Langsung ke konten utama

INTERELASI NILAI JAWA DAN ISLAM PADA ASPEK PENDIDIKAN



INTERELASI NILAI JAWA DAN ISLAM PADA ASPEK PENDIDIKAN

MAKALAH

Di Susun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Islam dan Budayaan jawa
Dosen Pengampu : Ibnu Fikri, M.Si









Disusun Oleh :
1.      Siti Chaizatul Munasiroh            (133111045)
2.      Muslih Muzaqqi             (133111053)
3.      Muhammad Kafiluddin (133111057)
4.      Nailul Farih                               (133111076)
5.       Maulida Aulia Ahnas                (133111080)



FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2013



I.              PENDAHULUAN
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan  suasana belajar dan proses pembelajaran secara aktif dalam pengembangan potensi yang dimiliki berupa kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlaq mulia serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan di Indonesia mengalami perkembangan seiring berjalannya waktu.

Pesantren adalah sebuah lembaga pendidikan keagaman di jawa, tempat anak-anak muda bisa belajar dan memperoleh pengetahuan keagamaan yang tingkatannya lebih tinggi. Alasan pokok munculnya pesantren ini adalah untuk mentransmisikan islam tradisional, karena di situlah anak-anak muda akan mengkaji lebih dalam kitab-kitab klasik berbahasa Arab yang ditulis berabad-abad yang lalu. Di jawa kitab-kitab ini dikenal sebagai kitab kuning[1]. Jumlah kitab kuning yang dipelajari di pesantren terbatas jumlahnya (al-kutub al-mu’tabarah). Ilmu yang bersangkutan dianggap sudah bulat dan tidak bisa ditambah, hanya bisa diperjelas dan dirumuskan kembali.
Pesantren adalah wujud kesinambungan budaya Hindu-Budha yang telah mengalami proses Islamisasi yang damai. Karena pada masa sebelum islam datang, di Jawa sudah ada lembaga semacam itu. Oleh karena itu  pesantren adalah bentuk dari interelasi nilai islam dan Jawa dalam bidang pendidikan. Pesantren, Walisongo dan Pendidikan adalah tiga unsur yang sangat erat dan tidak dapat terpisahkan. Pendidikan Islam yang dipelopori Walisongo merupakan perjuangan gigih, kuat, dan sabar yang diimplementasikan dengan cara sederhana yaitu menunjukkan jalan alternatif baru yang tidak mengusik tradisi dan kebiasaan lokal serta mudah di tangkap oleh masyarakat Jawa. Walisongo mendirikan pesantren sebagai media dakwah dalam menyebarkan islam dan sebagai penyambung lidah dari nabi Muhammad SAW sebagaimana hadist yang berbunyi Al-‘ulama warasatul anbiya (ulama pewaris para nabi).

  
II.           RUMUSAN MASALAH
A.     Bagaimanakah sejarahnya Pesantren? Serta bagaimana hubungannya dengan Mandala?
B.     Apa saja metode pendekatan yang dipakai dalam pendidikan Walisongo?

III.        PEMBAHASAN
A.     Sejarah Pesantren serta hubungan atau Keterkaitan Pesantren dengan Mandala

Ada ahli sejarah yang menganggap bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan keagamaan yang merupakan kelanjutan dari lembaga pendidikan keagamaan pra-islam, yang disebut mandala. Mandala telah ada sejak sebelum Majapahit dan berfungsi sebagai pusat pendidikan ( semacam sekolah ) dan keagamaan. Bangunan mandala dibangun di atas tanah perdikan yang memperoleh kebebasan sangat luas dari beban-beban penyerahan pajak, kerja rodi, dan campur tangan pihak keraton serta pemilik tanah yang tidak berkaitan dengan keagamaan. Mandala adalah tempat yang dianggap suci karena di situ tinggal para pendeta atau pertapa yang memberikan kehidupan yang patut dicontoh masyarakat sekitar karena kesalehannya, atau para pendeta yang memberikan pengajaran keagamaan Hindu-Budha untuk masyarakat. [2]

Biasanya bangunan mandala berlokasi di tempat yang terpencil, jauh dari keramaian, dan di tengah hutan atau berada di lereng-lereng gunung atau berada di ujung perbukitan, bahkan berada di tepi laut. Karena itu, mandala disebut juga wanasrama yang berarti asrama yang berlokasi di hutan, dan pemimpinnya yaitu seorang siddapandita atau disebut dengan muniwara, munindra, muniswara, maharsi, mahaguru, atau dewa guru.

Dengan demikian, mandala dinamakan pula dengan istilah kadeguruan. Bangunan mandala merupakan gabungan bangunan atau asrama yang menjadi tempat tinggal orang-orang yang terlibat pada lembaga pendidikan Hindu-Budha tersebut. Bangunan untuk tempat tinggal para guru yang dinamakan pajaran biasanya dibangun pada lokasi yang paling tinggi sebagai pusatnya. Di bagian agak bawah dibangun tempat tinggal untuk pendeta permpuan yang disebut pangubwanan. Pada bagian yang lebih rendah lagi adalah tempat tinggal pendeta laki-laki yang disebut pamanguyuan. Di sekitar bagian yang rendah tersebut dikelilingi beberapa rumah tinggal bagi ara anggota komunitas mandala beserta keluarganya yang disebut rangkang, sehingga menjadi semacam perkampungan mandala.[3] Didapati satu kompleks mandala yang di dalamnya terdapat bangunan meru bertingkat sebelas yang disebut dengan nama wanawati karena dipimpin oleh seorang dewata kili atau seorang pendeta perempuan, yang bernama Mahayani.[4]

Bila Mandala telah disebut di depan sebagai semacam lembaga pendidikan Hindu-Budha atau semacam sekolah, masi ada fungsi yang lain dari mandala, yaitu sebagai patapan, yaitu semacam tempat komunitas orang suci yang ingin melakukan praktik asketism (zuhud) dalam beberapa waktu. Di Patapan seseorang adan bisa memperoleh kekuatan surpranatural yang diinginkan dan dengan selesainya ia melakukan lelaku ia akan pulang kembali ke tempat ia dahulu tinggal.

Hubungan atau Keterkaitan Pesantren dengan Mandala

Tokoh sejarawan yang menyebutkan bahwa pesantren adalah kelanjutan dari lembaga pendidikan masa pra-islam , yaitu mandala antara lain adalah Denis Lombard. Pendapat itu didasarkan atas adanya tiga persamaan antara pesantren dan mandala, yaitu:

1.      Sama-sama memiliki lokasi jauh dari keramaian di pelosok yang kosong dan berada pada tanah perdikan atau desa yang telah memperoleh hak istimewa dari penguasa. Banyak pertapaan atau mandala di bagian timur jawa di masa Hindu yang dihuni para resi yang menjalankna latihan rohani sambil bertani. Persamaan itu ia contohkan sebagaiman sunan kalijaga yang sering bersemedi dan melakukan tirakat dipertapaan mantingan yang sepi, yang hal itu juga dilakukan oleh para resi dalam tradisi pra-islam. Dalam tradisi islam sebenarnya sunan kalijaga telah melakukan praktik uzlah (menjauhkan diri dari keramaian), sebagai salah satu lelaku seperti yang dilakukan para pengikut  tarekat di tempat yang jauh dari keramaian. Ternyata penyebaran keagamaan denga praktek sufistik  pada saat itu sangat bergasil bagi pengembangan islam dan penguatan iman terhadap masyarakat jawa yang baru melepaskan agama lama, yaitu Hindu dan mengenal islam.

Dicontohkan pula oleh Denis bahwa penyebaran islam yang dilakukan oleh Ki Ageng pandanaran dan sunan Gunung Jati adalah dengan melakukan penyerangan pusat-pusat keagamaan dan lembaga pendidikan pra-islam. Ki Ageng Pandanaran dianggap mengumpulkan para santrinya dan selanjutnya mendirikan pesantren di lokasi lembaga keagamaan yang sebelumnya, yaitu Hindu, untuk mengajarkan agama islam . adapun sunan Gunung Jati disebutkan telah mengislamkan delapan ratus orang ajar dan mengajak mereka untuk menyepi di gunung-gunung tanah pasundan. Dengan kedua contoh itu Denis Lombard menyimpulkan bahwa lembaga keagamaan pra-islam tela mengalami pengambilalihan dan islamisasi oleh para penyebar islam di jawa.[5]

2.      Lembaga pendidikan keagamaan Hindu mandala dan lembaga pendidikan keagamaan islam pesantren sama-sama memiliki tradisi ikatan guru-murid. Guru adalah bapak bagi murid dan murid berbapak kepada gurunya. Ikatan guru-murid ini merupakan ciri yang umum dalm kehidupan di mandala, yaitu murid yang jauh dari orang tuanya diserahkan pendidikannyan kepada guru sebagai pengganti orang tua di lembaga pendidikan pra-islam. Pendidikan islam, terutama karena perkembangn lembaga tarekat-tarekat yang berada di pesantren-pesantren. Sebenarnya, lebih dari tiu etika hubungan antara guru santri di pesantren sejak awal. Materi etika itu diungkapkan dalam kitab Ta’lim al-muta’allim, yang disusun oleh Burhanuddin al-Zarnuji(w.571 H). Dengan mengenal isi kitab itu akan terbentuk ketaatan murid terhadap guru atau kiai dan akan terjalin hubungan yang erat antara santri dan kiai.

3.      Persamaan berikutnya adalah yang disebut dengan tradisi menjalin komunikasi antardharma, yang juga dilakukan antarpesantren dengan perjalanan rohani atau lelana. Denis mengambil contoh perjalanan Hayam wuruk yang diiringi oleh rombongan keraton utnuk mengunjungi satu pertaan ke pertapaan yang lain. Mereka ditemui para rohaniwan Hindu-Budha dan Hayam wuruk terlibat pembahasan filsafat agama Hindu bersama para gurunya. Perjalanan semacam ini juga dilakukan para murid dan masyarakat pinggiran yang menghendaki penambahan pengetahuan kerohaniannya. Ia menyebut tiga kitab yang menjadi rujukan adanya kegiatan lelana, yaitu Negarakertagama yang menceritakan perjalanan Hayam wuruk , Tantu Panggelaran yang berisi pedoman tentang mandala-mandala di jawa Timur bagi para pengelana, dan Bujangga Manik, yang isinya adalah informasi menarik tentang bagaiman perjalanan resi dari Pasundan yang mengunjungi sejumlah pertapaan di daerah Jawa timur.[6]

Pengembaraan Rohani dalam tradisi pesantren berbeda dengan apa yang sudah diungkapkan di atas dalam tradisi agama Hindu. Pengembaraan rohani tersebut sangat berkaitan dengan perjalanan ilmiah yang ingin dicapai dalam tradisi pesantren, yaitu untuk menambah ilmu. Perjalanan ilmiah atau yang disebut Rihlah Ilmiah memunculkan santri kelana yang terus-menerus ingin menambah ilmunya. Santri kelana akan menuntut ilmu tertentu pada kiai yang secara khusus memiliki kelebihan penguasaan pada disiplin ilmu tertentu. Pencarian ilmu kepada kiai-kiai yang dianggap masyhur dalam berbagai cabang pengetahuan islam melahirkan tradisi pengembangan diri seorang kiai untuk memiliki keahlian dalam disiplin ilmu tertentu.

Ada persamaan lain antara lembaga pendidikan keagamaan Hindu Mandala dengan lembaga pendidikan keagamaan Islam pesantren.

B.     Metode pendekatan yang dipakai dalam pendidikan Walisongo
Ada beberapa jenis pendekatan pendidikan Walisongo, yaitu sebagai berikut :[7]

1.      Modeling
Jika dalam dunia Islam, Rosulullah adalah pemimpin dan panutan sentral yang tidak perlu diragukan lagi, maka dalam masyarakat santri jawa kepemimpinan rasulullah diteruskan oleh para Walisongo yang di kemudian hari sampai kini menjadikan mereka kiblat kedua setelah Nabi.
Modeling mengikuti seorang tokoh pemimpin merupakan bagian penting dalam filsafat jawa Walisongo yang menjadi kiblat kaum santri tertentu berkiblat pada guru besar dan pemimpin muslimin yaitu Nabi Muhammad SAW.

Kekuatan modeling ditopang dan sejalan dengan Value system jawa yang mementingkan paternalism dan patorn –client relation yang sudah mengakar dalam budaya masyarakat jawa. Tampaknya ada koleksi filosofi dan ideologis antara taqlid dan modeling dalam masyarakat santri jawa. Dengan demikian, ajaran taqlid yang berkembang selama berabad-abad menunjukkan pentingnya modeling dalam masyarakat santri.

Para walisongo selalu loyal pada misinya sebagai penerus nabi yang terlibat secara fisik dalam rekayasa sosial. Misi utama mereka adalah menerangkan, memperjelas, dan memecahkan persoalan-persoalan masyarakat, serta memberi model ideal bagi kehidupan sosial, agama dan masyarakat.

2.      Substansif
Ajaran Al-Qur’an dan Hadist pada dasarnya berkisar tentang hubungan Tuhan dengan makhluk dan tentang bagaimana agar makhluk dapat selamat dunia akhirat. Dengan demikian tujuan Walisongo adalah untuk menerangkan bagaimana menerapkan teori hubungan Allah dengan hambanya agar mudah ditangkap. Karena lebih mengutamakan pendekatan substansif, maka pendekatan Walisongo lebih terlihat menggunakan elemen-elemen non islam, sesungguhnya hal ini hanya merupakan alat untuk mencapai tujuan tertentu tanpa mengurangi substansi dan signifikansi ajaran yang diberikan. Pendekatan substansialis inilah yang barangkali dapat dijadikan indikasi mengapa islam di Jawa begitu kuat hingga abad 15-16.


3.      Pendidikan Islam yang Tidak Diskriminatif
Pendidikan Islam Walisongo ditunjukkan dalam pendirian pesantren. Pendidikan yang merakyat ini justru dijadikan kiblat dalam dunia pesantren dewasa ini. Pendekata Pendidikan walisongo dewasa ini telah terlembagakan dalam tradisi pesantren seperti kesalehan sebagai cara hidup kaum santri, pemahaman, dan pengarifan terhadap budaya lokal, semua ini adalah bagian dari warisan walisongo. Pendekatan pendidikan Walisongo juga ditujukan pada penguasa. Keberhasilan Walisongo terhadap pendekatan kedua ini biasanya terungkap dalam istilah populer sabdo pandito ratu yang berarti menyatunya pemimpin agama dan pemimpin negara.

4.      Pendidikan Agama yang understandable dan applicable
Pendidikan Walisongo mudah dimengerti dan dilaksanakan. Hal ini selaras dengan ajaran Nabi Wa khatibinnas ala qadri uqulihim. Pola pendidikan ini terlihat dalam rumusan Jawa klasik arep tak atatakena ilmu, sakadare dan lampahaken (carilah ilmu yang dapat engkau praktekkan dan terapkan)[8]. Pola ini menyajikan pendidikan Islam melalui media wayang yang memasyarakatkan seperti ajaran rukun Islam.

Syahadatain yang sering dipersonifikasikan dalam tokoh puntadewa tokoh tertua di antara Pandawa dalam kisah Mahabarata. Puntadewa yang memiliki pusaka Jamus Kalimasada ( kalima sada=kalimat syahadat) digambarkan sebagai raja adil yang tulus ikhlas bekerja untuk kesejahteraan rakyatnya, yakni pemimpin yang konsisten antara kata dan perbuatan. Tingkah laku yang tidak munafik ini (beriman) adalah refleksi lips of fith.

5.      Pendekatan Kasih Sayang
Bagi Walisongo mendidik adalah tugas dan panggilan agama. Mendidik murid sama halnya mendidik anak kandung sendiri. Pesan mereka dalam konteks ini adalah sayangi, hormati dan jagalah anak didikmu, hargailah tingkah laku mereka sebagaimana engkau memperlakukan anak turunmu, beri mereka makanan dan pakaian hingga mereka dapat menjalankan syariat islam dan memegang teguh ajaran agama tanpa keraguan.

Bila dewasa ini indonesia kita masih menemukan pola pendidikan yang menindas, seperti guru yang selalu merasa paling benar, baik dalam kata, tulis, maupun tingkah laku sehari-hari(apalagi dalam kelas), tindakan hukuman pada anak didik (punishment) yang lebih didorong oleh emosi pribadi dan bukan pertimbangan edukatif, maka ini semua adalah warisan penjajah yang lahir jauh setelah zaman walisongo. Pendidikan walisongo tidak mengenal “kata Bodoh” bagi seleruh murid. Kata “bodoh” hanya terlontarkan oleh kelompok angkuh, penjajah yang berucap, bersikap, dan berbuat semena-mena terhadap rakyat yang tertindas. Apabila sikap-sikap ini masih eksis dalam dunia pendidikan modern, maka agaknya pola pendidikan penjajahan masih lebih dominan dan terus berkembang meninggalkan etika leluhur walisongo.

IV.       KESIMPULAN
Ada ahli sejarah yang menganggap bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan keagamaan yang merupakan kelanjutan dari lembaga pendidikan keagamaan pra-islam, yang disebut mandala.
Persamaan antara Mandala dan Pesantren yaitu :
1.      sama-sama memiliki lokasi jauh dari keramaian di pelosok yang kosong dan berada pada tanah perdikan atau desa yang telah memperoleh hak istimewa dari penguasa.
2.      Lembaga pendidikan keagamaan Hindu mandala dan lembaga pendidikan keagamaan islam pesantren sama-sama memiliki tradisi ikatan guru-murid.
3.      Persamaan berikutnya adalah yang disebut dengan tradisi menjalin komunikasi antardharma, yang juga dilakukan antar pesantren dengan perjalanan rohani atau lelana.

Adapun Metode pendekatan yang dipakai dalam pendidikan Walisongo :
1.      Modeling
2.      Substansif
3.      Pendidikan Islam yang Tidak Diskriminatif
4.      Pendidikan Agama yang understandable dan applicable
5.      Pendekatan Kasih Sayang
V.          PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami paparkan. Kami menyadari dalam penulisan makalah ini banyak kekurangan. Maka dari itu kritik dan saran yang konstruktif sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan berikutnya. Besar harapan kami semoga makalah ini bisa memberikan banyak manfaat bagi pembaca pada umumnya dan pemakalah pada khususnya. Amin.




























DAFTAR PUSTAKA

Amin, M. Darori . Islam dan Kebudayaan Jawa. (Yogyakarta: Gama Media. 2000).
Arjunawijaya ,Supomo S.  Akakawin of Mpu Tantular.  ( The Hague: KITLV.  1977 ). 
Bruinessen, Martin van. Kitab Kuning.(Bandung: Mizan.1992).
Drewes,G.W.J. An Early Javanese Code of muslim ethics.  (The Hague: KITVL.  1978). 
Lombard, Denis. Nusa Jawa Silang Budaya. (Jakarta : Gramedia. 1997).
Santiko, Hariani. Mandala (Kadeguruan) pada Masyarakat Majapahit. (Jakarta : CV Widayu. 1986).
Sofwan, Ridin. Merumuskan kembali Interelasi Islam-Jawa. (Yogyakarta: Gama Media. 2004).




[1] Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, (Bandung: Mizan, 1992), hlm. 17
[2] Ridin Sofwan, Merumuskan kembali Interelasi Islam-Jawa,(Yogyakarta: Gama Media, 2004), 95.
[3] Supomo S, Arjunawijaya: A kakawin of Mpu Tantular, ( The Hague: KITLV, 1977 ), hlm. 93
[4] Hariani Santiko, Mandala (Kadeguruan) pada Masyarakat Majapahit,(Jakarta : CV Widayu, 1986), hlm.157
[5] Denis Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya, (Jakarta : Gramedia, 1997), hlm. 131
[6] Denis Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya, (Jakarta : Gramedia, 1997), hlm. 134
[7] M. Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa,(Yogyakarta: Gama Media, 2000), Hlm. 240-245

[8]  G.W.J. Drewes, An Early Javanese Code of muslim ethics, (The Hague: KITVL, 1978), hlm. 19

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengertian,Objek,Ruang lingkup serta Sejarah dan Pertambahan Ulumul Qur'an

PENGERTIAN, OBJEK, RUANG LINGKUP, SERTA SEJARAH DAN PERTAMBAHAN ULUMUL QUR’AN MAKALAH Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah : Ulumul Qur’an Dosen Pengampu: M ufidah , M.Pd.i DI SUSUN OLEH : 1.     MUSTOFA                              ( 133111043 ) 2.     YUSUF   HAMDANI                ( 133111044 ) 3.     SITI CHAIZATUL   M.            ( 133111045 ) 4.     USWATUN   KHASANAH      ( 133111046 ) FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN IAIN WALISONGO SEMARANG 2013 I.        PENDAHULUAN Al-Quran adalah kitab suci umat Islam. Diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui Malaikat Jibril. Kitab terakhir ini merupakan sumber utama ajaran Islam dan pedoman hidup bagi setiap Muslim. Al-Quran bukan sekedar memuat petunjuk tentang hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan sesamanya ( Hablum min Allah wa hablum min an-nas ), serta manusia dengan alam sekitarnya. Untuk memahami ajaran Islam secara s

Mengatasi kelemahan tes obyektif dan subyektif

UPAYA YANG DAPAT DILAKUKAN UNTUK MENGATASI KELEMAHAN-KELEMAHAN TES OBYEKTIF DAN SUBYEKTIF TUGAS Mata kuliah : EVALUASI PEMBELAJARAN Dosen Pengampu : Drs. H. Karnadi M.Pd. DI SUSUN OLEH : Khairul Anam                               (133111038) Siti Chaizatul Munasiroh             ( 133111045) Laila Romdhoningsih                  (133111073) Faizatul Dina                                (133111135) FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2015 A.      Kelemahan obyektif 1.       Testee main spekulasi atau menerka-nerka 2.       Menyusunya sukar 3.       Biaya administrasi besar 4.       Kerjasama mengerjakan lebih terbuka B.      Cara menangani kelemahan tes objektif 1.       Kesulitan menyususn tes objektif dapat diatasi dengan jalan banyak berlatih terus-menerus sehingga semakin lama semakin terampil. [1] 2.       Menggunakan tabel spesifikasi untuk mengatasi kelemahan nomor dua.

FILSAFAT SUHRAWARDI

PEMIKIRAN FILSAFAT SUHRAWARDI (1153-1191 M) MAKALAH Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah: Filsafat Islam Dosen Pengampu: Dr. Mahfud Junaedi, M. Ag.   DI SUSUN OLEH : 1.       SITI CHAIZATUL MUNASIROH             ( 133111045) 2.       AGUNG SUPRAYITNO                           (133111051 ) 3.       DEWI HUSNAWATI                                 (133111079 ) FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN IAIN WALISONGO SEMARANG 2014 I.          PENDAHULUAN Ketika filsafat muncul dalam kehidupan Islam, kemudian berkembang sehingga banyak dibicarakan oleh orang-orang Arab, tampillah beberapa filosof seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibn Sina dan lain-lain, kaum sejarawan banyak menulis berbagai buku tentang kehidupan, pendapat serta pemikiran mereka. Para penulis buku itu menyebut mereka “ kaum filosof Islam ”, ada pula yang menamakan “para filosof beragama Islam”, kadang-kadang disebut juga dengan ungkapan “para hikmah Islam”