SUMBANGSIH PEMIKIRAN FAZLUR RAHMAN TERHADAP
MODERNISASI PEMIKIRAN ISLAM
MAKALAH
Disusun Guna
Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah: Perkembangan Pemikiran Islam
Dosen Pengampu: Ubaidillah Ahmad M.Ag
DI SUSUN OLEH :
Siti Chaizatul Munasiroh (
133111045)
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015
I.
PENDAHULUAN
Visi yang diberikan Al-Qur’an
kepada kaum muslimin agar menjadi rahmat bagi semesta alam berbanding terbalik
dengan kenyataannya. Dunia Islam pada saat ini merefleksikan potret yang tidak
harmonis dengan visi tersebut. Ia telah tergerus oleh sebuah proses kemunduran
selama beberapa abad terakhir, yang semakin menjauhkannya dari realisasi visi
tersebut.
Dunia Islam saat ini sedang
melewati sebuah fase sulit sepanjang sejarah perjalanannya. Meskipun
populasinya mencapai seperlima dari penduduk dunia, dengan kekayaan sumber alam
yang melimpah, namun banyak di antara mereka yang terjangkit wabah buta huruf,
kemiskinan, pengangguran, dan ketidakseimbangan makro ekonomi yang sangat
parah. Ia tertinggal jauh dengan negara maju atau bahkan sebagian dari negara
berkembang. Dalam realisasi maqashid syariah pun, ia masih jauh dari
harapan. Pembangunan kekuatan moral, pemenuhan kebutuhan bagi semua, keadilan
sosio-ekonomi dan persaudaran yang diharapkan di tengah masyarakat islam,
justru yang terjadi adalah dekadensi moral, kesenjangan kekayaan dan
pendapatan, konflik dan kondisi yang
tidak harmonis.
Dunia Islam dengan ajarannya yang
kian keropos dan membutuhkan pembaharuan untuk berkembang, Fazlur Rahman cepat
tanggap memberikan kontribusi dan solusi terhadap permasalahan muslim global
ini. Melalui karya-karyanya, Beliau telah merefleksikan pemikiran kritisnya yang
akan kita bahas lebih mendalam dalam makalah ini.
II.
RUMUSAN
MASALAH
A.
Bagaimana riwayat hidup Fazlur
Rahman ?
B.
Bagaimana sumbangsih pemikiran
Fazlur Rahman terhadap Modernisasi pemikiran Islam?
III.
PEMBAHASAN
A.
Riwayat hidup singkat Fazlur Rahman
Fazlur Rahman
lahir pada tanggal 21 september 1919 di tengah-tengah keluarga Malak yang
letaknya di Hazara sebelum terpecahnya india, kini merupakan bagian dari Pakistan. Ia wafat pada tanggal 26 Juli 1988,
di Chicago, Illinois. Akar religiusitas keluarganya bisa ditelususri pada
pengajaran di Deoband Seminary (sekolah Menengah Deoband) yang sangat
berpengaruh di anak benua India. Ayahnya, Maulana Shihabuddin, adalah alumni
dari Sekolah Menengah terkemuka di India, Darul Ulum Deoband. Di Deoband,
Shihabuddin belajar dengan beberapa tokoh terkemuka. Di antaranya Maulana
Mahmud Hasan (w. 1920) yang lebih dikenal dengan Syaikh al-Hind, dan seorang
Fakih ternama Maulana Rasyid Ahmad Gangohi (w. 1905). Meskipun Fazlur Rahman
tidak belajar di Darul Ulum, ia menguasai Kurikulum Darse-Nizami yang
ditawarkan di lembaga tersebut dalam kajian privat dengan ayahnya. Ini
melengkapi latar belakangnya dalam memahami Islam Tradisional dengan perhatian
khusus pada Fikih, Ilmu Kalam, Hadits, Tafsir, Mantiq, dan Filsafat.
Setelah mempelajari ilmu-ilmu dasar tersebut, ia
melanjutkan ke Punjab Universitiy di Lahore di mana ia lulus dengan penghargaan
untuk Bahasa Arabnya. Dan di sana juga, ia mendapatkan gelar MA-nya. Pada tahun
1946 ia pergi ke Oxford dengan mempersiapkan disertasi tentang Psikologi Ibnu
Sina di bawah pengawasan Profesor Simon Van Den Bergh. Setelah di Oxford, ia
mengajar Bahasa Persi dan Filsafat Islam di Durham University dari tahun
1950-1958. Ia meninggalkan Inggris untuk menjadi Associate Professor pada
Kajian Islam di Institute Of Islamic Studies Mc.Gill University Kanada di
Montreal.[1]
Pada awal Pembentukan Pusat Lembaga Riset Islam, ia
semula menjadi Profesor tamu dan kemudian menjadi direktur selama satu periode,
dari tahun 1961 sampai 1968. Sebagai direktur lembaga ini ia juga bekerja pada
Dewan Penasihat Ideologi Islam, badan pembuat kebijakan tertinggi. Ketika itu
posisi penting ini meberinya kesempatan untuk meninjau berlangsungnya
pemerintahan dan kekuasaan dari dekat. Di posisinya ini ia harus memainkan
peran sebagai filosof yang berhadapan dengan kenyataan keras dan masalah intelektual
serta politik yang komplek yang mempengaruhi agama dan masyarakat Pakistan.
Bersama dengan rekan-rekannya di Lembaga Riset Islam, ia harus mengusulkan
kebijakan-kebijakan kepada Dewan Penasihat untuk diimplementasikan oleh
pemerintah.[2]
Sisi kebijakan dari pekerjaannya terbuka untuk
penelitian publik, ini maksudnya bahwa ide-ide dan usulannya sering berbenturan
dengan kekuasaan dan politik. Meskipun ingin mereformasi masyarakat, pemimin
politik seperti Ayyub Khan tetap harus menyeimbangkan antara tujuan mereka
dengan dosis kebijakan politik yang bagus. Partai-partai politik dan
keloompok-kelompok agama yang bertentangan dengan pemerintahan Ayyub Khan tahu
bahwa satu cara untuk menggagalkan orientasi reformis pemerintahan adalah
mengarahknanya pada penggagas ide reformasi, Fazlur Rahman, sebagai obyek
kritikan dan hujatan.
Setelah masa pergolakan yang mempengaruhi kesehatan
dan peran kepemimpinannya di Lembaga Riset Islam dan di Dewan Penasihat, Fazlur
Rahman berhenti. Setelah menjadi profesor tamu di University of California, Los
Angeles pada tahun 1969, ia dikukuhkan
sebagai guru besar pemikiran Islam di University of Chicago di musim gugur
1969. Pada tahun 1986 ia dianugerahi Harold H. Swift distinguished Service
Professor di Chicago, penghargaan ini disandangnya sampai wafat tahun 1988.[3]
B.
Sumbangsih pemikiran Fazlur Rahman terhadap
Modernisasi pemikiran Islam
Mayoritas muslim beranggapan bahwa ketika seorang
muslim melihat pada peristiwa di masa lalu seperti beberapa titik puncak prestasi
intelektual Muslim selama masa Abbasiyah yang apabila diciptakan kembali dan
ditiru, kondisi yang sama di masa lalu akan menghasilkan kembali kondisi ideal
untuk kebangkitan masa lalu atau sesuatu yang sama di saat ini. Jarak waktu itu
telah menciptakan ilusi intelektual layaknya jarak ruang yang menimbulkan ilusi
inderawi.
Berawal dari kegelisahan paling mendasar dari seorang
Fazlur Rahman, yang pasti juga dirasakan oleh banyak kalangan Muslim, yaitu
kondisi di mana kaum Muslim telah menutup rapat-rapat pintu ijtihad, sehingga
yang terjadi adalah stagnasi intelektual yang luar biasa. Rahman merasakan
situasi ini sangat tidak kondosif untuk mengetengahkan Islam sebagai agama
alternatif di tengah gelombang perubahan zaman yang kian dinamis. Tertutupnya
pintu ijtihad misalnya yang dianggapnya telah mematikan kreatifitas intelektual
umat yang pada awal-awal sejarah umat Islam tumbuh begitu luar biasa. Pada
akhirnya Islam menjadi seperangkat doktrin yang beku dan tentu sulit untuk
tampil memberi jawaban-jawaban atas problem keummatan di tengah gelombang
modernitas. Penutupan pintu ijtihad ini, secara logis mengarahkan kepada
taqlid, suatu istilah yang pada umumnya diartikan sebagai penerimaan bi la
kaifa terhadap doktrin madzab-madzab dan otoritas-ororitas yang telah
mapan. Dalam memberlakukan sumber ajaran Islam, al-Qur’an dan Sunnah nabi. Umat
Islam mengembangkan suatu sikap yang kaku lewat pendekatan-pendekatan historis,
literalistis dan atomistis.
Situasi seperti itu segera memancing reaksi dari para
pembaharu Muslim untuk melakukan langkah-langkah “penyelamatan” terhadap ajaran
Islam yang kian keropos oleh sejarah. Akan tetapi sebagaimana disaksikan oleh
Fazlur Rahman, mereka dalam melakukan modernisasi umumnya metode yang digunakan
dalam menangani isu-isu legal masih bertumpu pada pendekatan yang
terpilah-pilah (fragmented) dengan mengeksploitasi prinsip takhayyur serta
talfiq. Sementara mengenai istilah Rahman menyatakan: bahwa tekanan-tekanan
yang datang dari gagasan modern dan kekuatan perubahan sosial, bersama-sama
dengan pengaruh pemerintahan penjajah di negeri-negeri Muslim, telah
menciptakan situasi dimana pengadopsian gagasan-gagasan Barat modern tertentu
dan pranata-pranatanya dibela mati-matian oleh sebagian kaum Muslimin dan
seringkali dibenarkan dengan memberikan kutipan-kutipan Al-Qur’an.
Penerapan metode ini tentu saja menghasilkan
pranata-pranata hukum yang serampangan, arbriter dan self contra-dictory.
Memungut fragmen-fragmen opini masa lampau yang terisolasi tanpa
mempertimbangkan latar belakang kesejarahannya kemudian menyusunnya ke dalam
sejenis mosaik yang tidak semena-mena dengan menyelundupkan di bawah
permukaannya sebagai struktur ide yang dipinjam dari Barat tanpa
mempertimbangkan kontradiksi atau inkonsistensi. Ini jelas merupakan
modernisasi yang artifisial dan tidak realistis. Itulah sebabnya, seorang Josept
Schacht menegaskan : “Yurispridensi dan legislasi Islam kaum modernis, agar
dapat bersifat logis dan permanen, tengah membutuhkan suatu basis teoritis yang
lebih tegar dan konsisten”.
Dalam iklim modernisasi yang lesu semacam ini Fazlur
Rahman mencoba menawarkan seperangkat metodologi yang sitematis dan
komprehensif, khususnya yang terkait dengan penggalian terhadap sumber-sumber
ajaran Islam, yakni al-Qur’an dan sunnah Nabi. Tawaran Rahman dalam kajian
hadis misalnya dengan menekankan pada pendekatan historis telah memberi angin
segar terhadap arah modernisasi ajaran Islam yang lebih paradigmatis.
Konsep-konsep pembaharuan Islam Fazlur Rahman mucul ini sebagai jawaban
terhadap kekurangan atau kelemahan yang terdapat pada gerakan-gerakan Islam
yang mucul sebelumnya yaitu revivalisme pra-modernis, modernisme klasik dan
neo-revivalisme.
Demikian pula aliran pemikiran ini hadir untuk
mengkritisi dan sekaligus mengapresiasi aliran-aliran pikiran Islam yang lain
yang timbul sepanjang sejarah perjalanan umat Islam serta juga pemikiran yang
berkembang di Barat. Di bawah pengaruh neo-revivalisme, tetapi juga merupakan
tantangan terhadapnya, neo-modernisme muncul. Dan Rahman mengklaim dirinya
sebagai juru bicara gerakan baru ini. Bagi Rahman, meskipun modernisme klasik
telah benar dalam semangatnya, namun ia memiliki dua kelemahan mendasar yang
menyebabkan timbulnya reaksi dalam bentuk neorevivalisme.
Kelemahan pertama, ia tidak menguraikan secara tuntas
metodenya yang secara semi implisit terletak dalam menangani masalah-masalah
khusus dan implikasi dari prinsip-prinsip dasarnya. Mungkin karena perannya
selaku reformis terhadap masyarakat muslim dan sekaligus sebagai
kontroversialis-apologetik terhadap Barat, sehingga ia terhalang untuk melakukan
interprestasi yang sistematis dan menyeluruh terhadap Islam.
Kelemahan kedua, masalah-masalah yang dipilihnya
merupakan masalah-masalah di dunia Barat, sehingga terdapat kesan yang kuat
bahwa mereka telah terbaratkan serta merupakan agen-agen westernisasi. Dua
pendekatan dasar yang dilakukan Fazlur Rahman untuk pengetahuan modern telah
dipakai oleh teoritisi Muslim modern sebelumnya;
1. Bahwa memperoleh pengetahuan modern hanya dibatasi
pada bidang teknologi praktis, karena pada bidang pemikiran murni kaum Muslimin
tidaklah memerlukan produk intelektual Barat, bahkan produk tersebut haruslah
dihindari, karena mungkin sekali akan menimbulkan keraguan dan kekacauan dalam
pemikiran Muslim, yang pada akhirnya sistem kepercayaan Islam tradisional telah
memberikan jawaban-jawaban yang memuaskan bagi pertanyaan-pertanyaan puncak
mengenai pandangan dunia.
2. Bahwa kaum Muslimin tanpa takut bisa dan harus
memperoleh tidak hanya teknologi barat saja, tapi juga intelektualismenya
kerena tak ada satu jenis pengetahuan pun yang merugikan, dan bahwa
bagaimanapun juga sains dan pemikiran murni dulu telah dengan giat
dibudidayakan dengan kaum Muslimin terdahulu pada awal abad pertengahan, yang
kemudian diambil alih oleh Eropa sendir, secara yakin terdapat berbagai nuansadari
beberapa pandangan ini, dan posisi-posisi “tengah”, misalnya yang mengatakan di
samping teknologi sains murni juga berguna akan tetapi pemikiran murni Barat
modern tidak, atau pandangan yang lebih baru bahwa teknologi bahkan bisa
merugikan tanpa pendidikan etika yang memadai.
Jelaslah bahwa pandangan yang pertama akan mendorong
suatu sikap yang “dualistik” dan pada akhirnya akan menghasilkan kondisi
pikiran yang “sekuler” yakni suatu dualitas kepada agama dan urusan dunia.
Pendekatan yang pertama diyakini Fazlur Rahman sebagai jawaban yang tepat
terhadap problem modernisasi dalam Islam. Gagasan bahwa teknologi modern yang
“bermanfaat” dapat diperkenalkan pada suatu masyarakat sambil tetap bisa
memelihara integritas tradisi masyarakat Islam tentu saja adalalah gagasan yang
naïf. Tetapi justru bagi banyak kaum Muslimin gagasan tersebut masih merupakan
respon standar, dan mereka yang berpandangan sebaliknya bahwa modernisasi teknologi
dengan sendirinya melibatkan westernisasi besar-besaran.
Yang ingin ditegaskan di sini untuk memutuskan dan
memberikan arahan untuk lebih memperjelas masalah, pertama adalah ummat Muslim
harus bisa membuat perbadaan antara Islam normatif dan Islam historis. Terkait
dengan historisitas ini, Fazlur Rahman sedikit mengulas ungkapkan ”Gadamer”
adalah bahwa sifat (kualitas wujud) yang ditentukan oleh sejarah masih
menguasai kesadaran ilmiah dan kesadaran sejarah modern dan ini berada di luar
pengetahuan yang mungkin mengenai penguasaan kita. Kesadaran sejarah demikian
terbatas hingga keseluruhan wujud kita, yang tercapai dalam totalitas takdir
kita, takterhindarkan lagi melampaui pengetahuan akan dirinya sendiri. Juga
sesungguhnya sejarah bukanlah milik kita, tapi kitalah yang memiliki sejarah.
Lama sebelum kita memahami diri kita dalam proses pemeriksaan diri, kita memahami
dirikita dalam cara yang terbukti sendiri (Self Evident) dalam keluarga,
masyarakat dan negara di mana kita hidup. Dan tugas ilmu penafsir filosofis
adalah menjelaskan secara tepat prediterminasi ini, maka dengan demikian
kontras antara metode historis dan dokmatis tidak mempunyai validitas yang
mutlak.
Adapun Contoh Modernisme Islam Fazlur Rahman antara
lain:
1. Modernisasi Bidang Pendidikan
Awal mula pendidikan Islam adalah mempelajari Al
Qur’an dan mengembangkan sebuah sistem kesalehan yang mengitarinya. Kegiatan
ini telah dimulai sejak masa Nabi, namun dikemudian pada abad pertama dan kedua
hijrahlah pusat-pusat pengkajian ilmu tumbuh dengan berpusat pada
pribadi-pribadi yang menonjol. Guru-guru biasanya memberikan sertifikat atau
izin (ijazah) kepada seorang murid untuk mengajarkan apa yang telah
dipelajarinnya yang pada umumnya secara ekslulif berupa hafalan Al Qu’an,
menyalin tradisi-tradisi Nabi dan para sahabatnya dan menyimpulkan pokok-pokok
hukum daripadanya.
Ciri-ciri pokok yang di lakukan Fazlur Rahman dalam
upaya memodernisasi pendidikan Islam pada dasarnya ada dua segi orientasi.
Salah satu pendeatannya adalah dengan menerima pendidikan sekuler modern
sebagaimana telah berkembang secara umum di Barat dan mencoba untuk
mengislamkannya, yakni mengisinya dengan konsep-konsep kunci dalam Islam.
Pendekatan ini memeliki dua tujuan, walaupun keduanya tidak selalu bisa di
bedakan antara satu dengan yang lainnya: Pertama membentuk watak
pelajar-pelajar atau mahasiswa-mahasiswa dengan nilai Islam dalam kehidupan
individu dan masyarakat. Kedua untuk memungkinkan para ahli yang
berpendidikan modern memahami bidang kajian masing-masing dengan nilai-nilai
Islam pada perangkat yang lebih tinggi dengan menggunakan perspektif Islam.
Kedua pendekatan ini sangat berkaitan erat dengan arti
bahwa pembentukan watak dengan nilai-nilai Islam yang secara wajar di lakukan
terutama pada pendidikan tingkat pertama ketika pelajar-pelajar masih dalam
usia muda dan mudah menerima kesan. Akan tetapi apabila tidak ada sesuatu yang
dilakukan untuk mewarnai pendidikan tingkat tinggi dengan orientasi Islam, atau
apa bila usaha untuk melakukan hal itu tidak berhasil, maka niscaya pandangan
merka berpotensi untuk tersekulerkan dengan kemungkinan yang lebih besar mereka
akan membuang orientasi Islam apapun yang pernah mereka miliki. Dan ini memang
telah terjadi dalam sekala yang luas. Mewarnai bidang-bidang kajian tingkat
tinggi dengan nilai-nilai Islam yang dimaksud adalah ungkapan yang maknaya
harus dibuat lebih jelas dan persis lagi. Seluruh pengetauan manusia dapat
dibagi dengan apa sains-sains ”kealaman” atau ilmu eksakta yang generalisasinya
disebut ”hukum-hukum alam” dan bidang-bidang pengetahuan yang disebut sebagai
”humanika” dan ”sains-sains sosial”.
Dengan modernisasi pendidikan Islam itu sendiri,
karena hanya pengembangan-pengembangan ilmu pengetahuan keislamanlah yang harus
memikul tanggung jawab utama untuk mengislamkan ilmu pengetahuan sekuler dengan
upaya-upaya intelektal mereka yang kreatif. Jadi pada pokoknya seluruh
”modernisasi” pendidikan Islam adalah membuatya mampu untuk produktifitas
intelektual Islam yang kreatif dalam semua bidang usaha intelektual bersama-sama
dengan keterikatan yang serius pada Islam, yang pada umumnnya telah berhasil
ditanamkan oleh sistem pendidikan madrasah, adalah alasan perluasan intelektual
Muslim dengan cara menaikkan standar-standar intelektualnya. Karena perluasan
adalah fungsi dari penaikan kepada ketinggian. Sebaliknya semakin mereka turun
semakin sempit pula ruang yang terliput dan semekin mengecil wawasan kaum
Muslimin. dan ini nampak kontras dengan dan mencolok antara sikap-sikap Muslim
yang aktual dengan tuntutan Al Qur’an.
2. Modernisasi Metodologi Tafsir
Rahman
berpendapat bahwa pada hakikatnya Al-Qur’an adalah produk dan produsen budaya, sebanding dengan peradaban manusia yang dapat berubah dan ditafsiri
sekontektual mungkin sesuai dengan arus perkembangan zaman. Maka tafsir dalam
rangka menghidupkan kembali nilai-nilai al-Qur’an harus bisa mentafsirkan dan
merekonstruksi ulang gagasan kitab suci itu secara cerdas dan sesuai dengan
semangat zaman kini.
Supaya kaum muslimin berhasil dalam menghadapi dunia
modern sekarang maka kaum muslimin harus mengkaji Al-Qur’an sesuai konteks
zaman sekarang. Dia menyayangkan karena ada beberapa kalangan ulama’ telah membakukan
sedemikian rupa nash Al-Qur’an sehingga ajarannya kurang mengena dan kaku
terhadap semangat zaman. Dan ada pula ulama yang telah mendikotomikan Al-Qur’an
dengan realitas sosial sehingga ketika umat islam berhadapan dengan nash
seakan-akan ada tembok pemisah antara teks yang sakral disatu sisi dan umat
islam itu sendiri sebagai objek, sehingga untuk mengakhiri problem ini dia menawarkan gagasan umat islam
harus mampu dan berani menafsirkan “Al-Qur’an dan Sunah” secara cerdas dengan
mempertimbangkan aspek sosial zamannya bukan pada metode klasik yang hanya
memfokuskan pada aspek sosio cultural ketika Al-Qur’an diturunkan karena
sebenarnya kemunduran umat islam sekarang antara lain disebabkan oleh pemahaman
manusia terhadap Al-Qur’an yang terlalu tekstual.
Rahman menggunakan teori gerak ganda atau teori double
movement yang ia prakarsai dalam memberi pandangan terhadap Alquran,
khususnya terhadap ayat-ayat hukum.Teori ini merupakan suatu proses penafsiran
yang ditempuh melalui dua gerakan (langkah) dari situasi sekarang ke masa
Alquran diturunkan dan kembali pada masa sekarang.
a. Situasi sekarang menuju ke masa turunnya Alquran
Maksud gerak pertama pada teori Rahman ini adalah
menghendaki adanya pemahaman makna Alquran dalam konteks kesejarahannya baik
secara spesifik di mana kejadian itu berlangsung (mikro) maupun secara global
bagaimana kondisi sekitar kejadian itu pada umumnya (makro). Hasil pemahaman
ini akan dapat membangun makna asli (original meaning) yang dikandung
oleh wahyu ditengah-tengah konteks sosial, moral era kenabian, sekaligus juga
dapat diperoleh gambaran situasi dunia yang lebih luas pada umumnya saat ini.
Penelitian dan pemahaman pokok-pokok semacam itu akan menghasilkan rumusan
narasi atau ajaran Alquran yang koheren tentang prinsip-prinsip umum dan
sistematik serta nilai yang melandasi berbagai perintah-perintah yang bersifat
normatif. Di sinilah, peran penting konsep sebab turunnya ayat (asbãb an-nuzũl).
b.
Situasi dari masa turunnya Al-Qur’an kembali ke masa sekarang
Adapun yang dimaksud dengan gerak kedua ini adalah
adalah upaya untuk menerapkan prinsip dan nilai-nilai sistematik dan umum dalam
konteks penafsiran pada era kontemporer sekarang. Untuk mempraktikan gerak
kedua ini tentunya mensyaratkan sebuah pemahaman (analisis) yang kompleks
terhadap suatu permasalahan.
Usaha Rahman dalam hal ini mencoba memperluas latar
belakang perumusan metodologi dengan menegaskan bahwa selama ini kaum Muslimin
belum pernah membicarakan secara adil masalah masalah mendasar mengenai metode
dan cara penafsiran Al Qur’an. Menurut Rahman telah terdapat kesalahan yang
umum dalam memahami pokok-pokok keterpaduan Al Qur’an. Dan kesalahan ini
berpasangan dengan ketegaran praktis untuk berpegang pada Al Qur’an secara
terpisah-pisah. Kegagalan memahami Al Qur’an ini sebagai suatu keterpaduan yang
berjalan dan terjadi dalam bidang hukum, teologi maupun sufisme. Kegagalan ini
berlanjut hingga sekarang ini. Rahman memandang suatu metodologi penafsiran Al
Qur’an yang memadai, sebagaimana yang telah diusahakannya dalam memodernisasi
metodologinya, yang dianggapnya sebagai sesuatu yang amat mendesak.
Rumusan metodologi tafsir yang sistematis telah
dilakukan Fazlur Rahman semenjak di Chicago. Ia menekankan betapa pentingnya
untuk memahami kondisi-kondisi aktual masyarakat Arab. Ketika Al Qur’an
diturunkan dalam rangka menafsirkan pernyataan-pernyataan legal dan
sosio-ekonomisnya. Pendekatan historis ini telah dianggabnya sebagi suatu
metode tafsir yang dapat diterima dan bisa berlaku adil terhadap tuntutan
entelektual atau integritas moral. “hanya dengan cara semacam inilah suatu
apresiasi yang terjadi teadap tujuan-tujuan Al Qur’an dan Sunnah dapat
dicapai”.
Aplikasi pendekatan kesejarahan ini telah membuat
Rahman menekankan pentingnya pembedaan antara tujuan atau “ideal moral” Al
Qur’an dengan ketentual legal spesifiknya. Rahman menyebutkan bahwa “ideal
moral” yang ditunjukkan oleh Al Quran lebih pantas diterapkan ketimbang
ketentuan legal spesifiknya. Misalnya dalam kasus poligami dan perbudakan
Rahman mengungkapkan bahwa, “ideal moral” yang dituju Al Qur’an adalah monogami
dan emansipasi budak, sementara penerimaan Al Qur’an terhadap kedua pranata
tersebut secara legal dikarenakan “kemustahilan” untuk menghapusnya dalam
seketika. Al Qur’an dan Sunnah Nabi selaras dengan situasi kontemporernya
sesuai dengan “ideal moral” yanag di tuju kedua sumber ajaran Islam tersebut.
Sementara perumusan mengenai pandangan dunia Al Qur’an
yang belakangan dinyatakan sebagai salah satu aspek dari oprasionalisasi metode
tafsirnya, juga telah digarapnya pada masa ini. Rumusan dari metode penafsiran
Fazlur Rahman dapat disimak dalam sebuah artikel yang ditulisnya pada 1970.
Kutipan (extenso) secara luas dari atikel tersebut memberikan gambaran tentang
penekanan Rahman mengenai pentingnya usaha untuk menafsirkan kembali Islam dan
rumusan awal dari metode tafsirnya beserta keunggulan-keunggulannya: Jika
pembicara yang lantang dari kesinambungan kaum Muslimin tentang kelangsungan
hidup Islam sebagai suatu sistem doktrin dan praktek dewasa ini benar-benar
sejati (suatu masalah yang jawabannya tidak mudah ditetapkan) maka tampak jelas
bahwa mereka harus memulai sekali lagi pada tingkat intelektual. Mereka harus
secara terang-terangan dan tanpa perlu menahan diri membahas apa yang
dikehendaki Islam untuk mereka lakukan dewasa ini. Seluruh kandungan Syari’ah
mesti menjadi saaran pemeriksaan yang segar dalam sinaran bukti Al Qur’an.
Suatu penafsiran Al Quran yang sistematis dan berani
harus dilakukan. Bahaya terbesar dalam pemikiran semacam ini, tentu saja adalah
proyeksi ide-ide subyektif ke dalam Al Qur’an, menjadikannya obyek perlakuan
yang artbitrer. Namun proyeksi ide-ide subyektif ini sebagian besar dapat
diminimalkan. Suatu metodologi yang saksama untuk memahami dan menafsirkan Al
Qur’an ada beberapa kreteria:
a) Suatu pendekatan historis dan jujur yang serius dan
jujur, harus menemukan makna teks Al Qur’an. Aspek metafisis yang diajarkan Al
Qur’anmungkin tidak menyediakan dirinya dengan mudah untuk dikenakan terapi
historis. Tetapi bagian sosiologinya pasti menyediakan dirinya. Pertama Al
Qur’an harus dipahami dalam tatanan kronologisnya. Mengawali dengan
pemeriksaan terhadap bagian-bagian wahyu yang paling awal akan memberikan suatu
persepsi yang cukup akurat tentang dorongan dasar dari gerakan Islam.
Sebagaimana yang dibedakan dari ketetapan-ketetapan dan pranata-pranata yang di
bangun belakangan. Dan demikianlah seseorang harus mengikuti bentang Al Qur’an
sepanjang karier dan perjuangan Muhammad. Metode historis ini akan banyak
menyelamatkan kita ekstravagan dan artifisial penefsiran terhadap Al Qur’an di
kalangan kaum modernis. Disamping menetapkan makna rinci-rinciannya, metode ini
juga akan menunjukkan secara jelas makna keseluruhan dari pesan Al Qur’an dalam
suatu cara yang sistematis dan koheren.
b) kemudian orang telah siap untuk membedakan
ketetapan legal Al Qur’an dan saran-saran serta tujuan yang hukum-hukum ini
diharapkan untuk mengabdi kepadanya. Skali lagi, seorang berhadapan dengan
bahaya subyektifitas, tetapi hal ini juga dapat direduksi hingga batas minimun
dengan menggunakan Al Qur’an. Sudah terlalu sering diabaikan oleh kalangan non
Muslim maupun kaum Muslimin sendiri bahwa Al Qur’an biasanya memberikan alasan
bagi bernyataan-pernyataan legal spesifiknnya. Kesaksian dua wanita ebagai
pengganti seorang laki-laki mengapa? Agar supaya wanita yang satu dapat
mengingatkan wanita yang lainnya apa bila ia melupakannya (QS 2:
282) ini merupakan suatu komentar yang jelas tentang latar sosiologis Arabia
pada masa Nabi dan merupakan suatu desakan bahwa kesaksian yang benar harus di
kemukakan sejauh mungkin.
c) sasaran-sasaran Al Qur’an harus difahami dan ditetapkan,
dengan tetap memberi perhatian sepenuhnya terhadap latar sosiologisnya, yakni
lingkungan di mana Nabi bergerak dan bekerja. Hal ini akan mengakhiri
penafsiran-penefsiran Al Qur’an yang subyektif. Baik oleh kalangan mufasir abad
pertengahan atu modern, meskipun penafsiran-penafsiran ini tampak kohern dalam
dirinya, jika seseorang dibatasi untuk tidak menyertakan obsesi-obsesi
pribadinya ke dalam Al Qur’an.
Maka pendekatan semacam ini akan sangat bermanfaat,
dan kami yakin merupakan harapan nyata satu-satunya bagi suatu penafsiran Al
Qur’an yang berasil dewasa ini. Betapapun dalam pengertian makrokospik
(sebagaimana yang bertentangan dengan perbedaan-perbedaan detail), seluruh
perbedaan dan pendekatan terhadap kebenaran adalah subyektif, dan hal semacam
ini tak dapat dihilangkan. Setiap pendapat memiliki sdut pandang, dan tidak ada
bahayanya dalam hal ini asalkan pandangan-pandangan itu tidak mendistorsi obyek
pandangan dan juga terbuka bagi visi-visi orang yang memandangnya.
.
IV.
PENUTUP
A.
KRITIK DAN
SARAN
Kami menyadari Makalah ini masih
banyak kekurangan, oleh karena
itu kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan.
B.
KESIMPULAN
Pemakalah di
sini mengambil benang merah dari pemikiran Fazlur Rahman yang melancarkan pembaharuannya melalui gerakan
neomodernisme, yang bertujuan untuk meluruskan arah kebangkitan umat Islam
sesuai dengan kehidupan modern tanpa meninggalkan akar kesejarahannya sendiri.
Fazlur Rahman berpendapat perlunya penafsiran Al-Qur’an
yang memadai, dalam memahami Al-Qur’an, yang utama harus lebih ditekankan pada
tujuan “ideal moral” dari pada “legal spesifik”. Tujuan ideal moral yang
terkandung dalam ayat-ayat harus lebih diutamakan dari ketentuan legal
spesifiknya. Selain itu, sasaran-sasaran al-Qur’an harus juga dipahami dan
ditetapkan dengan memperhatikan latar belakang sosiologis.
DAFTAR PUSTAKA
Abd A’la. 2003. Dari
Modernisme Ke Islam Liberal. Jakarta: Paramadina.
Amal, Taufik
Adnan. 1987. Metode Dan Alternatif Neomodernisme Islam. Bandung: Mizan.
Assa’idi, Sa’dullah.
2013. Pemahaman Tematik Al-Qur’an Menurut Fazlur Rahman. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Rahman, Fazlur. 1979. “Islam:
challenges and Opportunities” dalam Alford T Welch dan P Cachia (eds.)
Islam Past influence and present Challenge. Edinburg: University press.
Rahman, Fazlur. 1983. Membuka
Pintu Ijtihad. Bandung: Pustaka Pelajar.
Rahman, Fazlur. 1983. Tema
Pokok Al-Qur’an (terj. Anas Mahyudin). Bandung: Pustaka.
Rahman, Fazlur. 1985. Islam
Dan Modernitas Tantangan Trasformasi Intelektual. Bandung: Pustaka Pelajar.
Rahman, Fazlur. 2001. Gelombang
Perubahan dalam Islam (terj. Aam Fahmia). Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Supena, Ilyas. 2008. Desain
Ilmu-Ilmu Keislaman Dalam Pemikiran Hermeneutika Fazlur Rahman. Semarang :
Walisongo Press.
Komentar