingkat kesempurnaan wujud. Dengan demikian, realitas ini tersusun atas gradasi essensi yang tidak lain merupkan bentuk-bentuk cahaya mulai dari yang paling lemah sampai yang paling kuat.[29]
Menurut Husein ziai, proses cahaya yang beragam tingkat intensitas penampakannya tersebut keluar seperti teori emanasi pada umumnya, (1) gerak menurun dari yang ‘lebih tinggi’ ke yang ‘lebih rendah’, yakni emanasi-diri Cahaya Segala Cahaya, (2) peniadaan penciptaan, yakni semesta tidak diciptakan dari tiada apakah dalam massa tertentu atau tidak sekaligus, tidak ada ‘pembuat’ dan tidak ada ‘kehendak’ Tuhan. (3) keabadian semesta, (4) hubungan abadi antara wujud yang lebih tinggi dengan wujud yang lebih rendah.[30]
Namun gagasan emanasi Suhrawardi di sini tidak hanya mengikuti teori kaum Neoplatonis, tetapi mengkombinasikan dua proses sekaligus dan inilah yang membuatnya menjadi khas pemikiran Suhrawardi. Pertama, adanya emanasi dari masing-masing cahaya yang berada di bawah Nur Al Anwar. Cahaya-cahaya ini benar adanya dan diperoleh (yahshul) tetapi tidak berbeda dengan Nur al Anwar kecuali pada tingkat intensitasnya yang menjadi ukuran kesempurnaan.[31] Cahaya-cahaya itu bercirikan :
a.       Ada sebagai cahaya Abstrak
b.      Mempunyai gerak ganda ‘mencintai’(yuhibbuh) serta ‘melihat’(yusyahiduh) yang di atasnya dan ‘mengendalikan’ (yaqharu) serta ‘menyinari’ (asyraqah) apa yang di bawahnya.
c.       Mempunyai atau mengambil sandaran ( zat) dan mempunyai kondisi (hay’ah), keduanya berperan sebagai wadah bagi cahaya.
d.      Mempunyai sesuatu semisal ‘kualitas’ atau sifat, yakni kaya dalam hubungannya dengan cahaya di bawahnya dan miskin dalam kaitannya dengan cahaya di atasnya.
Kedua, proses ganda illuminasi dan visi (penglihatan). Ketika cahaya pertama muncul, ia mempunyai visi langsung pada Nur al Anwar tanpa durasi dan pada ‘momen’ tersendiri Nur al Anwar menyinarinya sehingga ‘menyalakan’ cahaya kedua dan zat serta kondisi yang dihubungkan dengan cahaya pertama. Cahaya kedua ini, pada prosesnya, menerima tiga cahaya, dari Nur al Anwar secara langsung, dari cahaya pertama dan dari Nur al Anwar yang tembus lewat cahaya pertama. Proses ini terus berlanjut dengan jumlah cahaya meningkat sesuai dengan urutan 2n-1 dari cahaya pertama.[32]
2.      Kesadaran diri
Pemikiran Suhrawardi tentang kesadaran diri berkaitan konsepnya tentang pengetahuan. Bagi Suhrawardi, agar sesuatu dapat diketahui sesuatu tersebut harus terlihat seperti apa adanya (kama huwa).[33]Sedemikian, sehingga pengetahuan yang diperoleh memungkinkannya tidak butuh definisi (istighna ‘an al-ta’rif). Misalnya, warna hitam. Warna hitam hanya bisa diketahui jika terlihat seperti apa adanya, dan sama sekali tidak bisa didefinisikan oleh dan untuk orang yang tidak pernah melihat sebagaimana adanya (la yumkin ta’rifuhu liman la yusyabiduh kama huwa).
     Dalam hal ini, Suhrawardi menuntut bahwa subjek yang mengetahui harus berada dan memahami objek yang dilihat secara langsung tanpa penghalang apapun. Jenis hubungan illuminasi inilah yang merupakan ciri utama pandangan Suhrawardi mengenai dasar pengetahuan, dan konsep ini memberikan perubahan antara apa yang disebut pendekatan mental terhadap pengetahuan dan pendekatan visi langsung terhadap objek yang menegaskan kevalidan sebuah pengetahuan terjadi jika objek-objeknya ‘dirasakan’.[34]
     Menurutnya, kesadaran diri ( idrak al-ana’iyah ) adalah sama dengan pengetahuan langsung tentang dirinya sendiri (idrak ma huwa huwa), seperti kesadaran akan rasa sakit adalah sama dengan pengetahuan akan sakit dialami. Ini adalah kebenaran semua wujud yang menyadari essensi mereka sendiri, dan sesuatu yang tidak bisa dibantah. Jadi, kesadaran diri sama dengan manifestasi (penampakan) wujud atau sesuatu yang tampak (dzahir) yang diidentifikasi dengan ‘cahaya murni’. Dari sini kemudian dinyatakan, bahwa setiap orang yang memahami essensinya sendiri adalah cahaya murni dan setiap cahaya murni adalah manifestasi dari essensinya sendiri.[35]
3.      Metode mendapatkan pengetahuan
Objek pengetahuan Isyraqi bersifat imanen dan berupa swaobjektivitas yang melibatkan kesadaran, maka cara perolehannya menurut Suhrawardi harus melalui tahapan-tahapan tertentu. Pertama, tahap persiapan untuk menerima pengetahuan iluminatif. Tahap ini diawali dengan aktifitas seperti mengasingkan diri selama 40 hari, berhenti makan daging, berkonsentrasi untuk menerima nur Ilahi dan seterusnya. kedua, tahap penerimaan dimana cahaya Tuhan memasuki diri manusia. ketiga, tahap pembangunan pengetahuan yang valid dengan menggunakan analisi diskursif. keempat, tahap pelukisan atau dokumentasi dalam bentuk tulisan atas pengetahuan atau struktur yang dibangun dari tahap-tahap sebelumnya.[36]

IV.    KESIMPULAN
Syihab al-Din Suhrawardi dilahirkan di sebuah desa kecil, Suhraward dekat kota Zinjan, di Persia Barat tahun 549/1153 M. Al-Suhrawardi dihukum gantung saat umurnya 38 tahun pada tahun 587/1192 M, dan karena itulah terkadang disebut Guru yang terbunuh ( Asy- Syaikh Al-Maqtul ). Selama hidupnya, Suhrawardi menulis beberapa karya yang  ditulis dalam bahasa Persia dan Arab. Karya-karya tersebuth lebih dari 50 buah.
Suhrawardi memperkenalkan konsep baru yang disebut illuminasionsime (Isyraqiyah), yakni suatu pancaran cahaya yang berasal dari Nur al Anwar. Konsep ini belum ada filsuf muslim yang mengemukakanya. Filsafat Suhrawardi ini adalah perpaduan antara filsafat peripatetik dengan mistisisme Islam.
Adapun ajaran-ajaran pokok Isyraqinya adalah tentang Gradasi essensi, kesadaran diri, Metode mendapatkan pengetahuan.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Ahwani, Ahmad Fu’ad. 1988. Filsafat Islam. Jakarta:  Pustaka Firdaus. cet. ke-2
Drajat, Amroeni. 2005. Suhrawardi: Kritik Falsafah Paripatetik. Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara.
Maftukhin.  2012. Filsafat Islam. Yogyakarta : Teras
Naim, Ngainun. 2012. Filsafat Islam. Yogyakarta : Teras.
Nasr, Husein. 1986 . Tiga pemikir islam, terj.Mujahid. Bandung : Risalah.
Soleh, A. Khudhori. 2004. Wacana Baru Filsafat Islam. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Soleh, Khudhori.  2014 . Filsafat Islam dari klasik hingga kontemporer. Yogyakarta : ArRuz Media.
Supriyadi, Dedi. 2009. Pengantar Filsafat Islam. Bandung : CV Pustaka Setia.
Walbridge, John. 2008.  Mistisime Filsafat Islam.. (The Science of mystic Lights). terj.Hadi Purwanto. Yogyakarta : Kreasi Wacana.
Yazdi, Mehdi Hairi 1994.. Ilmu Hudhuri, terj. Ahsin Muhammad. Bandung : Mizan.
Ziai, Hossein. 1998. Knowledge and Illumination, A Study of Suhrawardi Hikmah al-Ishraq, Terj. Afif Muhammad,Bandung : Zaman Wacana Ilmu.




[1] Ahmad Fu’ad Al-Ahwani, Filsafat Islam, (Jakarta:  Pustaka Firdaus, 1988), cet. ke-2, hlm. 6
[2] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung : CV Pustaka Setia, 2009), hlm. 176
[3] Ngainun Naim, Filsafat Islam, ( Yogyakarta : Teras, 2012), hlm. 138
[4] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung : CV Pustaka Setia, 2009), hlm. 176
[5] Amroeni Drajat, Suhrawardi: Kritik Falsafah Paripatetik, (Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara, 2005), hlm. 54
[6] Hossein Ziai, Knowledge and Illumination, A Study of Suhrawardi Hikmah al-Ishraq, Terj. Afif Muhammad ,( Bandung : Zaman Wacana Ilmu, 1998)hlm. 547
[7] A. Khudhori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 119
[8] Hossein Ziai, Knowledge and Illumination, A Study of Suhrawardi Hikmah al-Ishraq, Terj. Afif Muhammad ,( Bandung : Zaman Wacana Ilmu, 1998)hlm. 27
[10] John Walbridge, Mistisime Filsafat Islam (The Science of mystic Lights), terj.Hadi Purwanto, (Yogyakarta : Kreasi Wacana, 2008),hlm.37
[11] Mehdi Hairi Yazdi, Ilmu Hudhuri, terj. Ahsin Muhammad, (Bandung : Mizan, 1994), hlm. 9
[12] Hossein Ziai, Knowledge and Illumination, A Study of Suhrawardi Hikmah al-Ishraq, Terj. Afif Muhammad ,( Bandung : Zaman Wacana Ilmu, 1998)hlm. 17
[13]  John Walbridge, Mistisisme Filsafat Islam  (The Science of mystic Lights), terj.Hadi Purwanto, (Yogyakarta : Kreasi Wacana, 2008),hlm.37
[14] Maftukhin, Filsafat Islam, (Yogyakarta : Teras, 2012), hlm. 150
[15] Maftukhin, Filsafat Islam, (Yogyakarta : Teras, 2012), hlm. 142
[16] Maftukhin, Filsafat Islam, (Yogyakarta : Teras, 2012), hlm. 153
[17] Khudhori Soleh, Filsafat Islam dari klasik hingga kontemporer, (Yogyakarta : ArRuz Media, 2014), hlm. 191
[18] Khudhori Soleh, Filsafat Islam dari klasik hingga kontemporer, (Yogyakarta : ArRuz Media, 2014), hlm. 192
[19] Khudhori Soleh, Filsafat Islam dari klasik hingga kontemporer, (Yogyakarta : ArRuz Media, 2014), hlm. 194
[20] Maftukhin, Filsafat Islam, (Yogyakarta : Teras, 2012), hlm. 146-147
[22] John Walbridge, Mistisisme Filsafat Islam  (The Science of mystic Lights), terj.Hadi Purwanto, (Yogyakarta : Kreasi Wacana, 2008),hlm.62
[23] John Walbridge, Mistisisme Filsafat Islam  (The Science of mystic Lights), terj.Hadi Purwanto, (Yogyakarta : Kreasi Wacana, 2008),hlm.62
[24] John Walbridge, Mistisisme Filsafat Islam  (The Science of mystic Lights), terj.Hadi Purwanto, (Yogyakarta : Kreasi Wacana, 2008),hlm.44-45
[25] Maftukhin, Filsafat Islam, (Yogyakarta : Teras, 2012), hlm. 153
[26] A. Khudhori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 120
[27] A. Khudhori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 124
[28] Husein Nasr, Tiga pemikir islam, terj.Mujahid, ( Bandung : Risalah, 1986), hlm.88-89
[29] Husein Nasr, Tiga pemikir islam, terj.Mujahid, ( Bandung : Risalah, 1986), hlm.88-89
[30] Hossein Ziai, Knowledge and Illumination, A Study of Suhrawardi Hikmah al-Ishraq, Terj. Afif Muhammad ,( Bandung : Zaman Wacana Ilmu, 1998)hlm.148
[31] Khudhori Soleh, Filsafat Islam dari klasik hingga kontemporer, (Yogyakarta : ArRuz Media, 2014), hlm. 187
[32] Khudhori Soleh, Filsafat Islam dari klasik hingga kontemporer, (Yogyakarta : ArRuz Media, 2014), hlm. 188
[33] Mehdi Hairi Yazdi, Ilmu Hudhuri, terj. Ahsin Muhammad, (Bandung : Mizan, 1994), hlm. 62-64
[34] Khudhori Soleh, Filsafat Islam dari klasik hingga kontemporer, (Yogyakarta : ArRuz Media, 2014), hlm. 189
[35] Khudhori Soleh, Filsafat Islam dari klasik hingga kontemporer, (Yogyakarta : ArRuz Media, 2014), hlm. 191
[36] Khudhori Soleh, Filsafat Islam dari klasik hingga kontemporer, (Yogyakarta : ArRuz Media, 2014), hlm. 193

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengertian,Objek,Ruang lingkup serta Sejarah dan Pertambahan Ulumul Qur'an

PENGERTIAN, OBJEK, RUANG LINGKUP, SERTA SEJARAH DAN PERTAMBAHAN ULUMUL QUR’AN MAKALAH Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah : Ulumul Qur’an Dosen Pengampu: M ufidah , M.Pd.i DI SUSUN OLEH : 1.     MUSTOFA                              ( 133111043 ) 2.     YUSUF   HAMDANI                ( 133111044 ) 3.     SITI CHAIZATUL   M.            ( 133111045 ) 4.     USWATUN   KHASANAH      ( 133111046 ) FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN IAIN WALISONGO SEMARANG 2013 I.        PENDAHULUAN Al-Quran adalah kitab suci umat Islam. Diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui Malaikat Jibril. Kitab terakhir ini merupakan sumber utama ajaran Islam dan pedoman hidup bagi setiap Muslim. Al-Quran bukan sekedar memuat petunjuk tentang hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan sesamanya ( Hablum min Allah wa hablum min an-nas ), serta manusia dengan alam sekitarnya. Untuk memahami ajaran Islam secara s

Mengatasi kelemahan tes obyektif dan subyektif

UPAYA YANG DAPAT DILAKUKAN UNTUK MENGATASI KELEMAHAN-KELEMAHAN TES OBYEKTIF DAN SUBYEKTIF TUGAS Mata kuliah : EVALUASI PEMBELAJARAN Dosen Pengampu : Drs. H. Karnadi M.Pd. DI SUSUN OLEH : Khairul Anam                               (133111038) Siti Chaizatul Munasiroh             ( 133111045) Laila Romdhoningsih                  (133111073) Faizatul Dina                                (133111135) FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2015 A.      Kelemahan obyektif 1.       Testee main spekulasi atau menerka-nerka 2.       Menyusunya sukar 3.       Biaya administrasi besar 4.       Kerjasama mengerjakan lebih terbuka B.      Cara menangani kelemahan tes objektif 1.       Kesulitan menyususn tes objektif dapat diatasi dengan jalan banyak berlatih terus-menerus sehingga semakin lama semakin terampil. [1] 2.       Menggunakan tabel spesifikasi untuk mengatasi kelemahan nomor dua.