PENGERTIAN
DAN TEORI-TEORI BELAJAR
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Psikologi Pendidikan
Dosen Pengampu:Dra. Hj. Srijatun
M.Si
DI
SUSUN OLEH :
1.
LAELY
NURAINI (123111091)
2.
MARTHA JULIA M (1403016071)
3.
MUHAMAD
KHOIRUL ANAM (133111023)
4.
SITI
CHAIZATUL MUNASIROH (
133111045)
5.
AHMAD
LUKMANUL HAKIM (133111081 )
FAKULTAS
ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN
WALISONGO SEMARANG
2015
I.
PENDAHULUAN
Kita sebagai manusia dilahirkan ke
dunia ini adalah sebagai khalifah yang sudah pasti memiliki beban tanggung
jawab yang tinggi baik untuk dirinya sendiri, atau hubungan dengan sesamanya,
maupun antar manusia dengan khaliqnya. Manusia disamping sebagai manusia
individu juga sebagai makhluk sosial, karena masalah mendidik sebenarnya telah
ada sejak adanya manusia di dunia. Maka untuk lebih meningkatkan hal tersebut
perlu mempelajari dan menghayati tentang psikologi pendidikan. Kegunaan
psikologi pendidikan adalah untuk mempelajari faktor-faktor manusia sewaktu belajar, mengajar, keadaan perkembangan jamani dan rohani
seseorang, perbedaan dan persamaannya dengan orang lain serta motivasi-motivasi
dalam belajar.
Psikologi pendidikan adalah alat
bantu, terutama bagi calon pendidik sehingga mengetahui lebih dalam tentang
faktor-faktor psikologi yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan manusia
untuk memperoleh prinsip-prinsip dasar mengenai belajar dan mengajar.[1]
Untuk memperjelas pengertian
belajara dan proses yang mempengaruhinya, maka dalam makalah ini akan dibahas
mengenai apa itu teori belajar dan apa saja macam-macamnya.
II.
RUMUSAN MASALAH
A.
Bagaimana
definisi dari belajar?
B.
Apa
sajakah macam-macam teori belajar?
C.
Bagaimana
seorang pendidik dalam menyikapi teori-teori belajar?
III.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian belajar
1.
Hilgard
dan bower, dalam buku Theories of learning
(1975) mengemukakan. “Belajar berhubungan dengan perubahan tingkah laku
seseorang terhadap sesuatu situasi tertentu yang disebabkan oleh pengalamannnya
yang berulang-ulang dalam sitauasi itu, di mana perubahan tingkah laku itu
tidak dapat dijelaskan atau dasar kecenderungan respon pembawaan, kematangan,
atau keadaan-keadaaan sesaat seseorang ( misalnya kelelahan, pengaruh obat, dan
sebagainya).”[2]
2.
Gagne, dalam buku The Conditions of Learning (1977) menyatakan
bahwa : “Belajar terjadi apabila suatu situasi stimulus bersama dengna isi
ingatan mempengaruhi siswa sedemikian rupa sehingga perbuatannya
(performance-nya) berubah dari waktu sebelum ia mengalami sitasi itu ke waktu
sesuadah ia mengalami situasi tadi.”[3]
3.
Morgan, dalam buku Introduction to Psychology (1978) mengemukakan :
“Belajar adalah setiap perubahan yang relatif menetap dalam tingkah laku yang
terjadi sebagai suatu hasil dari latihan atau pengaaman.”[4]
4.
Witherington,dalam buku Educational Psychology, mengemukakan “ Belajar
adalah suatu perubahan di dalam kepribadian yang menyatakan diri sebagai suatu
pola baru daripada reaksi yang berupa kecakapan, sikap, kebiasaan, kepandaian,
atau suatu pengertian.”[5]
Maka secara umum Belajar adalah proses
perubahan tingkah laku sebagai akibat pengalaman atau latihan. Proses perubahan
tingkah laku atau proses belajar terjadi pada diri individu itu merupakan
proses internal psikologis yang tidak dapat diketahui secara nyata. Oleh karena
terjadinya proses belajar itu tidak diketahui secara jelas, maka timbulah
perbedaan pendapat di kalangan para ahli psikologi, sehingga akibatnya terjadi
bermacam-macam teori belajar.[6]
B.
Macam-macam teori belajar
Teori belajar dimunculkan oleh para
psikologi pendidikan setelah mereka mengalami kesulitan untuk menjelaskan
proses belajar secara menyeluruh. Teori belajar adalah alat bantu yang
sistematis dalam proses belajar.
Teori-teori
belajar di kalangan psikolog bersifat eksperimental. Artinya, teori-teori yang
mereka kemukakan merupakan konklusi dari pengalaman mereka ketika berinteraksi
dalam kegiatan belajar, baik sebagai
pelajar maupun pengajar. Mereka membuat proposisi-proposisi dari penelitian
yang mereka geluti. Sebagai catatan, proposisi yang mereka kemukakan merujuk
pada pandangan yang melandasi pola pikirnya masing-masing.[7]
Menurut
Wheeler, teori adalah suatu prinsip yang menerangkan sejumlah hubungan antara
berbagai fakta dan meramalkan hasil-hasil baru berdasarkan fakta-fakta
tersebut. Secara umum, teori adalah pendapat yang dilatar belakangi orang yang
berpendapat. Sedangkan teori belajar adalah prinsip umum atau kumpulan prinsip
yang saling berhubungan dan merupakan penjelasan atas sejumlah fakta atau
penemuan yang berkaitan dengan peristiwa belajar.[8]
Berikut
ini akan dikemukakan beberapa teori belajar, yang merupakan hasil penyelidikan
para ahli psikologi sesuai dengan aliran psikologinya masing-masing.
Teori belajar
yang terkenal dalam psikologi antara lain ialah :
1.
Conditioning
Teori ini menekankan
bahwa belajar terdiri atas pembangkitan respons dengna stimulus yang pada
mulanya bersifat netral atau tidak memadai. Melalui persinggungan stimulus
dengan respons, stimulus yang tidak memadai untuk menimbulkan respons tadi
akhirnya mampu menimbulkan respons. Drill praktik, pengulangan, dan
kejadian-kejadian sesuai dengan teori ini.[9]
Penganut teori ini
mengatakan bahwa segala tingkah laku manusia juga tidak lain adalah hasil
daripada contioning. Yakni hasil daripada latihan-latihan atau
kebiasaan-kebiasaan mereaksi terhadap syarat-syarat/ perangsang-perangsang
tertentu yang dialaminya di dalam kehidupannya.[10]
a.
Teori
Conditioning Pavlov
Teori klasik ini dipelapori
oleh seorang ahli sosiologi Rusia bernama Ivan Pavlov pada awal tahun 1900
an. Untuk menghasilkan teori ini Ivan
Pavlov melakukan suatu eksperimen secara sistimatis dan saintifik, dengan
tujuan mengkaji bagaimana pembelajaran berlaku pada suatu organisme. mengadakan percobaan dengan menggunakan seekor anjing yang
dimasukka ke dalam kamar ddan diikat. Anjing tersebut sudah dibedah sedemikian
rupa , sehingga kelenjar ludahnya berada di luar pipinya. Pada moncongnya yang
sudah dibedah tersebut dipasang sebuah selang yang dihubungkan dengan sebuah tabung
di uar kamar. Di kamar tersebut hanya ada satu lubang di depan moncong anjing
untuk meletakkan makanan dan menyorotkan lampu. Dalam percobaannya, Pavlov
menggunakan alat-alat berupa makanan, lampu, dan bunyi-bunyian.[11]
Percobaan dilakukan sebagai berikut:
1)
Pada
saat anjing lapar, dimasukkan sebuah makanan di dalam kamar bersamaan dengan
itu dinyalakan sebuah lampu dan dibunyikan sebuah bunyi-bunyian. Maka keluarlah
air liur.
2)
Setelah
diadakan percobaan tersebut berulang kali, percobaan sedikit diubah dengan cara
anjing yang lapar tersebut tidak diberi makanan tetapi hanya dinyalakan lampu
dan bunyi-bunyian. Maka keluarkah air liur.
3)
Anjing
yang lapar lalu dinyalakan lampu kamar maka keluarlah air liur.
4)
Anjing
yang lapar dibunyikan bunyi-bunyian maka keluarlah air liur.
Kesimpulan dari percobaan Pavlov ini
adalah:
1)
Gerakan-gerakan
reflek itu dapat dipelajari dan dapat berubah karena mendapat latihan.
2)
Gerakan
reflek dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu:
a)
Uncontioned
reflex (reflek wajar) seperti keluar air
liur ketika melihat makanan lezat.
b)
Conditioned reflex (reflek
bersyarat) yaitu reflek yang dipelajari seperti keluar air liur karena melihat
warna sinar tertentu atau bunyi tertentu.
b.
Teori
Conditioning dari Guthrie
Guthrie mengemukakan bahwa belajar merupakan kaitan asosiatif antara stimulus dan
respon tertentu. Stimulus dan respon
merupakan faktor kritis dalam belajar.
Oleh karena itu diperlukan pemberian stimulus yang sering agar hubungan
lebih langgeng. Suatu respon akan lebih
kuat (dan bahkan menjadi kebiasaan) apabila respon tersebut berhubungan dengan
berbagai stimulus.[12]
Guthrie mengemukakan bahwa hukuman memegang peranan penting dalam proses
belajar. Menurutnya suatu hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan
mampu merubah kebiasaan seseorang.
Contoh seorang anak perempuan yang setiap kali pulang sekolah selalu
mencampakkan baju dan topinya dilantai.
Ibunya menyuruh agar baju dan topi dipakai kembali oleh anaknya. Lalu kembali keluar, dan masuk rumah kembali
sambil mengantungkan baju dan topinya di tempat gantungannya. Setelah beberapa kali melakukan hal itu,
respon menggantung topi dan baju menjadi terasosiasi dengan stimulus memasuki
rumah.[13]
c.
Teori
Operant Conditioning ( skinner )
Seperti
Pavlov dan Watson, Skinner juga memikirkan tingkah laku sebagai hubungan antara
perangsang dan respons. Menurut penelitian yang dilakukan Skinner hubungan
antara Stimulus (rangsangan) dengan respons menjadi lebih kuat bila disertai
dengna hadiah (reward) yang menyenangkan.[14]
Skinner membedakan adanya dua macam
respon[15],
yaitu:
1)
Respondent
Response ∕Reflexive Response yaitu
respon yang ditimbulkan oleh perangsang-perangsang tertentu seperti keluar air
liur setelah melihat makanan tertentu.
2)
Operant
Respon∕Instrumental Response, yaitu
respon yang timbul dan berkembangnya diikuti oleh perangsang-perangsang
tertentu, yang demikian itu disebut reinforcing stimuli atau reinforcer
(stimulus penguat). Dinamakan demikian karena perangsang ini memperkuat
respon yang telah ada. Seperti anak yang telah merespon belajar, kemudian
diberi hadiah (reinforcer) maka ia akan lebih giat belajar.
Dari
kedua bentuk respon di atas, bentuk yang pertama yaitu Respondent Response ada
pada diri manusia sangat terbatas. Sedangkan jenis yang kedua Operant Respon
ada pada diri manusia hampir tak terbatas. Oleh karena itu guru hendaknya
selalu mencari dan mengembangkan respon jenis kedua ini untuk meningkatkan
motivasi belajar siswa.[16]
d.
Teori
Systematic Behavior ( Hull )
Clark
C. Hull mengemukakan teorinya, yaitu bahwa suatu kebutuhan atau “keadaan
terdorong” ( oleh motif, tujuan, maksud, aspirasi, ambisi) harus ada dalam diri
seseorang yang belajar, sebelum suatu respon dapat diperkuat atas dasar
pengurangan kebutuhan itu. Dalam hal ini efisiensi belajar tergantung pada
besarnya tingkat pengurangan dan kepuasan motif yang menyebabkan timbulnya
usaha belajar itu oleh respon-respon yang dibuat individu itu. Setiap obyek,
kejadian atau situasi dapat mempunyai nilai sebagai penguat apabila hal itu
dihubungkan dengan penurunan terhadap suatu keadaan deprivasi (kekurangan) pada
diri individu itu; yaitu jika obyek, kejadian atau situasi tadi dapat menjawab
suatu kebutuhan padasaaat individu itu melakukan respon.[17]
Prinsip
penguat (reinforcer) menggunakan seluruh situasi yang memotivasi, mulai dari
dorongan biologis yang merupakan kebutuhan utama seseorang sampai pada hasil-hasil
yang memberikan ganjaran bagi seseorang (misalnya: uang, perhatian, afeksi, dan
aspirasi sosial tingkat tinggi). Jadi, prinsip utama adalah suatu kebutuhan
atau motif harus ada pada seseorang sebelum belajar itu terjadi, dan bahwa apa
yang dipelajari itu harus diamati oleh orang yang belajar sebagai sesuatu yang
dapat mengurangi kekuatan kebutuhannya atau memuaskan kebutuhannya.[18]
2.
Teori Connectionism Thordike
Dasar
teori ini adalah trial and error (mencoba dan salah). Setiap organisme
jika dihadapkan dalam situasi baru maka ia akan melakukan kegiatan mencoba-coba
(trial) yang kemudian dalam kegiatannya itu akan mendapatkan kesalahan
atau kegagalan (error). Namun berdasarkn kesalahan-kesalahan tersebut ia
akan mendapat jalan untuk menyelesaikan masalah terhadap situasi baru tersebut
sehingga semakin lama dia akan bertindak lebih efisien dalam menyelesaikan
masalah tersebut.[19]Contoh:
seekor kucing yang dibuat lapar dimasukkan ke dalam sebuah kandang. Pada
kandang itu dibuat lubang pintu yang tertutup yang dapat terbuka jika suatu
pasak di pintu itu tersentuh. Di luar kandang diletakkan sepiring makanan
(daging). Mula-mula kucing itu bergerak kesana kemari mencoba-coba hendak
keluar mealui berbagai jeruji kandang itu. Lama-kelamaan pada suatu ketika secara
kebetulan tersentuhlah pasak lubang pintu oleh salah satu kakinya. Pintu
kandang terbuka dan kucing itu pun euar menuu makanan.
Percobaan
diulang lagi. Tingkah laku kucing itu pun pada mulanya sama seperti percobaan
pertama. Hanya waktu yang diperlukan untuk bergerak esana kemari lebih singkat.
Setelah diadakan percobaan berkali-kali akhirnya kucing itu tidak lagi kian
kemari mencoba-coba tetapi langsung menyentuh pasak pintu dan terus kelua
mendapatkan makanan.Jadi proses belajar menurut Thorndike mealui proses:[20]
a.
Trial
and Error (mencoba-coba dan mengalami
kegagalan)
b.
Law
of Effect (hukum tentang hasil) segala sesuatu
yang memuaskan (hasil) akan diingat atau dipelajari (hukum), sedangkan segala
sesuatu yang tidak menyenangkan (hasil) akan dilupakan (hukum).
Karena
adanya hubugan (connection) antara reaksi dengan hasil maka teori
Thorndike disebut teori connectionism. Namun, dalam teori Thorndike ini
terdapat kelemahan-kelemahan diantaranya:
1)
Terlalu
memandang manusia sebagai makhluk mekanismus otomatisme sehingga disamakan
dengan binatang.
2)
Memandang
belajar hanya merupakan asosiasi (hubungan) antara stimulus dan respon.
3)
Mengabaikan
unsur pengertian dalam belajar.[21]
3.
Teori Kognitif
Teori
belajar kognitif menjelaskan belajar dengan berfokus pada perubahan-perubahan
proses mental internal yang digunakan dalam upaya memahami dunia eksternal.
Proses tersebut digunakan mulai dari mempelajari tugas-tugas sederhana seperti
memecahkan masalah matematik yang mendetail.
Menurut
teori ini, tingkah laku seseorang didasarkan pada kognisi, yaitu tindakan
mengenal atau memikirkan situasi dimana tingkah laku itu terjadi. Dalam situasi
belajar, seseorang terlibat langsung dalam situasi itu dan memperoleh insight
dalam memecahkan masalah. Jadi kaum kognitif berpandangan, bahwa tingkah
laku seseorang lebih bergantung kepada insight terhadap
hubungan-hubungan yang ada di dalam suatu situasi.[22]
Dengan
demikian, teori-teori kognitif menekankan bahwa dalam proses belajar
pembelajaran aktif dalam mengembangkan pemahaman mereka sendiri tentang topik
yang mereka pelajari.Diantara teori-teori kognitif yang terkenal adalah:
a.
Teori Cognitive Field
Menurut
Lewin, belajar berlangsung sebagai akibat dari perubahan dalam struktur
kognitif. Perubahan struktur kognitif itu adalah hasil daridua macam kekuatan,
satu dari struktur medan kognisi itu sendiri yang lainnya dari kebutuhan
motivasi internal individu.
b.
Teori Schema
Teori
Schema mengemukakan keberadaan struktur pengetahuan yang disebut dengan schema
atau schemata yang memiliki dua bentuk, yaitu secara umum disebut script.
Meski scemata kadang-kadang menyebabkan kita salah pengertian atau
salah mengingat segala sesuatu, schemata mampu membuat kita memecahkan
masalah secara lebih baik dan sangat membantu dalam mengkategorisasi, memahami,
dan memngingat segala sesuatu.[23]
c.
Teori Pemrosesan Informasi
Teori
pemrosesan informasi adalah teori kognitif tentang belajar yang menggambarkan
pemrosesan, penyimpanan dan perolehan pengetahuan oleh pikiran.[24]
Menurut
teori ini, belajar adalah menyangkut tentang bagaimana informasi dari
lingkungan dapat disimpan dalam memori. Untuk menggambarkan proses tersebut
digunakan pomodelan. Model proses penyimpanan informasi yang paling berpengaruh
dalam hal ini adalah model yang dikemukakan oleh Atkinson dan Shiffrin pada
tahun 1968. Model tersebut memiliki tiga komponen mayor, yaitu penyimpanan
informasi, proses kognitif, dan metakognisi.
4.
Teori Konstrutivis
Konstruktivisme
adalah teori tentang pengetahuan dan belajar, yang menguraikan tentang apa itu
‘mengetahui’ dan bagaimana seseorang ‘menjadi tahu’.[25]
Konstruktivisme memandang ilmu pengetahuan bersifat non objective, temporer,
selalu berubah. Hal ini sesuai dengan pendapat radical constructivist yang
menyatakan bahwa pengetahuan itu terbentuk dalam struktur kognisi si
pembelajar, bukan berada secara terpisah di luar disi si pembelajar.
Dari
berbagai pandangan konstruktivis yang ada, ada dua pandangan yang mendominasi
yaitu:
a.
Teori
individual cognitive constuctivist
Teori
ini berfokus pada kontruksi internal individu terhadap pengetahuan. Pengetahuan
tidak berasal dari lingkungan sosial, akan tetapi interaksi sosial penting
sebagai stimulus terjadinya konflik kognitif internal pada individu.
b.
Teori
socio cultural constructivist
Teori
ini berpandangan bahwa pengetahuan berada dalam konteks sosial, karenanya
ditekankan pentingnya bahasa dalam belajar yang timbul dalam situasi-situasi
yang berorientasi pada aktivitas.[26]
5.
Teori
Psikologi Gestalt
Teori
ini disebut juga field teori (teori kancahllapangan) atau disebut juga insight
full learning (belajar penuh pengertian). Belajar menurut teori psikologi
Gestalt bukan hanya sekedar proses asosiasi antara stimulus-respon yang
makin lama semakin kuat karena adanya latihan atau ulangan, tetapi belajat
menurut teori ini terjadi jika ada pengertian. Belajar adalah suatu proses
rentetan penemuan dengan bantuan pengalaman-pengalaman yang sudah ada.[27]
Menurut
teori ini, jiwa manusia adalah suatu keseluruhan yang berstruktur. Suatu
keseluruhan bukan terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur. Unsur-unsur itu
berada daam keseluruhan menurut struktur yang telah terbentuk dan saling
berinteraksi saru sama lain.[28]
Teori
psikologi Gestalt sangat berpengaruh terhadap tafsiran tentang belajar.
Beberapa prinsip yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut:
a.
Dalam
belajar faktor pengalaman atau pengertian atau pemahaman (insight) merupakan
faktor penting.
b.
Dalam
belajar faktor pribadi atau organisme memegan peranan paling sentral
c.
Individu
berada dalam keadaan keseimbangan yang dinamis, adanya gangguan terhadap
keseimbangan itu akan mendorong terjadinya tingkah laku.
d.
Belajar
menitikberatkan pada situasi sekarang, dalam situasi tersebut menemukan
dirinya.
C.
Seorang Pendidik dalam Menyikapi Teori-teori Belajar
Teori-teori
belajar yang ada hendaklah disikapi dengan bijaksana. Beberapa catatan dalam
menyikapi keberagaman teori belajar yaitu:
1.
Teori-teori
belajar tersebut hendaknya tidak dipandang sebagai teori yang bertentangan satu
dengan yang lain, sehingga yang satu benar dan lainnya salah.
2.
Perbedaan-perbedaan
yang terdapat dalam teori belajar tersebut disebabkan oleh perbedaan
jenis-jenis belajar yang diselidiki, karena belajar itu ada yang bertahap
rendah dan ada yang bertahap tinggi, ada yang dalam tingkatan bioligis dan ada
yang dalam tingkatan rohaniah, ada yang bersifat skill (kecakapan) dan ada yang
bersifat rasionil.
3.
Yang
penting bagi kita sebagai pendidikk adalah mnggunakan teori-teori yang sesuai
tersebut berlaku bagi manusia.[29]
IV.
PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami susun semoga dapat bermanfaat
dalam kegiatan pembelajaran “ Psikologi Pendidikan” dengan judul: pengertian
dan teori-teori belajar.Tentu saja dalam pembuatan makalah masih banyak
kekeliruan, oleh karena itu kami mohon maaf sebesarnya. Terima kasih atas
segala kritik dan saran yang membangun.
Daftar Pustaka
Sutrisno Ahmad, dkk, Psikologi Pendidikan, Cet. II,
(Ponorogo: Darussalam Press, )
M. Ngalim purwanto, Psikologi pendidikan, ( Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014).
M. Alisuf Sabri, Psikologi pendidikan, (Jakarta: Pedoman
Ilmu Jaya, 2007),
Oemar Hamalik, Proses Belajar Mengajar, (Jakarta: Bumi
Aksara, 2009),
Muhamad
Yaumi, Prinsip-prinsip desain pembelajaran, (Jakarta: Kencana,2013),
Nyanyu
Khodijah, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014).
[1] Sutrisno
Ahmad, dkk, Psikologi Pendidikan, Cet. II, (Ponorogo: Darussalam Press,
), hlm. 7.
[2]M. Ngalim
purwanto, Psikologi pendidikan, (
Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014). Hlm. 84
[3] M. Ngalim
purwanto, Psikologi pendidikan, (
Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014). Hlm. 84
[4] M. Ngalim
purwanto, Psikologi pendidikan, (
Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014). Hlm. 84
[5] M. Ngalim
purwanto, Psikologi pendidikan, (
Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014). Hlm. 84
[6] M. Alisuf
Sabri, Psikologi pendidikan, (Jakarta:
Pedoman Ilmu Jaya, 2007), hlm. 62.
[7]Mahmud, Psikologi Pendidikan, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm. 73.
[8]Nyanyu
Khodijah, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014),
hlm. 63.
[9]Oemar
Hamalik, Psikologi Belajar &
Mengajar, (Bandung : Sinar Baru Algensindo, 2010). Hlm. 49
[10] M. Ngalim
purwanto, Psikologi pendidikan, (
Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014). Hlm. 91
[11]M. Ngalim
purwanto, Psikologi pendidikan, (
Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014). Hlm. 91
[12]M. Ngalim
purwanto, Psikologi pendidikan, (
Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014). Hlm. 92
[13] M. Ngalim
purwanto, Psikologi pendidikan, (
Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014). Hlm. 92-93
[14] Muhamad Ali, Guru
dalam Proses Belajar Mengajar, (Bandung : Sinar Baru Algensindo, 2010).
Hlm. 18
[15]M. Ngalim
purwanto, Psikologi pendidikan, (
Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014). Hlm. 95
[16]
Sutrisno Ahmad,
dkk, Psikologi Pendidikan,Cet. II (Ponorogo: Darussalam Press, 1425H),
hlm. 74-77.
[17] M. Ngalim
purwanto, Psikologi pendidikan, (
Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014). Hlm. 97
[18] M. Ngalim
purwanto, Psikologi pendidikan, (
Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014). Hlm. 97
[19]M. Ngalim
purwanto, Psikologi pendidikan, (
Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014). Hlm. 98
[20]M. Ngalim
purwanto, Psikologi pendidikan, (
Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014). Hlm. 99
[21] Sutrisno
Ahmad,dkk, Psikologi Pendidikan,Cet. II (Ponorogo:Darussalam Press,
1425H), hlm.78-79.
[22] M. Dalyono, Psikologi
Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), hlm. 34-35.
[26]Nyanyu
Khodijah, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2014),hlm. 76-84.
[27]Sutrisno Ahmad,
dkk, Psikologi Pendidikan,Cet. II (Ponorogo: Darussalam Press, 1425H),
hlm. 79-80.
[28]Oemar Hamalik, Proses
Belajar Mengajar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), hlm. 41.
[29]
Sutrisno Ahmad,
dkk, Psikologi Pendidikan,Cet. II (Ponorogo: Darussalam Press, 1425H),
hlm 80.
Komentar