Langsung ke konten utama

SUMBANGSIH PEMIKIRAN FAZLUR RAHMAN TERHADAP MODERNISASI PEMIKIRAN ISLAM



SUMBANGSIH PEMIKIRAN FAZLUR RAHMAN TERHADAP MODERNISASI PEMIKIRAN ISLAM

MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Perkembangan Pemikiran Islam
Dosen Pengampu: Ubaidillah Ahmad M.Ag





DI SUSUN OLEH :
Siti Chaizatul Munasiroh            ( 133111045)




FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015

I.                   PENDAHULUAN
Visi yang diberikan Al-Qur’an kepada kaum muslimin agar menjadi rahmat bagi semesta alam berbanding terbalik dengan kenyataannya. Dunia Islam pada saat ini merefleksikan potret yang tidak harmonis dengan visi tersebut. Ia telah tergerus oleh sebuah proses kemunduran selama beberapa abad terakhir, yang semakin menjauhkannya dari realisasi visi tersebut.
Dunia Islam saat ini sedang melewati sebuah fase sulit sepanjang sejarah perjalanannya. Meskipun populasinya mencapai seperlima dari penduduk dunia, dengan kekayaan sumber alam yang melimpah, namun banyak di antara mereka yang terjangkit wabah buta huruf, kemiskinan, pengangguran, dan ketidakseimbangan makro ekonomi yang sangat parah. Ia tertinggal jauh dengan negara maju atau bahkan sebagian dari negara berkembang. Dalam realisasi maqashid syariah pun, ia masih jauh dari harapan. Pembangunan kekuatan moral, pemenuhan kebutuhan bagi semua, keadilan sosio-ekonomi dan persaudaran yang diharapkan di tengah masyarakat islam, justru yang terjadi adalah dekadensi moral, kesenjangan kekayaan dan pendapatan, konflik dan  kondisi yang tidak harmonis.
Dunia Islam dengan ajarannya yang kian keropos dan membutuhkan pembaharuan untuk berkembang, Fazlur Rahman cepat tanggap memberikan kontribusi dan solusi terhadap permasalahan muslim global ini. Melalui karya-karyanya, Beliau telah merefleksikan pemikiran kritisnya yang akan kita bahas lebih mendalam dalam makalah ini.

II.                RUMUSAN MASALAH
A.     Bagaimana riwayat hidup Fazlur Rahman ?
B.     Bagaimana sumbangsih pemikiran Fazlur Rahman terhadap Modernisasi pemikiran Islam?

III.             PEMBAHASAN
A.     Riwayat hidup singkat Fazlur Rahman
Fazlur Rahman lahir pada tanggal 21 september 1919 di tengah-tengah keluarga Malak yang letaknya di Hazara sebelum terpecahnya india, kini merupakan bagian dari Pakistan. Ia wafat pada tanggal 26 Juli 1988, di Chicago, Illinois. Akar religiusitas keluarganya bisa ditelususri pada pengajaran di Deoband Seminary (sekolah Menengah Deoband) yang sangat berpengaruh di anak benua India. Ayahnya, Maulana Shihabuddin, adalah alumni dari Sekolah Menengah terkemuka di India, Darul Ulum Deoband. Di Deoband, Shihabuddin belajar dengan beberapa tokoh terkemuka. Di antaranya Maulana Mahmud Hasan (w. 1920) yang lebih dikenal dengan Syaikh al-Hind, dan seorang Fakih ternama Maulana Rasyid Ahmad Gangohi (w. 1905). Meskipun Fazlur Rahman tidak belajar di Darul Ulum, ia menguasai Kurikulum Darse-Nizami yang ditawarkan di lembaga tersebut dalam kajian privat dengan ayahnya. Ini melengkapi latar belakangnya dalam memahami Islam Tradisional dengan perhatian khusus pada Fikih, Ilmu Kalam, Hadits, Tafsir, Mantiq, dan Filsafat.
Setelah mempelajari ilmu-ilmu dasar tersebut, ia melanjutkan ke Punjab Universitiy di Lahore di mana ia lulus dengan penghargaan untuk Bahasa Arabnya. Dan di sana juga, ia mendapatkan gelar MA-nya. Pada tahun 1946 ia pergi ke Oxford dengan mempersiapkan disertasi tentang Psikologi Ibnu Sina di bawah pengawasan Profesor Simon Van Den Bergh. Setelah di Oxford, ia mengajar Bahasa Persi dan Filsafat Islam di Durham University dari tahun 1950-1958. Ia meninggalkan Inggris untuk menjadi Associate Professor pada Kajian Islam di Institute Of Islamic Studies Mc.Gill University Kanada di Montreal.[1]
Pada awal Pembentukan Pusat Lembaga Riset Islam, ia semula menjadi Profesor tamu dan kemudian menjadi direktur selama satu periode, dari tahun 1961 sampai 1968. Sebagai direktur lembaga ini ia juga bekerja pada Dewan Penasihat Ideologi Islam, badan pembuat kebijakan tertinggi. Ketika itu posisi penting ini meberinya kesempatan untuk meninjau berlangsungnya pemerintahan dan kekuasaan dari dekat. Di posisinya ini ia harus memainkan peran sebagai filosof yang berhadapan dengan kenyataan keras dan masalah intelektual serta politik yang komplek yang mempengaruhi agama dan masyarakat Pakistan. Bersama dengan rekan-rekannya di Lembaga Riset Islam, ia harus mengusulkan kebijakan-kebijakan kepada Dewan Penasihat untuk diimplementasikan oleh pemerintah.[2]
Sisi kebijakan dari pekerjaannya terbuka untuk penelitian publik, ini maksudnya bahwa ide-ide dan usulannya sering berbenturan dengan kekuasaan dan politik. Meskipun ingin mereformasi masyarakat, pemimin politik seperti Ayyub Khan tetap harus menyeimbangkan antara tujuan mereka dengan dosis kebijakan politik yang bagus. Partai-partai politik dan keloompok-kelompok agama yang bertentangan dengan pemerintahan Ayyub Khan tahu bahwa satu cara untuk menggagalkan orientasi reformis pemerintahan adalah mengarahknanya pada penggagas ide reformasi, Fazlur Rahman, sebagai obyek kritikan dan hujatan.
Setelah masa pergolakan yang mempengaruhi kesehatan dan peran kepemimpinannya di Lembaga Riset Islam dan di Dewan Penasihat, Fazlur Rahman berhenti. Setelah menjadi profesor tamu di University of California, Los Angeles pada  tahun 1969, ia dikukuhkan sebagai guru besar pemikiran Islam di University of Chicago di musim gugur 1969. Pada tahun 1986 ia dianugerahi Harold H. Swift distinguished Service Professor di Chicago, penghargaan ini disandangnya sampai wafat tahun 1988.[3]

B.     Sumbangsih pemikiran Fazlur Rahman terhadap Modernisasi pemikiran Islam
Mayoritas muslim beranggapan bahwa ketika seorang muslim melihat pada peristiwa di masa lalu seperti beberapa titik puncak prestasi intelektual Muslim selama masa Abbasiyah yang apabila diciptakan kembali dan ditiru, kondisi yang sama di masa lalu akan menghasilkan kembali kondisi ideal untuk kebangkitan masa lalu atau sesuatu yang sama di saat ini. Jarak waktu itu telah menciptakan ilusi intelektual layaknya jarak ruang yang menimbulkan ilusi inderawi.
Berawal dari kegelisahan paling mendasar dari seorang Fazlur Rahman, yang pasti juga dirasakan oleh banyak kalangan Muslim, yaitu kondisi di mana kaum Muslim telah menutup rapat-rapat pintu ijtihad, sehingga yang terjadi adalah stagnasi intelektual yang luar biasa. Rahman merasakan situasi ini sangat tidak kondosif untuk mengetengahkan Islam sebagai agama alternatif di tengah gelombang perubahan zaman yang kian dinamis. Tertutupnya pintu ijtihad misalnya yang dianggapnya telah mematikan kreatifitas intelektual umat yang pada awal-awal sejarah umat Islam tumbuh begitu luar biasa. Pada akhirnya Islam menjadi seperangkat doktrin yang beku dan tentu sulit untuk tampil memberi jawaban-jawaban atas problem keummatan di tengah gelombang modernitas. Penutupan pintu ijtihad ini, secara logis mengarahkan kepada taqlid, suatu istilah yang pada umumnya diartikan sebagai penerimaan bi la kaifa terhadap doktrin madzab-madzab dan otoritas-ororitas yang telah mapan. Dalam memberlakukan sumber ajaran Islam, al-Qur’an dan Sunnah nabi. Umat Islam mengembangkan suatu sikap yang kaku lewat pendekatan-pendekatan historis, literalistis dan atomistis.
Situasi seperti itu segera memancing reaksi dari para pembaharu Muslim untuk melakukan langkah-langkah “penyelamatan” terhadap ajaran Islam yang kian keropos oleh sejarah. Akan tetapi sebagaimana disaksikan oleh Fazlur Rahman, mereka dalam melakukan modernisasi umumnya metode yang digunakan dalam menangani isu-isu legal masih bertumpu pada pendekatan yang terpilah-pilah (fragmented) dengan mengeksploitasi prinsip takhayyur serta talfiq. Sementara mengenai istilah Rahman menyatakan: bahwa tekanan-tekanan yang datang dari gagasan modern dan kekuatan perubahan sosial, bersama-sama dengan pengaruh pemerintahan penjajah di negeri-negeri Muslim, telah menciptakan situasi dimana pengadopsian gagasan-gagasan Barat modern tertentu dan pranata-pranatanya dibela mati-matian oleh sebagian kaum Muslimin dan seringkali dibenarkan dengan memberikan kutipan-kutipan Al-Qur’an.
Penerapan metode ini tentu saja menghasilkan pranata-pranata hukum yang serampangan, arbriter dan self contra-dictory. Memungut fragmen-fragmen opini masa lampau yang terisolasi tanpa mempertimbangkan latar belakang kesejarahannya kemudian menyusunnya ke dalam sejenis mosaik yang tidak semena-mena dengan menyelundupkan di bawah permukaannya sebagai struktur ide yang dipinjam dari Barat tanpa mempertimbangkan kontradiksi atau inkonsistensi. Ini jelas merupakan modernisasi yang artifisial dan tidak realistis. Itulah sebabnya, seorang Josept Schacht menegaskan : “Yurispridensi dan legislasi Islam kaum modernis, agar dapat bersifat logis dan permanen, tengah membutuhkan suatu basis teoritis yang lebih tegar dan konsisten”.
Dalam iklim modernisasi yang lesu semacam ini Fazlur Rahman mencoba menawarkan seperangkat metodologi yang sitematis dan komprehensif, khususnya yang terkait dengan penggalian terhadap sumber-sumber ajaran Islam, yakni al-Qur’an dan sunnah Nabi. Tawaran Rahman dalam kajian hadis misalnya dengan menekankan pada pendekatan historis telah memberi angin segar terhadap arah modernisasi ajaran Islam yang lebih paradigmatis. Konsep-konsep pembaharuan Islam Fazlur Rahman mucul ini sebagai jawaban terhadap kekurangan atau kelemahan yang terdapat pada gerakan-gerakan Islam yang mucul sebelumnya yaitu revivalisme pra-modernis, modernisme klasik dan neo-revivalisme.
Demikian pula aliran pemikiran ini hadir untuk mengkritisi dan sekaligus mengapresiasi aliran-aliran pikiran Islam yang lain yang timbul sepanjang sejarah perjalanan umat Islam serta juga pemikiran yang berkembang di Barat. Di bawah pengaruh neo-revivalisme, tetapi juga merupakan tantangan terhadapnya, neo-modernisme muncul. Dan Rahman mengklaim dirinya sebagai juru bicara gerakan baru ini. Bagi Rahman, meskipun modernisme klasik telah benar dalam semangatnya, namun ia memiliki dua kelemahan mendasar yang menyebabkan timbulnya reaksi dalam bentuk neorevivalisme.
Kelemahan pertama, ia tidak menguraikan secara tuntas metodenya yang secara semi implisit terletak dalam menangani masalah-masalah khusus dan implikasi dari prinsip-prinsip dasarnya. Mungkin karena perannya selaku reformis terhadap masyarakat muslim dan sekaligus sebagai kontroversialis-apologetik terhadap Barat, sehingga ia terhalang untuk melakukan interprestasi yang sistematis dan menyeluruh terhadap Islam.
Kelemahan kedua, masalah-masalah yang dipilihnya merupakan masalah-masalah di dunia Barat, sehingga terdapat kesan yang kuat bahwa mereka telah terbaratkan serta merupakan agen-agen westernisasi. Dua pendekatan dasar yang dilakukan Fazlur Rahman untuk pengetahuan modern telah dipakai oleh teoritisi Muslim modern sebelumnya;
1.       Bahwa memperoleh pengetahuan modern hanya dibatasi pada bidang teknologi praktis, karena pada bidang pemikiran murni kaum Muslimin tidaklah memerlukan produk intelektual Barat, bahkan produk tersebut haruslah dihindari, karena mungkin sekali akan menimbulkan keraguan dan kekacauan dalam pemikiran Muslim, yang pada akhirnya sistem kepercayaan Islam tradisional telah memberikan jawaban-jawaban yang memuaskan bagi pertanyaan-pertanyaan puncak mengenai pandangan dunia.
2.       Bahwa kaum Muslimin tanpa takut bisa dan harus memperoleh tidak hanya teknologi barat saja, tapi juga intelektualismenya kerena tak ada satu jenis pengetahuan pun yang merugikan, dan bahwa bagaimanapun juga sains dan pemikiran murni dulu telah dengan giat dibudidayakan dengan kaum Muslimin terdahulu pada awal abad pertengahan, yang kemudian diambil alih oleh Eropa sendir, secara yakin terdapat berbagai nuansadari beberapa pandangan ini, dan posisi-posisi “tengah”, misalnya yang mengatakan di samping teknologi sains murni juga berguna akan tetapi pemikiran murni Barat modern tidak, atau pandangan yang lebih baru bahwa teknologi bahkan bisa merugikan tanpa pendidikan etika yang memadai.

Jelaslah bahwa pandangan yang pertama akan mendorong suatu sikap yang “dualistik” dan pada akhirnya akan menghasilkan kondisi pikiran yang “sekuler” yakni suatu dualitas kepada agama dan urusan dunia. Pendekatan yang pertama diyakini Fazlur Rahman sebagai jawaban yang tepat terhadap problem modernisasi dalam Islam. Gagasan bahwa teknologi modern yang “bermanfaat” dapat diperkenalkan pada suatu masyarakat sambil tetap bisa memelihara integritas tradisi masyarakat Islam tentu saja adalalah gagasan yang naïf. Tetapi justru bagi banyak kaum Muslimin gagasan tersebut masih merupakan respon standar, dan mereka yang berpandangan sebaliknya bahwa modernisasi teknologi dengan sendirinya melibatkan westernisasi besar-besaran.
Yang ingin ditegaskan di sini untuk memutuskan dan memberikan arahan untuk lebih memperjelas masalah, pertama adalah ummat Muslim harus bisa membuat perbadaan antara Islam normatif dan Islam historis. Terkait dengan historisitas ini, Fazlur Rahman sedikit mengulas ungkapkan ”Gadamer” adalah bahwa sifat (kualitas wujud) yang ditentukan oleh sejarah masih menguasai kesadaran ilmiah dan kesadaran sejarah modern dan ini berada di luar pengetahuan yang mungkin mengenai penguasaan kita. Kesadaran sejarah demikian terbatas hingga keseluruhan wujud kita, yang tercapai dalam totalitas takdir kita, takterhindarkan lagi melampaui pengetahuan akan dirinya sendiri. Juga sesungguhnya sejarah bukanlah milik kita, tapi kitalah yang memiliki sejarah. Lama sebelum kita memahami diri kita dalam proses pemeriksaan diri, kita memahami dirikita dalam cara yang terbukti sendiri (Self Evident) dalam keluarga, masyarakat dan negara di mana kita hidup. Dan tugas ilmu penafsir filosofis adalah menjelaskan secara tepat prediterminasi ini, maka dengan demikian kontras antara metode historis dan dokmatis tidak mempunyai validitas yang mutlak.


Adapun Contoh Modernisme Islam Fazlur Rahman antara lain:
1.       Modernisasi Bidang Pendidikan
Awal mula pendidikan Islam adalah mempelajari Al Qur’an dan mengembangkan sebuah sistem kesalehan yang mengitarinya. Kegiatan ini telah dimulai sejak masa Nabi, namun dikemudian pada abad pertama dan kedua hijrahlah pusat-pusat pengkajian ilmu tumbuh dengan berpusat pada pribadi-pribadi yang menonjol. Guru-guru biasanya memberikan sertifikat atau izin (ijazah) kepada seorang murid untuk mengajarkan apa yang telah dipelajarinnya yang pada umumnya secara ekslulif berupa hafalan Al Qu’an, menyalin tradisi-tradisi Nabi dan para sahabatnya dan menyimpulkan pokok-pokok hukum daripadanya.
Ciri-ciri pokok yang di lakukan Fazlur Rahman dalam upaya memodernisasi pendidikan Islam pada dasarnya ada dua segi orientasi. Salah satu pendeatannya adalah dengan menerima pendidikan sekuler modern sebagaimana telah berkembang secara umum di Barat dan mencoba untuk mengislamkannya, yakni mengisinya dengan konsep-konsep kunci dalam Islam. Pendekatan ini memeliki dua tujuan, walaupun keduanya tidak selalu bisa di bedakan antara satu dengan yang lainnya: Pertama membentuk watak pelajar-pelajar atau mahasiswa-mahasiswa dengan nilai Islam dalam kehidupan individu dan masyarakat. Kedua untuk memungkinkan para ahli yang berpendidikan modern memahami bidang kajian masing-masing dengan nilai-nilai Islam pada perangkat yang lebih tinggi dengan menggunakan perspektif Islam.
Kedua pendekatan ini sangat berkaitan erat dengan arti bahwa pembentukan watak dengan nilai-nilai Islam yang secara wajar di lakukan terutama pada pendidikan tingkat pertama ketika pelajar-pelajar masih dalam usia muda dan mudah menerima kesan. Akan tetapi apabila tidak ada sesuatu yang dilakukan untuk mewarnai pendidikan tingkat tinggi dengan orientasi Islam, atau apa bila usaha untuk melakukan hal itu tidak berhasil, maka niscaya pandangan merka berpotensi untuk tersekulerkan dengan kemungkinan yang lebih besar mereka akan membuang orientasi Islam apapun yang pernah mereka miliki. Dan ini memang telah terjadi dalam sekala yang luas. Mewarnai bidang-bidang kajian tingkat tinggi dengan nilai-nilai Islam yang dimaksud adalah ungkapan yang maknaya harus dibuat lebih jelas dan persis lagi. Seluruh pengetauan manusia dapat dibagi dengan apa sains-sains ”kealaman” atau ilmu eksakta yang generalisasinya disebut ”hukum-hukum alam” dan bidang-bidang pengetahuan yang disebut sebagai ”humanika” dan ”sains-sains sosial”.
Dengan modernisasi pendidikan Islam itu sendiri, karena hanya pengembangan-pengembangan ilmu pengetahuan keislamanlah yang harus memikul tanggung jawab utama untuk mengislamkan ilmu pengetahuan sekuler dengan upaya-upaya intelektal mereka yang kreatif. Jadi pada pokoknya seluruh ”modernisasi” pendidikan Islam adalah membuatya mampu untuk produktifitas intelektual Islam yang kreatif dalam semua bidang usaha intelektual bersama-sama dengan keterikatan yang serius pada Islam, yang pada umumnnya telah berhasil ditanamkan oleh sistem pendidikan madrasah, adalah alasan perluasan intelektual Muslim dengan cara menaikkan standar-standar intelektualnya. Karena perluasan adalah fungsi dari penaikan kepada ketinggian. Sebaliknya semakin mereka turun semakin sempit pula ruang yang terliput dan semekin mengecil wawasan kaum Muslimin. dan ini nampak kontras dengan dan mencolok antara sikap-sikap Muslim yang aktual dengan tuntutan Al Qur’an.

2.       Modernisasi Metodologi Tafsir
Rahman berpendapat bahwa pada hakikatnya Al-Qur’an adalah produk dan produsen  budaya, sebanding dengan peradaban manusia yang dapat berubah dan ditafsiri sekontektual mungkin sesuai dengan arus perkembangan zaman. Maka tafsir dalam rangka menghidupkan kembali nilai-nilai al-Qur’an harus bisa mentafsirkan dan merekonstruksi ulang gagasan kitab suci itu secara cerdas dan sesuai dengan semangat zaman kini.
Supaya kaum muslimin berhasil dalam menghadapi dunia modern sekarang maka kaum muslimin harus mengkaji Al-Qur’an sesuai konteks zaman sekarang. Dia menyayangkan karena ada beberapa kalangan ulama’ telah membakukan sedemikian rupa nash Al-Qur’an sehingga ajarannya kurang mengena dan kaku terhadap semangat zaman. Dan ada pula ulama yang telah mendikotomikan Al-Qur’an dengan realitas sosial sehingga ketika umat islam berhadapan dengan nash seakan-akan ada tembok pemisah antara teks yang sakral disatu sisi dan umat islam itu sendiri sebagai objek, sehingga untuk mengakhiri  problem ini dia menawarkan gagasan umat islam harus mampu dan berani menafsirkan “Al-Qur’an dan Sunah” secara cerdas dengan mempertimbangkan aspek sosial zamannya bukan pada metode klasik yang hanya memfokuskan pada aspek sosio cultural ketika Al-Qur’an diturunkan karena sebenarnya kemunduran umat islam sekarang antara lain disebabkan oleh pemahaman manusia terhadap Al-Qur’an yang terlalu tekstual.
Rahman menggunakan teori gerak ganda atau teori double movement yang ia prakarsai dalam memberi pandangan terhadap Alquran, khususnya terhadap ayat-ayat hukum.Teori ini merupakan suatu proses penafsiran yang ditempuh melalui dua gerakan (langkah) dari situasi sekarang ke masa Alquran diturunkan dan kembali pada masa sekarang.
a.       Situasi sekarang menuju ke masa turunnya Alquran
Maksud gerak pertama pada teori Rahman ini adalah menghendaki adanya pemahaman makna Alquran dalam konteks kesejarahannya baik secara spesifik di mana kejadian itu berlangsung (mikro) maupun secara global bagaimana kondisi sekitar kejadian itu pada umumnya (makro). Hasil pemahaman ini akan dapat membangun makna asli (original meaning) yang dikandung oleh wahyu ditengah-tengah konteks sosial, moral era kenabian, sekaligus juga dapat diperoleh gambaran situasi dunia yang lebih luas pada umumnya saat ini. Penelitian dan pemahaman pokok-pokok semacam itu akan menghasilkan rumusan narasi atau ajaran Alquran yang koheren tentang prinsip-prinsip umum dan sistematik serta nilai yang melandasi berbagai perintah-perintah yang bersifat normatif. Di sinilah, peran penting konsep sebab turunnya ayat (asbãb an-nuzũl).
b.     Situasi dari masa turunnya Al-Qur’an kembali ke masa sekarang
Adapun yang dimaksud dengan gerak kedua ini adalah adalah upaya untuk menerapkan prinsip dan nilai-nilai sistematik dan umum dalam konteks penafsiran pada era kontemporer sekarang. Untuk mempraktikan gerak kedua ini tentunya mensyaratkan sebuah pemahaman (analisis) yang kompleks terhadap suatu permasalahan.

Usaha Rahman dalam hal ini mencoba memperluas latar belakang perumusan metodologi dengan menegaskan bahwa selama ini kaum Muslimin belum pernah membicarakan secara adil masalah masalah mendasar mengenai metode dan cara penafsiran Al Qur’an. Menurut Rahman telah terdapat kesalahan yang umum dalam memahami pokok-pokok keterpaduan Al Qur’an. Dan kesalahan ini berpasangan dengan ketegaran praktis untuk berpegang pada Al Qur’an secara terpisah-pisah. Kegagalan memahami Al Qur’an ini sebagai suatu keterpaduan yang berjalan dan terjadi dalam bidang hukum, teologi maupun sufisme. Kegagalan ini berlanjut hingga sekarang ini. Rahman memandang suatu metodologi penafsiran Al Qur’an yang memadai, sebagaimana yang telah diusahakannya dalam memodernisasi metodologinya, yang dianggapnya sebagai sesuatu yang amat mendesak.
Rumusan metodologi tafsir yang sistematis telah dilakukan Fazlur Rahman semenjak di Chicago. Ia menekankan betapa pentingnya untuk memahami kondisi-kondisi aktual masyarakat Arab. Ketika Al Qur’an diturunkan dalam rangka menafsirkan pernyataan-pernyataan legal dan sosio-ekonomisnya. Pendekatan historis ini telah dianggabnya sebagi suatu metode tafsir yang dapat diterima dan bisa berlaku adil terhadap tuntutan entelektual atau integritas moral. “hanya dengan cara semacam inilah suatu apresiasi yang terjadi teadap tujuan-tujuan Al Qur’an dan Sunnah dapat dicapai”.
Aplikasi pendekatan kesejarahan ini telah membuat Rahman menekankan pentingnya pembedaan antara tujuan atau “ideal moral” Al Qur’an dengan ketentual legal spesifiknya. Rahman menyebutkan bahwa “ideal moral” yang ditunjukkan oleh Al Quran lebih pantas diterapkan ketimbang ketentuan legal spesifiknya. Misalnya dalam kasus poligami dan perbudakan Rahman mengungkapkan bahwa, “ideal moral” yang dituju Al Qur’an adalah monogami dan emansipasi budak, sementara penerimaan Al Qur’an terhadap kedua pranata tersebut secara legal dikarenakan “kemustahilan” untuk menghapusnya dalam seketika. Al Qur’an dan Sunnah Nabi selaras dengan situasi kontemporernya sesuai dengan “ideal moral” yanag di tuju kedua sumber ajaran Islam tersebut.
Sementara perumusan mengenai pandangan dunia Al Qur’an yang belakangan dinyatakan sebagai salah satu aspek dari oprasionalisasi metode tafsirnya, juga telah digarapnya pada masa ini. Rumusan dari metode penafsiran Fazlur Rahman dapat disimak dalam sebuah artikel yang ditulisnya pada 1970. Kutipan (extenso) secara luas dari atikel tersebut memberikan gambaran tentang penekanan Rahman mengenai pentingnya usaha untuk menafsirkan kembali Islam dan rumusan awal dari metode tafsirnya beserta keunggulan-keunggulannya: Jika pembicara yang lantang dari kesinambungan kaum Muslimin tentang kelangsungan hidup Islam sebagai suatu sistem doktrin dan praktek dewasa ini benar-benar sejati (suatu masalah yang jawabannya tidak mudah ditetapkan) maka tampak jelas bahwa mereka harus memulai sekali lagi pada tingkat intelektual. Mereka harus secara terang-terangan dan tanpa perlu menahan diri membahas apa yang dikehendaki Islam untuk mereka lakukan dewasa ini. Seluruh kandungan Syari’ah mesti menjadi saaran pemeriksaan yang segar dalam sinaran bukti Al Qur’an.
Suatu penafsiran Al Quran yang sistematis dan berani harus dilakukan. Bahaya terbesar dalam pemikiran semacam ini, tentu saja adalah proyeksi ide-ide subyektif ke dalam Al Qur’an, menjadikannya obyek perlakuan yang artbitrer. Namun proyeksi ide-ide subyektif ini sebagian besar dapat diminimalkan. Suatu metodologi yang saksama untuk memahami dan menafsirkan Al Qur’an ada beberapa kreteria:
a) Suatu pendekatan historis dan jujur yang serius dan jujur, harus menemukan makna teks Al Qur’an. Aspek metafisis yang diajarkan Al Qur’anmungkin tidak menyediakan dirinya dengan mudah untuk dikenakan terapi historis. Tetapi bagian sosiologinya pasti menyediakan dirinya. Pertama Al Qur’an harus dipahami dalam tatanan kronologisnya. Mengawali dengan pemeriksaan terhadap bagian-bagian wahyu yang paling awal akan memberikan suatu persepsi yang cukup akurat tentang dorongan dasar dari gerakan Islam. Sebagaimana yang dibedakan dari ketetapan-ketetapan dan pranata-pranata yang di bangun belakangan. Dan demikianlah seseorang harus mengikuti bentang Al Qur’an sepanjang karier dan perjuangan Muhammad. Metode historis ini akan banyak menyelamatkan kita ekstravagan dan artifisial penefsiran terhadap Al Qur’an di kalangan kaum modernis. Disamping menetapkan makna rinci-rinciannya, metode ini juga akan menunjukkan secara jelas makna keseluruhan dari pesan Al Qur’an dalam suatu cara yang sistematis dan koheren.
b) kemudian orang telah siap untuk membedakan ketetapan legal Al Qur’an dan saran-saran serta tujuan yang hukum-hukum ini diharapkan untuk mengabdi kepadanya. Skali lagi, seorang berhadapan dengan bahaya subyektifitas, tetapi hal ini juga dapat direduksi hingga batas minimun dengan menggunakan Al Qur’an. Sudah terlalu sering diabaikan oleh kalangan non Muslim maupun kaum Muslimin sendiri bahwa Al Qur’an biasanya memberikan alasan bagi bernyataan-pernyataan legal spesifiknnya. Kesaksian dua wanita ebagai pengganti seorang laki-laki mengapa? Agar supaya wanita yang satu dapat mengingatkan wanita yang lainnya apa bila ia melupakannya (QS 2: 282) ini merupakan suatu komentar yang jelas tentang latar sosiologis Arabia pada masa Nabi dan merupakan suatu desakan bahwa kesaksian yang benar harus di kemukakan sejauh mungkin.
c) sasaran-sasaran Al Qur’an harus difahami dan ditetapkan, dengan tetap memberi perhatian sepenuhnya terhadap latar sosiologisnya, yakni lingkungan di mana Nabi bergerak dan bekerja. Hal ini akan mengakhiri penafsiran-penefsiran Al Qur’an yang subyektif. Baik oleh kalangan mufasir abad pertengahan atu modern, meskipun penafsiran-penafsiran ini tampak kohern dalam dirinya, jika seseorang dibatasi untuk tidak menyertakan obsesi-obsesi pribadinya ke dalam Al Qur’an.
Maka pendekatan semacam ini akan sangat bermanfaat, dan kami yakin merupakan harapan nyata satu-satunya bagi suatu penafsiran Al Qur’an yang berasil dewasa ini. Betapapun dalam pengertian makrokospik (sebagaimana yang bertentangan dengan perbedaan-perbedaan detail), seluruh perbedaan dan pendekatan terhadap kebenaran adalah subyektif, dan hal semacam ini tak dapat dihilangkan. Setiap pendapat memiliki sdut pandang, dan tidak ada bahayanya dalam hal ini asalkan pandangan-pandangan itu tidak mendistorsi obyek pandangan dan juga terbuka bagi visi-visi orang yang memandangnya.
.





IV.              PENUTUP
A.     KRITIK DAN SARAN
Kami menyadari Makalah ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan.

B.     KESIMPULAN
Pemakalah di sini mengambil benang merah dari pemikiran Fazlur Rahman yang melancarkan pembaharuannya melalui gerakan neomodernisme, yang bertujuan untuk meluruskan arah kebangkitan umat Islam sesuai dengan kehidupan modern tanpa meninggalkan akar kesejarahannya sendiri.
Fazlur Rahman berpendapat perlunya penafsiran Al-Qur’an yang memadai, dalam memahami Al-Qur’an, yang utama harus lebih ditekankan pada tujuan “ideal moral” dari pada “legal spesifik”. Tujuan ideal moral yang terkandung dalam ayat-ayat harus lebih diutamakan dari ketentuan legal spesifiknya. Selain itu, sasaran-sasaran al-Qur’an harus juga dipahami dan ditetapkan dengan memperhatikan latar belakang sosiologis.

















DAFTAR PUSTAKA
Abd A’la. 2003. Dari Modernisme Ke Islam Liberal. Jakarta: Paramadina.
Amal, Taufik Adnan. 1987. Metode Dan Alternatif Neomodernisme Islam. Bandung: Mizan.
Assa’idi, Sa’dullah. 2013. Pemahaman Tematik Al-Qur’an Menurut Fazlur Rahman. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rahman, Fazlur. 1979. “Islam: challenges and Opportunities” dalam Alford T Welch dan P Cachia (eds.) Islam Past influence and present Challenge. Edinburg: University press.
Rahman, Fazlur. 1983. Membuka Pintu Ijtihad. Bandung: Pustaka Pelajar.
Rahman, Fazlur. 1983. Tema Pokok Al-Qur’an (terj. Anas Mahyudin). Bandung: Pustaka.
Rahman, Fazlur. 1985. Islam Dan Modernitas Tantangan Trasformasi Intelektual. Bandung: Pustaka Pelajar.
Rahman, Fazlur. 2001. Gelombang Perubahan dalam Islam (terj. Aam Fahmia). Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Supena, Ilyas. 2008. Desain Ilmu-Ilmu Keislaman Dalam Pemikiran Hermeneutika Fazlur Rahman. Semarang : Walisongo Press. 







[1] Fazlur Rahman, Gelombang Perubahan Dalam Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001) , hlm. 2
[2] Fazlur Rahman, Gelombang Perubahan Dalam Islam, hlm. 3
[3] Fazlur Rahman, Gelombang Perubahan Dalam Islam, hlm. 3

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengertian,Objek,Ruang lingkup serta Sejarah dan Pertambahan Ulumul Qur'an

PENGERTIAN, OBJEK, RUANG LINGKUP, SERTA SEJARAH DAN PERTAMBAHAN ULUMUL QUR’AN MAKALAH Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah : Ulumul Qur’an Dosen Pengampu: M ufidah , M.Pd.i DI SUSUN OLEH : 1.     MUSTOFA                              ( 133111043 ) 2.     YUSUF   HAMDANI                ( 133111044 ) 3.     SITI CHAIZATUL   M.            ( 133111045 ) 4.     USWATUN   KHASANAH      ( 133111046 ) FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN IAIN WALISONGO SEMARANG 2013 I.        PENDAHULUAN Al-Quran adalah kitab suci umat Islam. Diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui Malaikat Jibril. Kita...

FILSAFAT SUHRAWARDI

PEMIKIRAN FILSAFAT SUHRAWARDI (1153-1191 M) MAKALAH Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah: Filsafat Islam Dosen Pengampu: Dr. Mahfud Junaedi, M. Ag.   DI SUSUN OLEH : 1.       SITI CHAIZATUL MUNASIROH             ( 133111045) 2.       AGUNG SUPRAYITNO                           (133111051 ) 3.       DEWI HUSNAWATI                                 (133111079 ) FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN IAIN WALISONGO SEMARANG 2014 I.          PENDAHULUAN Ketika filsafat muncul dalam kehid...

Mengatasi kelemahan tes obyektif dan subyektif

UPAYA YANG DAPAT DILAKUKAN UNTUK MENGATASI KELEMAHAN-KELEMAHAN TES OBYEKTIF DAN SUBYEKTIF TUGAS Mata kuliah : EVALUASI PEMBELAJARAN Dosen Pengampu : Drs. H. Karnadi M.Pd. DI SUSUN OLEH : Khairul Anam                               (133111038) Siti Chaizatul Munasiroh             ( 133111045) Laila Romdhoningsih                  (133111073) Faizatul Dina                                (133111135) FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2015 A.      Kelema...