I.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Sosial dan Budaya
Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata kultur sebagai nomina memiliki dua arti,
yaitu (1) kebudayaan dan (2) cara pemeliharaan; pembudidayaan. Arti (1) lebih
banyak diketahui oleh penutur bahasa Indonesia seperti dalam frase kultur
Timur versus kultur Barat. Derivasinya, kultural sebagai ajektiva
cocok dengan arti (1). Demikian pula dengan akulturasi, yang berasal
dari acculturation, yaitu proses pembudayaan atau adaptasi dengan suatu
budaya.[1]
Menurut Khalil
Abdul Karim dalam bukunya “Hegemoni
Quraisy; Agama, Budaya, Kekuasaan”, budaya (ats-Tsaqafah) adalah kata
yang memiliki makna luas, yang mencakup seluruh aspek kehidupan; sosial,
ekonomi, agama, politik, etika, pendidikan, estetika (seni), bahasa dan semua
aktivitas. Oleh karena itu, para sosiolog berbeda-beda dalam mendefinisikannnya
secara jelas, karena cakupannya yang menyeluruh bagi kelompok-kelompok manusia.[2]
Menurut KBBI,
sosial ialah hal-hal yang berkenaan dengan masyarakat. Berdasarkan pengertian
yang dikemukakan oleh Khalil Abdul Karim, diketahui bahwa sosial merupakan bagian
dari kebudayaan. Dapat ditarik kesimpulan bahwa budaya belum tentu sosial tapi
sosial sudah pasti masuk ranah kebudayaan.
Dalam makalah
ini, penulis akan membahas ihwal kebudayaan dalam arti adat istiadat yang sudah
menjadi kebiasaan dan sukar diubah pada masa Islam datang, tepatnya pada masa
Rasulullah SAW. baik di Mekkah maupun setelah hijrah di Madinah. Jamak diketahui
bahwa concern dakwah Nabi SAW. selama di tanah kelahirannya (Mekkah)
masih pada pembenahan masalah seputar akidah orang-orang Arab jahiliyah
sedangkan pada periode Madinah Nabi Muhammad SAW. telah membangun sebuah
peradaban dimana sampai saat ini kebanyakan tindakan Nabi SAW. itu dijadikan
sebagai kiblat membangun masyarakat madani.
B.
Islam Sebagai Dasar Kebudayaan
“Islam itu
sesungguhnya lebih dari satu sistem agama saja; Islam adalah satu kebudayaan
yang lengkap”, demikianlah bunyi pengakuan seorang pujangga ahli tarikh dan kebudayaan Prof. H. A. R.
Gibb dalam bukunya yang terkenal: Wither Islam. Yaitu satu pengakuan
dari seorang yang bukan dipengaruhi oleh fanatik agama, merdeka daripada segala
macam perasaan ta’assub, pengakuan seorang ahli ilmu yang membentangkan
keyakinannya dengan terus terang, berdasar kepada pemeriksaan yang teliti dan
seksama.
Dan
bersama-sama dengan profesor tersebut ada berpuluh-puluh kalau tidak akan
beratus-ratus ahli-ahli pengetahuan yang ternama tentang berbagai macam agama,
yang mengakui dengan terus terang pula, dan menghargai dengan cara kesatria
akan jasa-jasanya Islam terhadap kebudayaan umumnya. Ada yang memandang dari
segi ilmu pengetahuan, ada yang menilik dari segi falsafah, dari segi
pemerintahan, perekonomian, akhlaq (etik), susunan pergaulan hidup lainnya.
Tarikh telah menunjukkan, bahwa
tiap-tiap bangsa yang telah menempuh ujian hidup yang sakit dan pedih dan tak
putus bergiat menentang marabahaya berpuluh tahun lamanya, tentu pada suatu
saat akan mencapai satu tingkat kebudayaan yang tinggi, sehingga mereka dapat
memberi penerangan kepada bangsa-bangsa lain, yang hidup pada masa mereka,
dapat pula meninggalkan buah yang lezat dan manfaat untuk bangsa-bangsa yang
datang di belakang mereka.[3]
C.
Sistem Sosial
dan Budaya Periode Mekkah
Dengan maksud agar pemetaan sistem
sosial dan budaya pada masa Rasulullah SAW. menjadi lebih mudah, maka secara
garis besar penulis akan membaginya menjadi dua, yaitu: sistem sosial-budaya di
Mekkah dan Madinah. Berikut akan diuraikan mengenai sistem sosial dan budaya di
Mekkah, sedangkan penjelasan sistem sosial dan budaya setelah Nabi SAW. hijrah
akan diuraikan pada sub-bab yang selanjutnya.
Kala itu penduduk Mekkah lemah pemikirannya tetapi
rangsangan nafsunya begitu besar. Memang, tidak ada kaitan antara kematangan
fisik dengan kematangan pikir juga tidak ada pautan antara keterbelakangan
berpikir masyarakat dengan keterbelakangan ambisi dan birahi.
Gejolak nafsu syahwat yang kita
dengar di Paris dan Hollywood tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di
abad-abad lampau ketika kebobrokan melanda bumi. Dilihat dari segi itu,
kemajuan peradaban tidak ada pengaruhnya kecuali hanya menambah sarana pemuas
nafsu. Nafsu syahwat itu tidak banyak berubah, baik sebelum maupun sesudah
terjadinya kebobrokan di muka bumi. Egoisme, keserakahan, suka pamer dan
bertengkar, iri hati, dan sebagainya memenuhi dunia lama meski bentuknya
berbeda-beda pada tiap zaman.
Di sebuah desa atau di kalangan
suku primitif bisa kita lihat adanya perebutan harta dan kedudukan, demikian
pula dalam masyarakat modern. Banyak orang yang kurang memiliki pengetahuan dan
etika namun mereka tidak pernah kekurangan cara untuk menipu, memenuhi ambisi,
dan memperdaya sesama. Kita mungkin akan tercengang terhadap orang yang tidak
memahami persoalan di depan hidungnya, namun ia tahu betul cara-cara untuk
menonjolkan seolah-olah diri sendiri lebih tahu daripada orang lain.
Sejak zaman nabi Nuh As kehidupan sudah dipenuhi dengan
kebodohan dan perilaku buruk karena itu ketika Nuh As menyeru kaumnya supaya
beriman kepada Allah mereka tidak menanggapi seruan itu. Yang mereka perdulikan
adalah si penyeru dan kedudukannya yang tinggi.
Mengenai hal itu Allah telah berfirman: “Maka para
pemuka orang kafir di kalangan kaumnya menjawab: Orang itu (Nabi Nuh) tidak
lain hanyalah manusia (biasa) seperti kalian. Ia hanya ingin
menjadi orang yang lebih tinggi daripada kalian. Kalau Tuhan menghendaki tentu
Dia akan mengutus beberapa Malaikat” (QS. Al-Mukminun: 24)
Ada banyak peluang untuk
melampiaskan nafsu seseorang, dan pengaruh dari lampiasan nafsu dan perbuatan
maksiat sangatlah buruk terhadap moral. Orang yang melakukannya merupakan
contoh nyata dari orang yang dikuasai nafsu dan lemah berpikir, atau memiliki
daya pikir yang dipenuhi dengan nafsu dan lemah berpikir atau memiliki daya
pikir yang dipenuhi dengan nafsu yang tak terkendali.
Ketidakpercayaan kepada Allah dan Hari Akhir pemenuhan
nafsu duniawi, gila hormat, haus akan kekuasaan, sikap plin-plan yang mengupayakan perdamian atau perang demi memenuhi
ambisi merupakan tradisi turun-temurun yang mengarahkan kegiatan material dan
moral dalam lingkup yang sempit.
Tidaklah benar bahwa Mekah saat itu merupakan
perkampungan yang belum berperadaban, terisolir di tengah gurun, atau tidak
memiliki selera duniawi selain dari mengisi perut. Sebaliknya, wilayah ini
memiliki kehidupan yang kompleks yang dipenuhi oleh manusia-manusia congkak dan
mengingkari keberadaan Tuhan. Orang-orangnya buta akan kebenaran bahkan
mengingkarinya. Dalam masyarakat yang tidak memiliki peradaban intelektual ini,
kecongkakan individu sudah demikian parahnya sampai-sampai menyaingi Fir’aun dengan
tirani dan arogansinya.[4]
Di tengah-tengah kebodohan dan
kesesatan, Islam memancarkan cahayanya sedikit demi sedikit hingga membebaskan
seluruh jazirah Arab dari kegelapan. Bahkan Islam menjadikan para pemeluknya
sebagai pelita agung yang memberikan penerangan dan bimbingan. Ajaran-ajaran
yang menyebabkan perubahan besar ini, yang mengangkat penganutnya dari kehinaan
menuju kemuliaan bukan ditujukan untuk suatu zaman atau sekelompok orang
tertentu. Ajaran ini ditujukan untuk seluruh umat manusia apapun rasnya dan
akan tetap ada selama manusia ada. Selain itu ajaran ini juga menempatkan manusia
pada kedudukan terhormat serta memperbaharui hidupnya.[5]
Salah satu
budaya popular di jazirah Arab adalah budaya lisan berupa deklamasi puisi. Puisi
merupakan medium informasi yang terpenting pada saat itu. “Boleh jadi para
penyair di jazirah Arab pada masa jahiliah mempunyai otoritas yang melebihi
otoritas wartawan pada masa modern, jika memang orang Arab sadar bahwa mereka
memiliki sesuatu yang menakjubkan atau yang mampu memagis”. Tidak mengherankan
jika puisi dinisbatkan pada merebaknya tradisi tidak bisa baca-tulis (ummi),
karena orang Arab mengandalkan memori daya ingatannya untuk menghafalkan
berbait-bait qashidah sejak awal, yang berpindah dari satu orang ke
lainnya dan dari satu tempat ke tempat yang lain secara tepat dan tepat, maka
puisi mempunyai pengaruh dalam jiwa sebanding dengan pengaruh sihir. Dalam hal
ini ada beberapa cerita aneh, seperti menghilangkan persoalan suatu suku dengan
sebuah bait puisi, dan mengorbankan perang persenjataan dengan memberikan
semangat melalui bait-bait qashidah.
Muhammad SAW.
sang pendiri negara Quraisy, Abu Sufyan, seorang saudagar besar Makkah, dan
para Shanadid Quraisy yang menentang beliau, masing-masing berambisi
menjaga ketentraman mereka dan takut kehilangan pekerjaannya, selama para
penyair turut berperan dalam pertentangan antara mereka berdua, maka
masing-masing dari kedua belah pihak menggunakan gayanya sendiri-sendiri untuk
menarik beberapa penyair ke dalam barisannya, atau malah para penyair itu tidak
ambil suara sama sekali.[6]
Wewenang
seorang pemimpin suku meliputi seluruh individu suku, tidak seorang pun dapat
menentangnya. Seorang pemimpin suku memiliki sedikit keistimewaan dalam harta
rampasan perang (Al- Ghanimah) yang dihasilkan dari peperangan atau
penyerbuan, seperti: Al-Murabba’ (seperempat bagian dari harta rampasan/ghanimah),
ash-Shafaya ( bagian yang diberikan untuk dirinya sebelum pembagain ghanimah
atau jarahan yang didapat dengan tanpa pertempuran), an-Nasyithah (bagian
harta sebelum perang berkecamuk), al-Fudhul (orang yang tidak berhak
mendapat bagian dari harta ghanimah). Pembagian ini tidaklah mudah atau
sederhana. Beberapa keistimewaan tersebut telah ditetapkan dalam agama Islam.
Nabi Muhammad SAW sendiri mengambil kekhususan dengan hal itu.
Secara jelas,
suku-suku di jazirah Arab –meskipun sangat banyak- bertebaran di mana-mana.
Antara yang satu dengan yang lain tidak memiliki hubungan. Yang ada hanyalah
perang dan penyerangan. Walaupun ada sebagian dari suku tersebut yang
mengadakan perjanjian (persahabatan), atau antara mereka terjalin hubungan
kekerabatan (mushaharah) namun hal itu hanya merupakan pengecualian yang
tidak menjadi prinsip yang kuat. Suku-suku tersebut terpecah-pecah bahkan
saling bermusuhan. Hal itu mengakibatkan adanya “kekosongan politik” yang
kemudian melahirkan negara Quraisy di Yatsrib sebagaimana wujudnya yang
sempurna. Karena dalam kondisi seperti itu agama Islam mampu menegakkan
tujuan-tujuan negara Quraisy di kota Madinah al-Munawwarah dimana
kekuasaannya terbentang sampai wilayah Hijaz dan wilayah-wilayah lain yang
berada di jazirah Arab sebagai pemanfaatan atas kekosongan politik yang melanda
jazirah Arab saat itu. Terpecahnya suku-suku yang tersebar di jazirah Arab
bukanlah faktor satu-satunya terhadap “kekosongan politik”. Masih ada faktor lain
sebagaiman yang kami sebutkan terdahulu. Saat itu banyak para kepala suku yang
merasakan (sadar) akan kekosongan politik tersebut. Mereka berusaha mengisinya
tetapi kondisi objektif dan kepasitas individu tidak mampu menjawabnya
(menyelesaikannya). Ibnu Ishaq menyebutkan bahwa utusan dari Bani Amir yang
termasuk dalam rombongan itu adalah Amir bin Thufail, pergi menghadap
Rasulullah Saw. kaumnya berkata kepadanya (Amir): Hai Abu Amir, semua manusia
telah masuk Islam maka engkau masuklah Islam. ia menjawab: ”Sungguh aku telah
bersumpah agar aku tidak melarang (demikian) hingga orang-orang Arab mengikuti
setelahku, sedangkan aku sendiri telah mengikuti jejak seorang pemuda yang
berketurunan Quraisy. Di sini Amir bin Thufail adalah seorang kepala Bani Amir,
ia berfikir tentang kepemimpinan orang-orang jazirah Arab hingga orang-orang
Arab mengikuti langkahnya, ini bukan satu-satunya pemikiran yang dipaparkan
melainkan masih banyak pendapat lain yang senada. Tetapi ia tidak berhasil
dalam mengisi “kekosongan politik”. Setelah penaklukan kota Mekkah (Fathu
Mekkah) jelaslah semua dan tanpa dapat disangkal bagi setiap kepala suku
bahwa suku Quraisy menjadi pemimpin bagi seluruh penduduk jazirah Arab. Maka
datanglah sepuluh utusan ke Yatsrib dari berbagai penjuru Arab, mereka
membai’at Nabi Muhammad SAW. Sehingga tahun itu disebut dengan Amm al-Wufud (tahun
utusan). Mereka menyatakan persahabatannya secara mutlak kepada pemimpin suku
Quraisy. Tentang sebagian utusan Bani Abdul Qais, Ibnu Katsir menyebutkan ketika mereka melihat Rasulullah
SAW. mereka meloncat dari kendaraan untanya lalu mendekatinya dan mencium kedua
tangannya. Dan uluran tangan baik yang dahulu maupun yang baru dari empat
penjuru dunia merupakan bukti pengakuan yang pasti atas kepemimpinannya.
Demikian juga ketika A’sya dari Bani Mazin pergi menghadap Rasulullah SAW. ia
memanggil beliau dengan: “Wahai pemimpin para manusia dan tuannya orang Arab”.
Demikian juga mereka yang telah mendapat berita dari Ahl al-Kitab di antara
utusan tersebut ada yang berbicara -mereka adalah kaumnya Abdurrahman bin Abi
Uqail- wahai Rasulullah, mengapa engkau tidak meminta kerajaan sebagaiman Nabi
Sulaiman? Nabi pun tersenyum, kemudian menjawab: barangkali temanmu di sisi
Tuhan lebih mulia dibanding dengan Kerajaan Nabi Sulaiman.[7]
Sebagaimana
dalam pembahasan Hilf al-Fudhul (perjanjian istimewa), bahwa di antara
sebab terlaksananya Hilf al-Fudhul tersebut adalah karena adanya
kesepakatan “saling memberi pertolongan dalam kehidupan” (at-Ta’asi fi
al-Ma’asyi), sebagaimana dijelaskan oleh pengarang kitab as-Sirah
an-Nabawiyah bahwa Hilf al-Fudhul itu merupakan proyek untuk
mengembalikan keseimbangan, balance, meskipun relatif di kalangan kelas
orang kaya dan kelas fakir (lemah) dan untuk menyelamatkan kekayaan yang hampir
porak-poranda. Dengan demikian, musnahlah perundang-undangan positif yang
sangat sewenang-wenang. Dan secara de fakto sebagian kelompok merespon
hal itu. “Dalam penjelasan para sejarawan tentang orang-orang yang
mempertahankan Jabal Tihamah (Gunung Tihamah), bahwa mereka adalah
orang-orang yang berada di luar tradisi dan dari kalangan budak yang melarikan
diri dari tuannya. Mereka berkumpul di tempat itu (Jabal Tihamah),
membuat pertahanan dan menjarah setiap orang yang lewat; kebiasaan seperti itu
terus berlangsung sampai Rasulullah Saw. datang untuk memeranginya
(melarangnya).
Setelah
datangnya Rasulullah Saw. mereka tidak melakukan penjarahan dan juga tidak
menempati tempat tersebut. Keadaan baru membuka jalan kehidupannya. Rasulullah
Saw. memanfaatkan semua perilaku yang pernah mereka lakukan sebelum Islam
datang, lalu mereka masuk Islam dan hidup dalam kemakmuran“. Itulah kelompok
kelas fakir dan budak yang melarikan diri dari tuannya, yang tidak kuat dalam
menghadapi kehidupan yang kejam dan hina sehingga mereka melakukan penjarahan
(perilaku yang kotor) dan menjadikan Jabal Tihamah sebagai tempat
tinggalnya. Mereka mulai merampok setiap orang yang lewat dan mengambil segala
harta kekayaan yang dibawanya. Kebiasaan seperti ini terus berlangsung sampai Nabi
Muhammad SAW, datang untuk memeranginya. Kemudian mereka mengerti bahwa keadaan
baru telah datang, yaitu perundang-undangan politik telah dibuat. Atau dengan
kata lain bahwa negara tidak membolehkan lagi kepadanya untuk melakukan
penjarahan itu. Pada satu sisi mereka mengetahui bahwa prinsip-prinsip keadilan
sosial telah dikumandangkan (dibawa) oleh Nabi Muhammad, sehingga mereka pun
harus tunduk kepada otoritas negara tersebut. Dan pada sisi lain, mereka
memanfaatkan prinsip-prinsip keadilan sosial yang berkembang tersebut.[8]
D.
Sistem Sosial dan Budaya pada Masa Rasulullah Periode
Madinah
Menurut M.
Quraish Shihab dalam bukunya yang berjudul “Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW. dalam
Sorotan Al-Qur’an dan Hadits-Hadits Shahih”, beliau
menghidangkan sebuah jawaban atas pertanyaan bahwa mengapa harus Madinah tempat
yang harus dipilih Nabi Muhammad SAW sebagai tempat berhijrah. Tidak salah bila
kita berkata bahwa kota Madinah yang terpilih karena Allah memerintahkan Nabi
SAW. ke sana, apalagi Nabi SAW. bersabda, sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Bukhari
bahwa:
“Aku bermimpi berhijrah dari Mekkah ke satu negeri
yang memiliki banyak pohon kurma, pikiranku mengarah bahwa yang dimaksud adalah
al-Yamamah dan Hajar, tetapi ternyata Madinah Yastrib.” (HR. Bukhari)
Secara
lahiriah, kita dapat berkata bahwa pemilihan tersebut wajar, karena perintis dan
pendukung-pendukung Nabi SAW. yang
terdepan bermukim di sana. Bukankan pertemuan-pertemuan rahasia sebelum
berhijrah dilakuka Nabi SAW. dengan
mereka? Bukankah pembaiat-pembaiat pertama dan kedua di ‘Aqabah adalah dari
mereka yang berjanji setia membela Nabi dan agama Allah? Ini saja sudah cukup
untuk menjawab pertanyaan di atas. Akan tetapi, jika ditinjau lebih jauh ada
keistimewaan lain dari kota Yastrib (Madinah) dan penduduknya yang juga menjadi
faktor ketepatan pilihan itu, yaitu:
a) Sikap Penduduknya
Penduduk
Madinah sejak dulu hingga sekarang dikenal ramah. Ini agaknya bawaan sejak
leluhur mereka. Seperti telah dijelaskan sebelum ini, bahwa asal usul Aus dan
Khazraj yang bermukim di Madinah, adalah dari
Yaman. Mereka, sebagaimana telah diuraikan ketika
berbicara tentang kelompok-kelompok al-‘Arab al-Musta’ribah, terpaksa
meninggalkan Yaman, antara lain karena rubuhnya bendungan Ma’rib. Orang Yaman
merupakan orang-orang yang berbudi luhur dan berperasaan halus. Ketika
rombongan dari Yaman datang berkunjung kepada Nabi selepas peristiwa Khaibar, Nabi SAW. bersabda melukiskan mereka bahwa:
اَتَا
كُمْ اَهْلُ الْيَمَنِ هم ارق قلو با والين افعدة
Datang kepada kamu penduduk Yaman, mereka itu
lembut hatinya dan halus perasaannya.
Di kali lain beliau melukiskan penduduk Yaman
bahwa mereka adalah:
قَوْمُ
نَقية قلو بهم ولينة طبا عهم , الايمان يماني , والفقه يماني , والحكمة يمانية
Kaum yang
bersih hati mereka, halus perangai mereka. Iman bersifat Yamani, faqih dan
hikmah juga demikian.
Inilah yang menjadikan mereka iba melihat
penindasan dan bersedia berkorban untuk saudara-saudara seagama. Keimanan yang
disertai sikap dasar seperti yang dilukiskan di atas menjadikan mereka membuka
pintu hati dan rumah mereka untuk menampung kaum
Muslim yang datang dari Mekkah. Tetapi dalam saat yang sama, mereka juga
dikenal memiliki harga diri yang tinggi sehingga enggan tunduk kepada siapa pun.
b.
Pengalaman
Berperang
Di sisi lain,
penduduk Madinah, Aus,dan Khazraj, berbeda
dengan penduduk Mekkah, khususnya suku Quraisy. Suku Quraisy, seperti
dikemukakan sebelum ini, adalah suku pedagang yang selalu cenderung menghindari
perang demi menjamin kunjungan pendatang ke Mekkah dan amannya bisnis mereka.
Ini berbeda dengan penduduk Madinah yang memiliki pengalaman berperang cukup
lama, apalagi di sana ada orang-orang Yahudi yang kemaslahatannya adalah
terpecahnya masyarakat demi kelanjutan eksistensi mereka. Demikianlah sehingga
dua suku Arab terbesar di Madinah selalu berperang. Peperangan yang
bermacam-macam dan berlanjut puluhan tahun bermula dari Perang Samir sampai
Perang Bu’ats yang terjadi lima tahun sebelum kali peperangan, walau yang
terdahsyat adalah perang terakhir (Bu’ats). Ini baru berakhir dengan datangnya
Islam yang mempersatukan mereka dalam nilai-nilai Islam. Pengalaman berperang
itu tentu saja dibutuhkakn dalam rangka mempertahankan ajaran dan penganiayaan.
c.
Hubungan darah atau Kekeluargaan
Hal lain yang
tidak kurang pentingnya adalah hubungan leluhur Rasul SAW. Dengan suku Khazraj yang merupakan suku mayorirtas di Madinah.
Bukankah sekian banyak dari leluhur Nabi SAW. berasal dari keturunan mereka?
Bukankah ibu Nabi mengantar Nabi di waktu kecil untuk menziarahi kuburan
ayahnya di sekitar Madinah sambil berkunjung ke sanak keluarga beliau, Bani
an-Najjar?[9]
Dalam membangun tatanan masyarakat baru,
termasuk di dalamnya ihwal sosial dan budaya, Rasulullah SAW. melakukan
beberapa langkah, di antaranya:
a)
Membangun
Masjid Nabawi
Langkah petama yang dilakukan Rasulullah SAW.
adalah membangun masjid. Tepat di tempat menderungnya unta itulah beliau
membeli tanah tersebut dari dua anak yatim yang menjadi pemiliknya. Beliau
terjun langsung dalam pembangunan masjid itu, memindahkan bata dan bebatuan,
seraya bersabda, ”Ya Allah, tidak ada
kehidupan yang lebih baik kecuali kehidupan akhirat. Maka ampunilah orang-orang
Anshor dan Muhajirin”.
Beliau juga bersabda, “Para pekerja ini bukanlah para pekerja Khaibar. Ini adalah pemilik
yang paling baik dan paling suci.”
Sabda beliau ini semakin memompa semangat para sahabat dalam bekerja,
hingga salah seorang di antara mereka
berkata, ”Jika kita duduk saja sedangkan
Rasulullah bekerja, itu adalah tindakan orang yang sesat.”
Sementara di tempat tersebut ada kuburan
orang-orang musyrik, puing-puing reruntuhan bangunan, pohon kurma dan sebuah pohon lain. Maka beliau
memerintahakan untuk menggali kuburan-kuburan itu, meratakan puing-puing
bangunan, memotong pohon dan menetapkan arah kiblatnya yang saat itu masih menghadap
ke Baitul Maqdis. Dan pinggiran pintunya dibuat terlebih dahulu dari batu,
dindingnya dari batu bata yang disusun dengan lumpur tanah, atapnya dari daun kurma, tiangnya dari batang pohon, lantainya
dibuat menghampar dari pasir dan kerikil-kerikil kecil, pintunya ada tiga. Panjang
bangunannya ke arah kiblat hingga ke ujungnya ada seratus hasta dan lebarnya
juga hampir sama. Dan fondasinya kurang lebih tiga hasta.
Beliau juga membangun beberapa rumah di sisi
masjid, dinding dari batu bata, atapnya dari
daun kurma yang disanggah beberapa batang pohon. Itu
adalah bilik-bilik untuk istri-istri beliau. Setelah semuanya beres, maka
beliau pindah dari rumah Abu Ayyub ke rumah itu.
Masjid itu bukan sekedar tempat untuk
melaksanakan sholat semata, tetapi juga merupakan sekolahan bagi orang-orang Muslim
untuk menerima pengajaran Islam dan bimbingan-bimbingannya, sebagai balai
pertemuan dan tempat untuk mempersatukan berbagai unsur kekabilahan dan
sisa-sisa pengaruh perselisihan semasa jahiliyah, sebagai tempat untuk mengatur
segala urusan dan sekaligus sebagai gedung parlemen untuk bermusyawarah dan
menjalankan pada pemerintahan.
Di samping semua itu, masjid tersebut juga
berfungsi sebagai tempat tinggal orang-orang Muhajirin yang miskin, yang datang
ke Madinah tanpa memiliki harta, tidak mempunyai kerabat dan masih bujangan.
Awal hijrah itu disyariatkan adzan, sebuah seruan yang menggema di angkasa,
lima kali setiap harinya, yang suaranya memenuhi seluruh pelosok. Kisah mimpi
Abdullah bin Zaid bin Abdi Rabbah tentang adzan ini sudah cukup terkenal, sebagaimana
yang diriwayatkan At-Tirmidzi, Abu Daud, Ahmad dan Ibnu Khuzimah.
b)
Mempersaudarakan
di antara sesama orang-orang Muslim
Di samping membangun masjid sebagai tempat untuk mempersatukan manusia,
Rasulullah SAW. juga mengambil tindakan yang sangat monumental dalam
sejarah, yaitu usaha mempersaudarakan antara orang-orang Muhajirin dan Anshor.
Ibnul-Qayyim menuturkan, “Kemudian Rasulullah SAW mempersaudarakan antara orang-orang Muhajirin dan Anshor di
rumah Anas bin Malik. Mereka yang dipersaudarakan ada sembilan puluh orang,
separuh dari Muhajirin dan separuh dari Anshor. Beliau mempersaudarakan mereka
agar saling menolong, saling mewarisi harta jika ada yang meninggal dunia disamping
kerabatnya. Waris mewarisi ini berlaku hingga perang Badr. Tatkala turun ayat, “Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih
berhak terhadap sesama (dari pada kerabat yang bukan kerabat)”.
Makna persaudaraan ini sebagaimana yang
dikatakan Muhammad Al-Ghazali, agar fanatisme jahiliyah menjadi cair dan tidak
ada sesuatu yang dibela kecuali Islam. Disamping itu agar perbedaan-perbedaan
keturunan, warna kulit, dan daerah tidak mendominasi, agar sesorang tidak
merasa lebih unggul dan lebih rendah kecuali karena ketaqwaannya.
Rasulullah SAW menjadikan persaudaraan ini
sebagai ikatan yang benar-benar harus dilaksanakan,
bukan sekedar isapan jempol dan omong kosong semata. Persaudaraan itu harus
merupakan tindakan nyata yang mempertautkan darah dan harta, bukan sekedar
ucapan selamat di bibir, lalu setelah itu hilang tak berbekas sama sekali. Dan
memang begitulah yang terjadi. Dorongan perasaan untuk mendahulukan kepentingan
yang lain, saling mengasihi dan memberikan pertolongan benar-benar bersenyawa dalam persaudaraan ini, mewarnai
masyarakat yang baru dibangun dengan beberapa gambaran yang mengandung decak
kekaguman.[10]
Nabi Muhammad SAW. hendak menciptakan
toleransi antar golongan yang ada di Madinah,
oleh karena itu Nabi membuat perjanjian antara kaum Muslimin dan
non-muslimin. Menurut Ibnu Hisyam, isi perjanjian tersebut antara lain sebagai
berikut:
a.
Pengakuan atas
hak pribadi keagamaan dan politik.
b.
Kebebasan
beragama terjamin untuk semua umat.
c.
Adalah
kewajiban penduduk Madinah, baik muslim maupun non-muslim, dalam hal moril
maupun materiil. Mereka harus bahu-membahu menangkis semua serangan terhadapa
kota mereka (Madinah).
d.
Rasulullah
SAW. adalah pemimpin umum bagi penduduk Madinah. Kepada beliaulah dibawa segala
perkara dan perselisihan yang besar untuk diselesaikan.[11]
Adapun terlaksananya Bai’ah Aqabah merupakan sebuah
simbol khusus atau bukti dalam sejarah negara Quraisy di Yatsrib. Bani Aus dan
Khazraj (yang kemudian di sebut sahabat Ansar) yang telah berikrar kepada
Muhammad Saw. Untuk menjadi pengikut beliau yang setia dan paling banyak berkorban,
mereka telah menyambut warga Quraisy yang berhijrah ke wilayahnya serta menaruh
simpati kepadanya dengan kekayaan dan penghidupannya.[12]
c)
Pengaruh spiritual dalam masyarakat
Dengan hikmah
dan kepintarannya seperti ini, Rasulullah SAW. telah berhasil memancangkan
sendi masyarakat yang baru. Tentu saja fenomena memberikan pengaruh spiritual
yang sangat besar, yang bisa dirasakan setiap anggota masyarakat, karena mereka
menjadi pendamping Rasulullah SAW. Sementara itu, beliau sendiri mengajari,
mendidik, membimbing, mensucikan jiwa manusia, menuntun mereka kepada akhlak
yang baik, menanamkan adab kasih sayang, persaudaraan, kemuliaan, ibadah dan
ketaatan.
Di samping
semua itu, beliau juga menganjurkan agar mereka menahan diri dan tidak suka
meminta-minta, menyebutkan keutamaan sabar dan rasa puas. Beliau juga
menggambarkan kebiasaan meminta-minta itu seperti kutu, lalat, atau nyamuk yang
menempel pada wajah orang yang meminta-minta, kecuali jika sangat terpaksa. Disamping
itu, beliau juga menyampaikan keutamaan dan pahala berbagai ibadah di sisi
Allah, mengaitkan mereka merasa terlibat langsung dengan dakwah dan risalah,
sehingga mereka semakin tergugah untuk memahami dan mencermatinya.
Begitulah cara
beliau mengangkat moral dan spirit mereka, membekali mereka dengan nilai-nilai
tinggi, sehingga mereka tampil sebagai sosok yang ideal dan sempurna setelah
para Nabi, tercatat dalam sejarah manusia.
Abdullah bin
Mas’ud r.a berkata, “Barang siapa mengikuti maka hendaklah dia mengikuti orang
yang telah meninggal dunia. Sebab orang yang masih hidup tidak dari cobaan.
Mereka itulah para sahabat Nabi Muhammad SAW. Meraka adalah umat yang paling utama, hatinya paling berbakti,
ilmunya paling mendalam, bebannya paling sedikit, yang dipilih Allah sebagai
pendamping Nabi-Nya dan untuk menegakkan agamanya. Maka kenalilah keutamaan
meraka, ikutilah jejak meraka, pegangilah akhlak dan kehidupan mereka sesuai
kemampuan kalian, sesungguhnya mereka berada pada petunjuk yang lurus.[13]
Rasulullah SAW.
sendiri memiliki sifat-sifat lahir dan batin, kesempurnaan, keutamaan, akhlak
dan pebuatan-perbuatan yang bagus, sehingga semua orang tertarik kepada beliau.
Setiap kalimat yang beliau ucapkan pasti akan diikuti para sahabat. Setiap kali
ada bimbingan atau pengarahan yang beliau sampaikan, maka mereka akan berebut
melaksanakannya.
Dengan cara
ini Nabi SAW. mampu membangun sebuah masyarakat yang baru di Madinah, suatu
masyarakat yang mulia lagi mengagumkan yang dikenal sejarah. Beliau juga mampu
mencari pemecahan dari berbagai problem yang muncul di tengah masyarakat ini,
yang bisa dinikmati manusia, setelah mereka keletihan dalam kungkungan
kegelapan.
Dengan
gambaran spiritual yang mengagumkan seperti ini, segala aspek kehidupan sosial
bisa tumbuh menjadi sempurna, siap menghadapi segala arus zaman sepanjang
sejarah.
d)
Pembinaan hukum
Islam di Kota Madinah
Ketika
masyarakat Islam terbentuk maka diperlukan dasar-dasar yang kuat bagi
masyarakat yang baru terbentuk tersebut. Oleh karena itu, ayat-ayat Al-Qur’an
yang diturunkan dalam periode ini terutama ditujukan kepada pembinaan hukum.
Ayat-ayat ini kemudian diberi penjelasan oleh Rasulullah SAW. baik dengan lisan
maupun dengan perbuatan beliau sehingga terdapat dua sumber hukum dalam Islam,
yaitu Al Qur’an dan Hadits. Dari kedua sumber hukum Islam tersebut didapat
suatu sistem untuk bidang politik, yaitu sistem musyawarah. Dan untuk bidang
ekonomi dititikberatkan pada jaminan keadilan sosial, serta dalam bidang
kemasyarakatan, diletakkan pula dasar-dasar persamaan derajat antara masyarakat
atau manusia, dengan penekanan bahwa yang menentukan derajat manusia adalah
ketakwaan.[14]
e)
Arabisasi di
Kota Madinah
Pada periode
Madinah ini, Arabisasi atau nasionalisasi Islam mulai dilakukan. Nabi baru itu
memutuskan ketersambungan Islam dengan agama Yahudi dan Kristen; jumat
menggantikan sabat, azan menggantikan suara terompet dan gong; Ramadan
ditetapkan sebagai bulan puasa, kiblat (arah salat) dipindahkan dari Yerusalem
ke Mekkah, Ibadah Haji ke Ka’bah dibakukan dan mencium Batu Hitam –Ritual pra-Islam-
ditetapkan sebagai ritual Islam.[15]
f)
Sosial
Kemasyarakatan
Nabi tidak
hidup sendiri. Beliau dikelilingi para tetangga yang terdiri dari kaum Anshor,
Muhajirin, pemukim, serta pendatang yang sengaja memeluk Islam. Walaupun ada
beberapa tetangga yang memeluk Nasrani dan Yahudi, tetapi Nabi tetap berbuat
baik kepada mereka. Namun, apabila mereka merusak tatanan agama dan moral,
mereka diusir jauh-jauh dari Madinah.
Mereka yang
memeluk Islam nan setia kepada Nabi SAW. disebut
dengan “Sahabat Nabi”. Sahabat Nabi terdiri dari lelaki, wanita, tua dan muda,
bahkan dari kalangan jin. Semua orang yang pernah bertemu atau mendengar Nabi,
kemudian beriman kepadaanya, disebut sahabat dan
berhak memperoleh jaminan surga.
Di antara para
sahabat, terdapat kelompok yang dikenal dengan “Ahlu Suffah”. Mereka terdiri
dari kelompok pendatang atau penduduk asli yang tidak memiliki kerabat dekat.
Sebagian dari mereka sengaja datang untuk belajar ilmu agama. Kemudian, mereka
kembali pada kaumnya guna mengajarkan ilmu yang dipelajari langsung dari Nabi.
Ibnu Hajar menuturkan, “Ahlu Suffah” tempatnya di belakang Masjid Nabawi
(dataran agak tinggi) yang menjadi tempat khusus bagi para pendatang yang tidak
memiliki tempat tinggal dan keluarga. Sekarang, Ahlu Suffah ini kita kenal
dengan arek pondok (santri) yang datang dari berbagaia tempat guna
menuntut ilmu agama dari Nabi SAW. yang kemudian diajarkan pada kaumnya
(masyarakatnya). Menurut penuturan Abu Hurairah, beliau mengatakan jumlah Ahlu
Suffah (santri) sekitar 70 (tujuh puluh) sahabat.
Ada juga
kelompok para sahabat yang terdiri dari orang-orang Muhajirin dan Anshor yang
pemberani di medan perang. Mereka membela Nabi SAW. sampai akhir hayatnya hingga mati di medan perang seperti Suhada’
Badar, Suhada’ Uhud, serta suhada’ lainnya. Sebagian lagi merupakan kelompok
intelektual, seperti Abu Hurairah, Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, Abadah
bin Somit, dan Ibnu Abbas. Sebagian lagi, para pemuka (pemimpin) seperti Abu
Bakar Al-Siddiq, Umar ibn Al-Khattab, Utsman ibn
Affan, dan Ali ibn Abi Tholib. Sebagian lagi, adalah para pedagang, seperti
Abd. Rahman ibn Auf, Anas ibn Malik, Utsman ibn Affan, dan Abu Sofyan. Masih
banyak lagi keahlian tetangga, sahabat, dan kerabat Nabi yang sekaligus
pendukung setia dakwah Nabi SAW. di dunia dan akhirat.
Para
intelektual Islam di masa Nabi SAW.
senantiasa mencatat semua aktivitas ibadah junjungannya, mulai dari urusan paling
kecil sampai urusan paling besar. Tidak satu pun urusan Nabi SAW., mulai bangun
tidur sampai tidur kembali, dapur serta di sumur, yang tidak dicatat dan
dihapal oleh mereka. Sifat para sahabat disebut oleh para ahli hadits dengan
“al-Udul” yang artinya adil. Dengan demikian, semua yang disampaikan sahabat
Nabi, baik mendengar, melihat, ataupun keikutsertaan dalam sebuah peristiwa
merupakan catatan autentik yang bisa dipertanggungjawabkan secara hukum dan
ilmu pengetahuan.[16]
Tidak diragukan
lagi bahwa kehidupan mereka (Aus dan Khazraj) bersama dengan orang Yahudi di
satu wilayah telah memberikan pemikiran yang jelas tentang teori kenabian,
kehidupan akhirat, hari kebangkitan (al-Ba’ats dan an-Nusyur),
penghisaban (al-Hisab), dan balasan (al-Jaza’) dari Tuhan bagi orang yang
berbuat saleh dan berjuang di jalan-Nya . semua itu tidak seperti dalam
suku-suku yang lain. Jadi, suku Aus dan Khazraj (sahabat Ansar) memandang
persoalan memberikan pertolongan kepada Rosulullah Saw dengan pandangan
keagamaan yang berakar pada emosi. Adapun pandangan kekuasaan , politik,
kepemimpinan, administrasi, dan lain sebagainya tidak terbesit dalam benak
mereka, paling tidak pada awalnya. Kesegaran mereka menerima Muhammad Saw.
Dengan tanpa batas atau syarat (janji) –selain janji surga- memastikan bahwa
mereka orang yang suka dengan “karakter emotif” (Syakhsiyyah Athifiyyah).
“secara umum, orang yang memiliki karakter seperti ini, ketika bergaul dengan
orang lain dalam kehidupan lebih banyak menggunakan emosinya daripada dengan
akalnya. Dalam pergulatan antara keduanya, emosi mengalahkan akal, oleh karena
itu, ucapannya dicirikan dengna komunikatif dan membela”. Barangkali yang
menguatkan hal itu adalah bahwa Nabi Muhammad yang tinggal di kota Mekkah
selama 13 tahun hanya mendapat beberapa pengikut saja, karena orang Mekah dan
suku Quraisy mempunyai “karakter objektif” (Syakhsyiyyah Maudhu’iyyah)
atau “karakter empiris” (Syakhsyiyyah Thabi’iyyah). Bagi orang yang
memiliki karakter seperti ini ia mempunyai kelebihan yang mampu bertindak
dengan penuh perhitungan dalam merealisasikan tujuan tertentu dalam
kehidupannya. Tujuan kelompok orang Quraisy yang memerangi Rosulullah adalah
mendapatkan harta kekayaan dan menyimpannya serta hidup dalam kemewahan. Tetapi
gambaran yang sebaliknya dapat kita lihat bahwa respon yang diberikan oleh suku
Aus dan Khazraj kepada Muhammad Saw yang tidak lebih dari beberapa minggu.[17]
II.
KESIMPULAN
A.
Sistem Sosial
dan Budaya Periode Mekkah
Wilayah Mekkah memiliki kehidupan yang kompleks yang dipenuhi oleh manusia-manusia
congkak dan mengingkari keberadaan Tuhan. Orang-orangnya buta akan kebenaran
bahkan mengingkarinya. Dalam masyarakat yang tidak memiliki peradaban
intelektual ini, kecongkakan individu sudah demikian parahnya sampai-sampai
menyaingi Fir’aun dengan tirani dan arogansinya. Di
tengah-tengah kebodohan dan kesesatan, Islam memancarkan cahayanya sedikit demi
sedikit hingga membebaskan seluruh jazirah Arab dari kegelapan.
B.
Sistem Sosial
dan Budaya pada Masa Rasulullah Periode Madinah
Periode Madinah ini dapat dilihat
dari sikap penduduknya, pengalaman berperang, hubungan darah atau kekeluargaan.
Sedang dalam membangun tatanan
masyarakat baru, termasuk di dalamnya ihwal sosial dan budaya, Rasulullah SAW.
melakukan beberapa langkah, di antaranya:
a.
Membangun
Masjid Nabawi
b.
Mempersaudarakan
di antara sesama orang-orang Muslim
c.
Pengaruh
Spiritual dalam Masyarakat
d.
Pembinaan
Hukum Islam di Kota Madinah
e.
Sosial
Kemasyarakatan
Nabi Muhammad SAW. hendak menciptakan
toleransi antar golongan yang ada di Madinah,
oleh karena itu Nabi membuat perjanjian antara kaum muslimin dan
non-muslimin. Menurut Ibnu Hisyam, isi perjanjian tersebut antara lain sebagai
berikut:
a.
Pengakuan atas
hak pribadi keagamaan dan politik.
b.
Kebebasan
beragama terjamin untuk semua umat.
c.
Kewajiban
penduduk Madinah, baik muslim maupun non-muslim, dalam hal moril maupun
materiil. Mereka harus bahu-membahu menangkis semua serangan terhadapa kota
mereka (Madinah).
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghazali, Muhammad. 2008. Sejarah
Perjalanan Hidup Muhammad. Yogyakarta : Mitra Pustaka.
Al-Mubarokfurri, Syaikh
Shofiyyurrahman. 2012. Sirah Nabawiyah. Jakarta: Pustaka al-Kautsar.
Alwasilah, A Chaedar. 2010. Filsafat Bahasa dan Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Amin, Samsul Munir. 2010. Sejarah Peradaban
Islam. Jakarta : Amzah.
Hitti, Phillip K. 2013. History
of Arabs. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Irsad, Abd. Adzim. 2009. Madinah: Keajaiban dan Keagungan Kota
Nabi. Yogjakarta: A+Plus Books.
Karim, Khalil Abdul. 2002. Hegemoni
Quraisy: Agama Budaya, Kekuasaan. Yogyakarta: LKiS.
Natsir, M. 1998. Kebudayaan Islam
dalam Perspektif Sejarah. Jakarta: Giri Mukti Pasaka.
Shihab, M. Quraish. 2012. Membaca
Sirah Nabi Muhammad Saw. dalam
Sorotan Al-Qur’an dan Hadits-Hadits Shahih. Tangerang:
Lentera Hati.
[1] A Chaedar Alwasilah, Filsafat Bahasa dan Pendidikan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2010), cetakan kedua, hlm. 72
[2] Khalil Abdul Karim, Hegemoni
Quraisy; Agama, Budaya,
Kekuasaan, (Yogyakarta:
LKiS
Yogyakarta, 2002), hlm. 309
[6] Khalil Abdul Karim, Hegemoni Quraisy; Agama, Budaya, Kekuasaan, (Yogyakarta:LKiS ,2002), hlm. 314-315
[7]Khalil Abdul Karim, Hegemoni Quraisy:
Agama, Budaya, dan Kekuasaan,(Yogjakarta: LKiS yogyakarta, 2002), hlm. 245-247
[8]
Khalil Abdul Karim, Hegemoni Quraisy; Agama, Budaya, Kekuasaan, (Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2002), hlm. 264
[9] M. Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabi
Muhammad Saw. dalam Sorotan Al-Qur’an dan
Hadits-Hadits Shohih, , (Tangerang:
Lentera Hati, 2012), hlm. 503-505
[10] Syaikh Shafiyyarrahman Al-Mubarakfuri, Sirah
Nabawiyah, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2012), hlm. 216-217
[12] Khalil Abdul Karim, Hegemoni Quraisy:
Agama, Budaya, dan Kekuasaan,(Yogjakarta: LKiS yogyakarta, 2002), hlm. 216
[13]Syaikh Shofiyyurrahman al-Mubarokfurri, Sirah
Nabawiyah (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2012) , hlm. 209-212
[15] Phillip K. Hitti, History of Arabs,
(Jakarta: Serambi Ilmu Semesta,2013), hlm. 147-148
[17] Khalil Abdul Karim, Hegemoni Quraisy:
Agama, Budaya, dan Kekuasaan,(Yogjakarta: LKiS yogyakarta, 2002), hlm. 220
Komentar