Langsung ke konten utama

Potensi Ruhaniyah Manusia



POTENSI RUHANIYAH MANUSIA

MAKALAH

Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Akhlaq/Tassawuf
Dosen Pengampu : Abdul Kholiq M.Ag,




Disusun oleh :
1.         Siti Chaizatul Munasiroh       ( 133111045 )
2.         Uswatun Khasanah                ( 133111046 )
3.         Maulana Arif Setyawan         ( 133111047 )
4.         Syamsul Ma’arif                     ( 133111048 )
5.         Nasichah Chumda                 (133111049 )


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
IAIN WALISONGO SEMARANG
2013
I.         PENDAHULUAN
Manusia terdiri dari dua unsur yaitu jasmani dan rohani atau materi dan immateri, Allah berfirman :
 واذ قال ربك للملئكة انى خلق بشرا من صلصل من حماء مسنون(٢٨)
فاذا سويته ونفخت فيه من روحى فقعوا له سجدين(٢٩)
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat:
"Sesungguhnya aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering
(yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk .29. Maka apabila aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, Maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.” ( Al Hijr : 28 – 29 )

اذ قال ربك للملئكة انى خلق بشرا من طين (٧١ ) فاذا سويته ونفخت فيه من روحى فقعوا له سجدين (٧٢)
“ (Ingatlah) Ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat : Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah, maka apabila telah kusempurnakan kejadiannya dan kutiupkan kepadanya roh (ciptaan) ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya”
Berdasarkan ayat di atas, manusia terdiri dari dua komponen yaitu komponen jasmani ( materi ) dan komponen ruhani (immateri ). Gabungan antara aspek jasmani dan ruhani disebut dengan al nafs ( diri ). Al-Nafs sendiri mempunyai beberapa kekuatan ruhani seperti nafsu, akal, dan qalb. Dilihat dari sisi materi manusia tidak berbeda dengan hewan. Yang membedakan antara manusia dan hewan adalah sisi ruhaniahnya. Itulah sebabnya ketinggian derajat manusia terletak pada sisi ruhaniahnya bukan sisi jasmaniyahnya.
Maka pada kesempatan ini pemakalah hanya ingin membahas tentang sisi ruhaniyah manusia yang karenanya malaikat dan jin harus bersujud pada nabi Adam setelah Allah meniupkan ruh ke dalam tubuh nabi Adam.
II.      RUMUSAN MASALAH
A.       Apa pengertian dari nafsu? Dan apa saja macam-macamnya?
B.       Apa pengertian akal dan apa fungsinya?
C.       Apa pengertian hati dan apa fungsinya? Serta apa hikmah dari hati yang bersih?

III.   PEMBAHASAN
A.       Pengertian dan Macam-macamnya Nafsu
Allah pernah bertanya pada akal, “Siapa Aku, dan siapa kamu?” Akal pun menjawab, “ Aku adalah hamba-Mu dan Engkau adalah Tuhanku”. Kemudian Allah beralih bertanya pada nafsu, ” Siapa Aku, dan siapa kamu?” Nafsu pun menjawab, ”Aku adalah aku, dan kamu adalah kamu.” Karena kelakuan nafsu yang tak mengakui ketuhanan Allah ini, maka Allah mengurungnya dalam kelaparan selama seribu tahun. Nafsu pun tidak kuat dan akhirnya mengakui ketuhanan Allah.
Dari Kisah tersebut menandakan bahwa nafsu itu adalah makhluk yang membangkang dan anti tunduk. Nafsu seringkali disandingkan dengan hawa. Sehingga seakan-akan kedua kata tersebut satu kata majemuk yang artinya tak jauh beda dengan syahwat.
Nafsu sering dipakai dan dikonotasikan sebagai kekuatan-kekuatan yang memperbudak dalam perbuatan tercela yang bisa menceburkan ke neraka. Kata nafsu berasal dari bahasa Arab “an-nafs”. Sejatinya, nafsu adalah ruh. Sebelum bersentuhan dengan jasad, nafsu itu suci. Ia merupakan perwujudan hakikat Tuhan. Namun ketika ia kontak dengan diri manusia, terkadang ia tak mampu menahannya, dan kehilangan keseimbangan.
Nafsu (النفس): roh; nyawa; jiwa; tubuh; diri seseorang; kehendak; niat; selera; usaha.[1]
Al-Qusyairi mengatakan bahwa nafsu adalah segala sifat dan perbuatan manusia. Nafsu bermakna keinginan, kecenderungan atau dorongan hati yang kuat. Sementara al-Ghazali mengategorikan nafsu dengan dua makna. Pertama, nafsu yang memerintah perbuatan tercela. Kedua, nafsu yang memerintahkan kebaikan.
Maka jika diambil dari kedua pengertian di atas, nafsu tidaklah selalu buruk. Nafsu bisa saja mengantarkan  ke surga. Asal diri mampu menjaga keseimbangannya, serta mengontrolnya, maka nafsu tidak akan berakibat jelek.
Terbukti, dalam kajian ilmu tasawwuf, bahwa ada tujuh macam nafsu yang bisa kita pelajari.[2]
Pertama, nafsu ammarah, yaitu nafsu yang mempunyai karakter jelek. Nafsu ini mendorong manusia bertindak hedonis. Hanya untuk mencapai kelezatan dunia saja, dan memanjakan syahwat yang dilarang agama. Nafsu inilah yang kemudian melahirkan perbuatan-perbuatan tercela seperti sombong, tamak, marah, dengki, dan kikir. Dalam Al-Quran disebutkan, “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh pada kejahatan.” (QS. Yusuf: 53)
Kedua, nafsu lawwamah, yaitu nafsu yang disinari dengan cahaya hati. Nafsu ini tunduk pada kekuatan akal, tapi terkadang maksiat. Kemudian menyesal dan mencaci dirinya, dan kembali tunduk pada Tuhan. Nafsu ini memiliki karakter yang tercela seperti ujub, ghibah, tipu, riya, bohong, dan lalai. Dalam Al-Quran Allah berfirman, “Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (diri sendiri).” (al-Qiyamah: 2)
Ketiga, nafsu muthmainnah, yaitu nafsu yang tenang dan kosong dari sifat-sifat tercela dan terhiasi dengan sifat terpuji. Orang yang sudah pada tingkatan ini tergolong ahli thariqat. Pada nafsu ini terdapat sifat-sifat baik seperti dermawan, rela, ibadah, syukur, tawakkal, dan takwa. Allah berfirman, “Wahai jiwa yang tenang.”(Al-Fajr: 27)
Keempat, nafsu mulhamah, yaitu nafsu yang dianugerahi ilmu, tawaddu’, qanaah, taubat, dan kedermawanan. Oleh karena itu, nafsu ini menjadi sumber kesabaran, kekuatan menanggung derita, syukur, dan terhindar dari sifat tercela.
Kelima, nafsu radhiyah, yaitu nafsu yang ridha dan pasrah kepada Allah. Nafsu ini memunculkan karakter zuhud, ikhlas, wara’, riyadhah, dan memenuhi kewajiban.
Keenam, nafsu mardhiyah, yaitu nafsu yang mendapat ridha dari Allah. Ini terlihat dengan timbulnya kasih sayang, perilaku baik, kemuliaan, keikhlasan, dan dzikir, serta mengajak kebaikan dan memaafkan. Pada tingkatan ini, nafsu mampu mengenal Tuhannya.
Ketujuh, nafsu kamilah, yaitu nafsu yang mencapai tingkatan kesempurnaan. Nafsu ini telah melebur, dan menyatu dengan dzat Allah, sehingga mampu menampakkan sifat-sifat ketuhanan. Nafsu ini selalu memotivasi diri untuk melakukan ibadah. Ia hanya merasa bangga bila bersama dengan Tuhannya.
Sebenarnya dari ketujuh macam tersebut, dapat disederhanakan menjadi tiga kategori :
Pertama, nafsu dzalim, yaitu nafsu yang selalu berbuat jahat. Yang masuk kategori ini adalah nafsu ammarah.
Kedua, nafsu sabiqun bil khairat, yaitu selalu berpacu pada kebaikan. Yang masuk dalam kategori ini adalah nafsu muthmainnah, mardhiyah, radhiyah, dan kamilah.
Ketiga, nafsu muqtashid, yaitu nafsu yang suatu saat berbuat baik. Namun, kadang kala juga terjerembab pada lumpur kenistaan. Yang masuk dalam ketegori ini yaitu nafsu lawwamah. Allah berfirman, “Lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka (pula) ada yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah.”(al-Fathir: 32)
Abu Hamid Al Ghazali memandang nafs sebagai sifat-sifat hamba yang buruk, perbuatan dan akhlak yang tercela. Menurut Al Ghazali nafs adalah musuh yang paling berbahaya, cobaan yang paling sulit, panyakit yang paling parah.[3]
Abu Hamid Imam al- Ghazali membagi nafsu kepada 4 bagian yaitu :
1.        Keserakahan nafsu terhadap harta benda.
Seseorang yang telah mendapat anugerah Allah maka kewajiban baginya untuk selalu mensyukuri segala nikmat-Nya. Jika engkau menjadi orang kaya, maka syukurilah. Jika dirimu berkedudukan, manfaatkanlah kekuasaan dan kedudukanmu untuk memakmurkan rakyat, bukan memanfaatkan kuasa untuk mengumpul harta benda sampai tidak habis dimakan tujuh keturunan.
2.        Nafsu amarah akan membakar dan membutakan hati.
Cara terbaik untuk bisa mengendalikan nafsu amarah yang ada dalam diri sendiri dengan berusaha selalu bersabar dalam menghadapi kemarahan dan kezaliman orang lain, bersikap lapang dada, suka memaafkan dan bermurah hati. Sesungguhnya akhlak yang terpuji adalah bagi mereka yang mampu memaafkan kesalahan (kezaliman) orang lain terhadap diri kita.
Sebagaimana pesan Rasul SAW: Ingat 2 perkara dan lupakan 2 perkara, yaitu:
Ingat kebaikan orang lain pada kita, dan ingat kezaliman kita pada orang lain, serta lupakan kebaikan kita pada orang, dan lupakan kezaliman orang lain pada kita, insya allah kita menjadi pribadi muslim yang sejati.


3.        Kesenangan duniawi mendorong nafsu.
Kesenangan duniawi merupakan racun pembunuh yang mengalir dalam urat. Manusia selalu diingatkan agar tidak terjerumus akan kesenangan duniawi, karena hal itu akan mendorong nafsu menjadi liar. Orang berlomba mengejar kekuasaan, tanpa memperdulikan kaedah yang di ajarkan agama, apalagi norma-norma pekerjaan yang sebenarnya, yang terpenting ia dapat memperoleh kekuasaan walau dengan cara apapun.
4.        Nafsu syahwat.
Imam Al-Gazhali mengingatkan bahwa syaitan menggoda manusia di dunia ini melalui berbagai cara. Dan yang paling berbahaya ialah harta, wanita dan takhta (kekuasaan). Setan telah memasang perangkap godaannya, tidak sedikit manusia yang hancur dan rusak kehidupannya karena mencari kesenangan dunia semata.
Dalam ajaran Islam, nafsu itu bukan untuk dibunuh, melainkan untuk dijaga dan dikawal. Tetapi Rasulullah SAW sangat menekankan tentang adanya jihad yang batin, maknawi atau jihad melawan hawa nafsu. Ketika balik dari satu peperangan yang dahsyat melawan kaum musyrikin, Rasulullah SAW bersabda yang bermaksud :
Kita baru kembali dari satu peperangan yang kecil untuk memasuki peperangan yang lebih besar. Sahabat terkejut dan bertanya, “Peperangan apakah itu wahai Rasulullah ? ” Baginda berkata, “Peperangan melawan hawa nafsu.” (Riwayat Al Baihaqi).
Rasulullah mengajak kita untuk meninggalkan satu peperangan, satu perjuangan atau satu jihad yang kecil untuk dilatih melakukan satu perjuangan atau jihad yang besar yaitu jihad melawan hawa nafsu. Orang yang berperang melawan nafsu ini nampak seperti duduk-duduk saja, tidak seperti orang lain mungkin bisa dengan bebas berekspresi, akan tetapi sebenarnya sedang membuat kerja yang besar yaitu berjihad melawan hawa nafsu.
Dalam ilmu tasawuf, nafsu jahat dan liar sering disebut dengan istilah sifat madzmumah. Di antara sifat-sifat mazmumah itu seperti cinta dunia, tamak, sum’ah, riya’, ujub, gila pangkat dan harta, hasud, iri hati, dendam, sombong dan lain-lain. Sifat-sifat itu melekat pada hati seperti daki melekat pada badan. Kalau kita malas menggosok sifat itu akan semakin kuat dan menebal pada hati kita. Sebaliknya kalau kita rajin meneliti dan kuat menggosoknya maka hati akan bersih dan jiwa akan suci.
Siapa sanggup melawan hawa nafsu, maka Allah akan tunjukkan satu jalan hingga diberi kemenangan, diberi bantuan dan tertuju ke jalan yang benar. Inilah rahasia untuk mendapat pembelaan dari Allah. Hidup ini adalah perjuangan melawan hawa nafsu (syaitan). Kadangkala kita menang dan kadangkala kita kalah melawan hawa nafsu syetan kita.
Abu Hamid Imam al- Ghazali menyebut ada tiga bentuk perlawanan manusia terhadap hawa nafsu, yaitu:
1.      Nafs al-Muthmainnah (nafsu yang tenang), yaitu: Ketika iman menang melawan hawa nafsu, sehingga perbuatan manusia tersebut lebih banyak yang baik daripada yang buruk. Dengan kata lain mereka yang mampu menguasai terhadap hawa nafsunya.
2.      Nafs al-Lawwamah (nafsu yang gelisah dan menyesali dirinya sendiri), yaitu: Ketika iman kadangkala menang dan kadangkala kalah melawan hawa nafsu, sehingga manusia tersebut perbuatan baiknya relatif seimbang dengan perbuatan buruknya. Mereka yang sentiasa dalam bertarik tali melawan hawa nafsu. Adakalanya dia menang dan ada kalanya kalah. inilah orang yang sedang berjuang (mujahadah). Mereka ini menunaikan apa yang diperintahkan oleh Nabi Muhammad melalui sabdanya yang bermaksud: ”Berjuanglah kamu melawan hawa nafsumu sebagaimana kamu berjuang melawan musuh-musuhmu.”
3.      Nafs al-Ammarah al-Suu’ (nafsu yang mengajak kepada keburukan), yaitu: Ketika iman kalah dibandingkan dengan hawa nafsu, sehingga manusia tersebut lebih banyak berbuat yang buruk daripada yang baik. Mereka inilah yang hawa nafsu sepenuhnya telah dikuasai dan tidak dapat melawannya sama sekali.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tidak selamanya nafsu itu jelek. Tinggal diri kita saja yang mengendalikannya. Sebenarnya nafsu hanya butuh diarahkan, untuk membelokkannya ke jalan menuju surga. Jika kita melepas kendalinya, maka ia akan liar. Syetanlah yang akan memegang kendalinya, sehingga ia berlari ke segala apa yang disenangi olah syetan. Tapi jika giat kita memegang kendali itu, maka tak sekali-kali syetan mampu mengendalikannya.

B.       Pengertian dan fungsi akal
Akal berasal dari bahasa Arab ‘aqala-ya’qilu’ yang secara lughawi memiliki banyak makna, sehingga kata al ‘aql sering disebut sebagai lafazh musytarak, yakni kata yang memiliki banyak makna.
Dalam kamus bahasa Arab al-munjid fi al-lughah wa al a’lam, dijelaskan bahwa ‘aqala memiliki makna adraka (mencapai, mengetahui), fahima (memahami), tadarabba wa tafakkara (merenung dan berfikir). Kata al-‘aqlu sebagai mashdar (akar kata) juga memiliki arti nurun nuhaniyyun bihi tudriku al-nafsu ma la tudrikuhu bi al-hawas, yaitu cahaya ruhani yang dengannya seseorang dapat mencapai, mengetahui sesuatu yang tidak dapat dicapai oleh indera.  Al-‘aql juga diartikan al-qalb, hati nurani atau hati sanubari.
Ada beberapa pengertian tentang aql. Pertama, aql adalah potensi yang siap menerima pengetahuan teoritis. Kedua, aql adalah pengetahuan tentang kemungkinan sesuatu yang mungkin dan kemuhalan sesuatu yang mustahil yang muncul pada anak usia tamyiz, seperti pengetahuan bahwa dua  itu lebih banyak daripada satu dan kemustahilan seseorng dalam waktu yang bersamaan berada di dua tempat. Ketiga, aql adalah pengetahuan yang di peroleh melalui pengalaman empirik dalam berbagai kondisi. Keempat, Aql adalah potensi untuk mengetahui akibat sesuatu dan memukul syahwat yang mendorong pada kelezatan sesaat. Dengan demikian orang yang berakal adalah orang yang didalam melakukan atau tidak melakukan perbuatan didasarkan pada akibat yang akan muncul, bukan didasarkan pada syahwat yang mendatangkan kelezatan sesaat.
Aql yang pertama dan kedua merupakan bawaan, sedangkan aql yang ketiga dan yang keempat merupakan usaha.
Orang yang menggunakan akalnya akan mencegah dirinya agar tidak terjerumus kedalam kenikmatan sesaat yang membawa penderitaaan yang lebih lama. Orang yang berakal akan memilih kenikmatan yang lama disbanding kenikmatan sementara. Kenikmatan dunia adalah kenikmatan sementara. Bagi orang yang berakal, dunia tidak boleh menghalangi kebahagiaan akhirat yang lebih lama durasinya.
Di dalam al-Qur’an, kata aql dalam bentuk kata benda tidak ditemukan yang ditemukan dalam al-Qur’an adalah kata kerjanya yaitu ya’qilun, ta’qilun dan seterusnya. Aqala (fi’il madli, kata kerja lampau) berarti menahan atau mengikat. Dengan demikian al-‘Aqlu (isim fa’il) berarti orang yang menahan atau mengikat nafsunya sehingga nafsunya terkendali karena diikat atau ditahan. Sedangkan orang yang tidak mempunyai aql tidak mengikat nafsunya sehingga nafsunya liar tak terkendali. Itulah sebabnya orang berakal kadang disebut dengan uli al-nuha (yang mempunyai daya cegah) dan terkadang disebut dengan dzi hijr (yang mempunyai kesabaran). Hanya orang sabar saja yang mau mengendalikan nafsunya.[4]


C.       Pengertian, fungsi serta hikmah hati yang bersih
Dalam hadits nabi, Riwayat Bukhari-Muslim disebutkan : “ ingatlah dalam tubuh manusia ada segumpal darah,apabila baik, akan baik seluruh tubuh dan apabila rusak, rusaklah seluruhnya, itulah dia hati”. ( Riwayat Bukhari-Muslim ).[5]
Menurut Abu Hamid al-Ghazali, Qalb mempunyai dua pengertian. Pengertian pertama adalah hati jasmani (al-Qalb aljasmani) atau daging sanubari (al-Lahm al-sanubari), yitu daging khusus yang berbentuk jantung pisang yang terletak di dalam rongga dada sebelah kiri dan berisi darah hitam kental.
Sedangkan qalb dalam arti kedua adalah sebagai luthf rabbani ruhiy ( bersifat spiritual ). Al-Qalb merupakan alat untuk mengetahui hakikat sesuatu. Dengan hati, seseorang dapat melihat sesuatu sesuai dengan kenyataannya ( hakikatnya ). [6]
Dengan Hati inilah manusia mampu mengenal diri sendiri dan hati inilah yang diajak bicara, disiksa, dicela dan dituntut oleh Tuhan. Hati dalam pengertian ini, mempunyai kaitan dgn jasmani yang menentukan sifat serta watak manusia yang tampak secara lahiriah.
Qalb tempat ma’rifat dan pusatnya. Di qalb manusialah sumber ilmu transcendental ( supra rasional ). Bila ilmu-ilmu yang bersifat rasional tempat dan sumbernya di akal manusia, maka ilmu yang sifatnya supra rasional tempatnya di qalbu.
Atas dasar itu pulalah epistimologi ilmu yang bersumber dari akal berbeda dengan ilmu yang bersumber dari qalb. Ilmu dari akal sarananya adalah rasio dan pengalaman manusia, sedangkan ilmu yang bersumber dari qalb sarananya adalah wahyu, intuisi, mimpi yang benar dan termasuk di dalamnya ilmu laduni.[7]
Adapun manfaat dari hati yang bersih adalah :
Hati yang bersih adalah hati yang akan membawa kebahagiaan, kesuksesan, kemenangan, kedamaian, dunia akhirat. Sungguh sukses beruntunglah hamba Allah yang suci hatinya.
Pertama, Hati yang suci akan mudah mengakses, menerima, hidayah - petunjuk Allah, rahmat - kasih sayang Allah, maghfirah - ampunan Allah, inayah - pertolongan Allah, dan berkah demi berkah.
Kedua, hati yang bersih, do'a pun menjadi mustijabah. Karena tidak ada hijab, tidak ada yang menghalangi dia dekat dengan Allah, karena bersih hatinya, bening.
Kemudian yang ketiga, hati yang bersih, kalau ia bicara, bicaranya pun menjadi hikmah. Qoulan tsakila, kata-kata yang berbobot.. Dan kalau hamba Allah yang hatinya bersih itu bicara, orang akan mendengar, orang akan menyimak, dan mudah mendapatkan hikmah, al ilmu dari mereka yang hatinya bersih.
Keempat, hati yang bersih, bersemainya sifat-sifat yang mulia. Ikhlash, sabar, syukur, qona'ah, tawadhu, tawakal, dan sebagainya, subur sekali sifat-sifat mulia tumbuh bersemai di hatinya. Kemudian hati yang bersih mudah meraih kekhusyu'an, mudah menerima ilham, intuisi-intuisi kebaikan dan perbaikan.
Kelima, hati yang bersih, akan mendapat kedudukan yang mulia, maqoomammahmuudah. Hati yang bersih,  pusat perhatian para malaikat. Seperti bintang di tengah malam, menyala-nyala, mengundang perhatian para malaikat. Sehingga malaikat mendekatinya dan terus memujinya dan mendoakannya, agar ia terus dalam kebersihan, dalam kesucian di hadapan Allah.
Keenam, hati yang bersih, akan membuat hati itu bercahaya. Hati yang bercahaya akan menerangi pikirannya, bicaranya, penglihatannya, pendengarannya, tubuhnya bercahaya. Hai akhlak yang mulia. Kemudian ia bercahaya, maka siapapun yang mendekati dirinya akan merasakan berkah dari cahaya yang ada pada dirinya. Jangankan dia, orang mendekat dia pun akan merasakan keberkahan-Nya. Kalau suami hatinya bersih, istrinya pun mendapatkan keberkahan. Kalau istri hatinya bersih insya Allah suamipun mendapat keberkahan dari Allah. Kalau orang tua bersih hatinya insya Allah anak-anaknya pun mendapat keberkahan dari Allah. Kalau pemimpin hatinya bersih insya Allah rakyat pun mendapatkan keberkahan dari kebersihan hatinya.
Terakhir, Hati yang bersih, firasatnya sangat tajam. Hati yang bersih, syaithon tidak dapat menguasainya, silau mata syaithon melihat hati hamba Allah yang bersih, karena memancar cahaya.[8]


















IV.   KESIMPULAN
A.       Nafsu (النفس): roh; nyawa; jiwa; tubuh; diri seseorang; kehendak; niat; selera; usaha.
Al-Qusyairi mengatakan bahwa nafsu adalah segala sifat dan perbuatan manusia. Nafsu bermakna keinginan, kecenderungan atau dorongan hati yang kuat.
Macam-macam nafsu :
1.      Nafsu Ammarah
2.      Nafsu Lawwamah
3.      Nafsu Muthmainnah
4.      Nafsu Mulhamah
5.      Nafsu Radhiyah
6.      Nafsu Mardhiyah
7.      Nafsu Kamilah
B.       Akal berasal dari bahasa Arab ‘aqala-ya’qilu’ yang secara lughawi memiliki banyak makna, sehingga kata al ‘aql sering disebut sebagai lafazh musytarak.
Pertama,aql adalah potensi yang siap menerima pengetahuan teoritis.
Kedua, aql adalah pengetahuan tentang kemungkinan sesuatu yang mungkin dan kemuhalan sesuatu yang mustahil yang muncul pada anak usia tamyiz.
Ketiga, aql adalah pengetahuan yang di peroleh melalui pengalaman empirik dalam berbagai kondisi.
Keempat, Aql adalah potensi untuk mengetahui akibat sesuatu dan memukul syahwat yang mendorong pada kelezatan sesaat.
C.       Menurut Abu Hamid al-Ghazali, Qalb mempunyai dua pengertian, yaitu  hati jasmani (al-Qalb aljasmani) atau daging sanubari (al-Lahm al-sanubari) dan Qalb sebagai luthf rabbani ruhiy ( bersifat spiritual ).
D.       Menurut Abu Hamid al-Ghazali, Qalb mempunyai dua pengertian. Pengertian pertama adalah hati jasmani (al-Qalb aljasmani) atau daging sanubari (al-Lahm al-sanubari). Arti kedua adalah sebagai luthf rabbani ruhiy ( bersifat spiritual ).

V.      PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami paparkan. Kami menyadari dalam penulisan makalah ini banyak kekurangan. Maka dari itu kritik dan saran yang konstruktif sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan berikutnya. Besar harapan kami semoga makalah ini bisa memberikan banyak manfaat bagi pembaca pada umumnya dan pemakalah pada khususnya. Amin.





















DAFTAR PUSTAKA

Al Ghazali, Abu Hamid. Minhaj al Abidin ila Jannah Rab al Alamin. (Damaskus: As Sairwan. 1996)
Al Ghazali, Abu Hamid. Ihya’ Ulumuddin. Juz 2. Al-Maktabah Al-Syamilah.
Mahjuddin. Pendidikan Hati-Kajian Tasawuf Amali. (Jakarta: Kalam Mulia. 2000)
Nasirudin. Pendidikan Tasawuf. (Semarang: RaSAIL Media Group. 2010)
Usman, Syafrein Effendi dan Norain Ishak. Nafsu dan Perkahwinan. (Kuala Lumpur: Penerbitan Kintan Sdn Bhd. 1992)




                [1] Syafrein Effendi Usman dan Norain Ishak,  Nafsu dan Perkahwinan, (Kuala Lumpur: Penerbitan Kintan Sdn Bhd, 1992), hlm. 1
                [2] Mahjuddin, Pendidikan Hati-Kajian Tasawuf Amali, (Jakarta: Kalam Mulia, 2000), hlm.10-12
                [3] Abu Hamid Al Ghazali, Minhaj al Abidin ila Jannah Rab al Alamin, (Damaskus: As Sairwan, 1996), hlm. 62

[4] Nasirudin, Pendidikan Tasawuf, (Semarang: RaSAIL Media Group, 2010), hlm. 50-51
[5]Haidar Putra Daulay, Qalbun Salim,( Jakarta:Rineka Cipta, 2009), hlm.59
[6]Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, Juz 2, al-Maktabah al-Syamilah, hlm.206
[7]Haidar Putra Daulay, Qalbun Salim,( Jakarta:Rineka Cipta, 2009), hlm.60

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengertian,Objek,Ruang lingkup serta Sejarah dan Pertambahan Ulumul Qur'an

PENGERTIAN, OBJEK, RUANG LINGKUP, SERTA SEJARAH DAN PERTAMBAHAN ULUMUL QUR’AN MAKALAH Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah : Ulumul Qur’an Dosen Pengampu: M ufidah , M.Pd.i DI SUSUN OLEH : 1.     MUSTOFA                              ( 133111043 ) 2.     YUSUF   HAMDANI                ( 133111044 ) 3.     SITI CHAIZATUL   M.            ( 133111045 ) 4.     USWATUN   KHASANAH      ( 133111046 ) FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN IAIN WALISONGO SEMARANG 2013 I.        PENDAHULUAN Al-Quran adalah kitab suci umat Islam. Diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui Malaikat Jibril. Kita...

Mengatasi kelemahan tes obyektif dan subyektif

UPAYA YANG DAPAT DILAKUKAN UNTUK MENGATASI KELEMAHAN-KELEMAHAN TES OBYEKTIF DAN SUBYEKTIF TUGAS Mata kuliah : EVALUASI PEMBELAJARAN Dosen Pengampu : Drs. H. Karnadi M.Pd. DI SUSUN OLEH : Khairul Anam                               (133111038) Siti Chaizatul Munasiroh             ( 133111045) Laila Romdhoningsih                  (133111073) Faizatul Dina                                (133111135) FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2015 A.      Kelema...

FILSAFAT SUHRAWARDI

PEMIKIRAN FILSAFAT SUHRAWARDI (1153-1191 M) MAKALAH Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah: Filsafat Islam Dosen Pengampu: Dr. Mahfud Junaedi, M. Ag.   DI SUSUN OLEH : 1.       SITI CHAIZATUL MUNASIROH             ( 133111045) 2.       AGUNG SUPRAYITNO                           (133111051 ) 3.       DEWI HUSNAWATI                                 (133111079 ) FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN IAIN WALISONGO SEMARANG 2014 I.          PENDAHULUAN Ketika filsafat muncul dalam kehid...