POTENSI
RUHANIYAH MANUSIA
MAKALAH
Guna
Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah : Akhlaq/Tassawuf
Disusun
oleh :
1.
Siti Chaizatul Munasiroh (
133111045 )
2.
Uswatun Khasanah (
133111046 )
3.
Maulana Arif Setyawan
( 133111047 )
4.
Syamsul Ma’arif (
133111048 )
5.
Nasichah Chumda
(133111049 )
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
IAIN WALISONGO SEMARANG
2013
I.
PENDAHULUAN
Manusia terdiri dari
dua unsur yaitu jasmani dan rohani atau materi dan immateri, Allah berfirman :
واذ قال ربك للملئكة انى
خلق بشرا من صلصل من حماء مسنون(٢٨)
فاذا سويته ونفخت فيه من روحى فقعوا له سجدين(٢٩)
“ Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman
kepada Para Malaikat:
"Sesungguhnya aku
akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering
(yang berasal) dari lumpur
hitam yang diberi bentuk .29. Maka apabila aku
telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan kedalamnya ruh
(ciptaan)-Ku, Maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.” ( Al Hijr : 28 –
29 )
اذ قال ربك
للملئكة انى خلق بشرا من طين (٧١ ) فاذا سويته ونفخت فيه من روحى فقعوا له سجدين (٧٢)
“ (Ingatlah) Ketika Tuhanmu berfirman kepada
malaikat : Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah, maka apabila
telah kusempurnakan kejadiannya dan kutiupkan kepadanya roh (ciptaan) ku; maka
hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya”
Berdasarkan
ayat di atas, manusia terdiri dari dua komponen yaitu komponen jasmani ( materi
) dan komponen ruhani (immateri ). Gabungan antara aspek jasmani dan ruhani
disebut dengan al nafs ( diri ). Al-Nafs sendiri mempunyai beberapa kekuatan
ruhani seperti nafsu, akal, dan qalb. Dilihat dari sisi materi manusia tidak
berbeda dengan hewan. Yang membedakan antara manusia dan hewan adalah sisi
ruhaniahnya. Itulah sebabnya ketinggian derajat manusia terletak pada sisi
ruhaniahnya bukan sisi jasmaniyahnya.
Maka pada
kesempatan ini pemakalah hanya ingin membahas tentang sisi ruhaniyah manusia
yang karenanya malaikat dan jin harus bersujud pada nabi Adam setelah Allah
meniupkan ruh ke dalam tubuh nabi Adam.
II. RUMUSAN MASALAH
A. Apa pengertian dari nafsu? Dan apa saja
macam-macamnya?
B. Apa pengertian akal dan apa fungsinya?
C. Apa pengertian hati dan apa fungsinya?
Serta apa hikmah dari hati yang bersih?
III. PEMBAHASAN
A.
Pengertian dan Macam-macamnya Nafsu
Allah pernah bertanya pada akal, “Siapa Aku, dan siapa kamu?” Akal
pun menjawab, “ Aku adalah hamba-Mu dan Engkau adalah Tuhanku”. Kemudian Allah
beralih bertanya pada nafsu, ” Siapa Aku, dan siapa kamu?” Nafsu pun menjawab,
”Aku adalah aku, dan kamu adalah kamu.” Karena kelakuan nafsu yang tak mengakui
ketuhanan Allah ini, maka Allah mengurungnya dalam kelaparan selama seribu
tahun. Nafsu pun tidak kuat dan akhirnya mengakui ketuhanan Allah.
Dari Kisah tersebut menandakan bahwa nafsu itu adalah makhluk yang
membangkang dan anti tunduk. Nafsu seringkali disandingkan dengan hawa.
Sehingga seakan-akan kedua kata tersebut satu kata majemuk yang artinya tak
jauh beda dengan syahwat.
Nafsu sering dipakai dan dikonotasikan sebagai kekuatan-kekuatan
yang memperbudak dalam perbuatan tercela yang bisa menceburkan ke neraka. Kata
nafsu berasal dari bahasa Arab “an-nafs”. Sejatinya, nafsu adalah ruh.
Sebelum bersentuhan dengan jasad, nafsu itu suci. Ia merupakan perwujudan
hakikat Tuhan. Namun ketika ia kontak dengan diri manusia, terkadang ia tak
mampu menahannya, dan kehilangan keseimbangan.
Al-Qusyairi mengatakan bahwa nafsu adalah segala sifat dan
perbuatan manusia. Nafsu bermakna keinginan, kecenderungan atau dorongan hati
yang kuat. Sementara al-Ghazali mengategorikan nafsu dengan dua makna. Pertama,
nafsu yang memerintah perbuatan tercela. Kedua, nafsu yang memerintahkan
kebaikan.
Maka jika diambil dari kedua pengertian di atas, nafsu tidaklah
selalu buruk. Nafsu bisa saja mengantarkan ke surga. Asal diri mampu
menjaga keseimbangannya, serta mengontrolnya, maka nafsu tidak akan berakibat
jelek.
Terbukti, dalam kajian ilmu tasawwuf, bahwa ada tujuh macam nafsu yang
bisa kita pelajari.[2]
Pertama,
nafsu ammarah, yaitu nafsu yang mempunyai karakter jelek. Nafsu ini mendorong
manusia bertindak hedonis. Hanya untuk mencapai kelezatan dunia saja, dan
memanjakan syahwat yang dilarang agama. Nafsu inilah yang kemudian melahirkan
perbuatan-perbuatan tercela seperti sombong, tamak, marah, dengki, dan kikir.
Dalam Al-Quran disebutkan, “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan),
karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh pada kejahatan.” (QS. Yusuf: 53)
Kedua,
nafsu lawwamah, yaitu nafsu yang disinari dengan cahaya hati. Nafsu ini tunduk
pada kekuatan akal, tapi terkadang maksiat. Kemudian menyesal dan mencaci
dirinya, dan kembali tunduk pada Tuhan. Nafsu ini memiliki karakter yang
tercela seperti ujub, ghibah, tipu, riya, bohong, dan lalai. Dalam Al-Quran
Allah berfirman, “Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (diri
sendiri).” (al-Qiyamah: 2)
Ketiga,
nafsu muthmainnah, yaitu nafsu yang tenang dan kosong dari sifat-sifat tercela
dan terhiasi dengan sifat terpuji. Orang yang sudah pada tingkatan ini
tergolong ahli thariqat. Pada nafsu ini terdapat sifat-sifat baik seperti
dermawan, rela, ibadah, syukur, tawakkal, dan takwa. Allah berfirman, “Wahai
jiwa yang tenang.”(Al-Fajr: 27)
Keempat,
nafsu mulhamah, yaitu nafsu yang dianugerahi ilmu, tawaddu’, qanaah, taubat,
dan kedermawanan. Oleh karena itu, nafsu ini menjadi sumber kesabaran, kekuatan
menanggung derita, syukur, dan terhindar dari sifat tercela.
Kelima,
nafsu radhiyah, yaitu nafsu yang ridha dan pasrah kepada Allah. Nafsu ini
memunculkan karakter zuhud, ikhlas, wara’, riyadhah, dan memenuhi kewajiban.
Keenam,
nafsu mardhiyah, yaitu nafsu yang mendapat ridha dari Allah. Ini terlihat
dengan timbulnya kasih sayang, perilaku baik, kemuliaan, keikhlasan, dan
dzikir, serta mengajak kebaikan dan memaafkan. Pada tingkatan ini, nafsu mampu
mengenal Tuhannya.
Ketujuh,
nafsu kamilah, yaitu nafsu yang mencapai tingkatan kesempurnaan. Nafsu ini
telah melebur, dan menyatu dengan dzat Allah, sehingga mampu menampakkan
sifat-sifat ketuhanan. Nafsu ini selalu memotivasi diri untuk melakukan ibadah.
Ia hanya merasa bangga bila bersama dengan Tuhannya.
Sebenarnya dari ketujuh macam tersebut, dapat disederhanakan
menjadi tiga kategori :
Pertama,
nafsu dzalim, yaitu nafsu yang selalu berbuat jahat. Yang masuk kategori ini
adalah nafsu ammarah.
Kedua,
nafsu sabiqun bil khairat, yaitu selalu berpacu pada kebaikan. Yang masuk dalam
kategori ini adalah nafsu muthmainnah, mardhiyah, radhiyah, dan kamilah.
Ketiga,
nafsu muqtashid, yaitu nafsu yang suatu saat berbuat baik. Namun, kadang kala
juga terjerembab pada lumpur kenistaan. Yang masuk dalam ketegori ini yaitu
nafsu lawwamah. Allah berfirman, “Lalu di antara mereka ada yang menganiaya
diri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka (pula) ada
yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah.”(al-Fathir: 32)
Abu Hamid Al Ghazali memandang nafs sebagai
sifat-sifat hamba yang buruk, perbuatan dan akhlak yang tercela. Menurut Al
Ghazali nafs adalah musuh yang paling berbahaya, cobaan yang paling
sulit, panyakit yang paling parah.[3]
Abu Hamid Imam al- Ghazali membagi
nafsu kepada 4 bagian yaitu :
1.
Keserakahan nafsu terhadap harta
benda.
Seseorang yang telah mendapat
anugerah Allah maka kewajiban baginya untuk selalu mensyukuri segala nikmat-Nya. Jika engkau menjadi orang
kaya, maka syukurilah. Jika dirimu berkedudukan, manfaatkanlah kekuasaan dan
kedudukanmu untuk memakmurkan rakyat, bukan memanfaatkan kuasa untuk mengumpul
harta benda sampai tidak habis dimakan tujuh keturunan.
2.
Nafsu amarah akan membakar dan
membutakan hati.
Cara terbaik untuk bisa
mengendalikan nafsu amarah yang ada dalam diri sendiri dengan berusaha selalu
bersabar dalam menghadapi kemarahan dan kezaliman orang lain, bersikap lapang dada, suka memaafkan dan bermurah hati.
Sesungguhnya akhlak yang terpuji adalah bagi mereka yang mampu memaafkan
kesalahan (kezaliman) orang lain terhadap diri kita.
Sebagaimana pesan Rasul SAW:
Ingat 2 perkara dan lupakan 2 perkara, yaitu:
Ingat kebaikan orang lain pada kita,
dan ingat kezaliman kita pada orang lain, serta lupakan kebaikan kita pada
orang, dan lupakan kezaliman orang lain pada kita, insya allah kita menjadi
pribadi muslim yang sejati.
3.
Kesenangan duniawi mendorong nafsu.
Kesenangan duniawi merupakan racun
pembunuh yang mengalir dalam urat. Manusia selalu diingatkan agar tidak
terjerumus akan kesenangan duniawi, karena hal itu akan mendorong nafsu menjadi
liar. Orang berlomba mengejar kekuasaan, tanpa memperdulikan kaedah yang di
ajarkan agama, apalagi norma-norma pekerjaan yang sebenarnya, yang terpenting
ia dapat memperoleh kekuasaan walau dengan cara apapun.
4.
Nafsu syahwat.
Imam Al-Gazhali mengingatkan bahwa syaitan menggoda
manusia di dunia ini melalui berbagai cara. Dan yang paling berbahaya ialah
harta, wanita dan takhta (kekuasaan). Setan telah memasang perangkap godaannya,
tidak sedikit manusia yang hancur dan rusak kehidupannya karena mencari
kesenangan dunia semata.
Dalam ajaran Islam, nafsu itu bukan
untuk dibunuh, melainkan untuk dijaga dan dikawal. Tetapi Rasulullah SAW sangat
menekankan tentang adanya jihad yang batin, maknawi atau jihad melawan hawa
nafsu. Ketika balik dari satu peperangan yang dahsyat melawan kaum musyrikin,
Rasulullah SAW bersabda yang bermaksud :
Kita baru kembali dari satu
peperangan yang kecil untuk memasuki peperangan yang lebih besar. Sahabat
terkejut dan bertanya, “Peperangan apakah itu wahai Rasulullah ? ” Baginda
berkata, “Peperangan melawan hawa nafsu.” (Riwayat Al Baihaqi).
Rasulullah mengajak kita untuk
meninggalkan satu peperangan, satu perjuangan atau satu jihad yang kecil untuk
dilatih melakukan satu perjuangan atau jihad yang besar yaitu jihad melawan
hawa nafsu. Orang yang berperang melawan nafsu ini nampak seperti duduk-duduk
saja, tidak seperti orang lain mungkin bisa dengan bebas berekspresi, akan
tetapi sebenarnya sedang membuat kerja yang besar yaitu berjihad melawan hawa
nafsu.
Dalam ilmu tasawuf, nafsu jahat dan
liar sering disebut dengan istilah sifat madzmumah. Di antara
sifat-sifat mazmumah itu seperti cinta dunia, tamak, sum’ah, riya’, ujub,
gila pangkat dan harta, hasud, iri hati, dendam, sombong dan lain-lain.
Sifat-sifat itu melekat pada hati seperti daki melekat pada badan. Kalau kita
malas menggosok sifat itu akan semakin kuat dan menebal pada hati kita.
Sebaliknya kalau kita rajin meneliti dan kuat menggosoknya maka hati akan
bersih dan jiwa akan suci.
Siapa sanggup melawan hawa nafsu,
maka Allah akan tunjukkan satu jalan hingga diberi kemenangan, diberi bantuan dan
tertuju ke jalan yang benar. Inilah rahasia untuk mendapat pembelaan dari
Allah. Hidup ini adalah perjuangan melawan hawa nafsu (syaitan). Kadangkala
kita menang dan kadangkala kita kalah melawan hawa nafsu syetan kita.
Abu Hamid Imam al- Ghazali menyebut
ada tiga bentuk perlawanan manusia terhadap hawa nafsu, yaitu:
1.
Nafs al-Muthmainnah (nafsu yang
tenang), yaitu: Ketika iman menang melawan hawa nafsu, sehingga perbuatan
manusia tersebut lebih banyak yang baik daripada yang buruk. Dengan kata lain
mereka yang mampu menguasai terhadap hawa nafsunya.
2.
Nafs al-Lawwamah (nafsu yang
gelisah dan menyesali dirinya sendiri), yaitu: Ketika iman kadangkala
menang dan kadangkala kalah melawan hawa nafsu, sehingga manusia tersebut
perbuatan baiknya relatif seimbang dengan perbuatan buruknya. Mereka yang
sentiasa dalam bertarik tali melawan hawa nafsu. Adakalanya dia menang dan ada
kalanya kalah. inilah orang yang sedang berjuang (mujahadah). Mereka ini
menunaikan apa yang diperintahkan oleh Nabi Muhammad melalui sabdanya yang
bermaksud: ”Berjuanglah kamu melawan hawa nafsumu sebagaimana kamu berjuang
melawan musuh-musuhmu.”
3.
Nafs al-Ammarah al-Suu’ (nafsu
yang mengajak kepada keburukan), yaitu: Ketika iman kalah dibandingkan
dengan hawa nafsu, sehingga manusia tersebut lebih banyak berbuat yang buruk
daripada yang baik. Mereka inilah yang hawa nafsu sepenuhnya telah dikuasai dan
tidak dapat melawannya sama sekali.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tidak selamanya nafsu
itu jelek. Tinggal diri kita saja yang mengendalikannya. Sebenarnya nafsu hanya
butuh diarahkan, untuk membelokkannya ke jalan menuju surga. Jika kita melepas
kendalinya, maka ia akan liar. Syetanlah yang akan memegang kendalinya,
sehingga ia berlari ke segala apa yang disenangi olah syetan. Tapi jika giat
kita memegang kendali itu, maka tak sekali-kali syetan mampu mengendalikannya.
B.
Pengertian
dan fungsi akal
Akal berasal dari bahasa Arab ‘aqala-ya’qilu’ yang secara lughawi
memiliki banyak makna, sehingga kata al ‘aql sering disebut sebagai lafazh
musytarak, yakni kata yang memiliki banyak makna.
Dalam kamus bahasa Arab al-munjid fi al-lughah wa al a’lam, dijelaskan
bahwa ‘aqala memiliki makna adraka (mencapai, mengetahui), fahima (memahami),
tadarabba wa tafakkara (merenung dan berfikir). Kata al-‘aqlu sebagai mashdar
(akar kata) juga memiliki arti nurun nuhaniyyun bihi tudriku al-nafsu ma la
tudrikuhu bi al-hawas, yaitu cahaya ruhani yang dengannya seseorang dapat
mencapai, mengetahui sesuatu yang tidak dapat dicapai oleh indera. Al-‘aql juga diartikan al-qalb, hati nurani
atau hati sanubari.
Ada beberapa pengertian tentang aql. Pertama, aql adalah
potensi yang siap menerima pengetahuan teoritis. Kedua, aql adalah
pengetahuan tentang kemungkinan sesuatu yang mungkin dan kemuhalan sesuatu yang
mustahil yang muncul pada anak usia tamyiz, seperti pengetahuan bahwa dua itu lebih banyak daripada satu dan
kemustahilan seseorng dalam waktu yang bersamaan berada di dua tempat. Ketiga,
aql adalah pengetahuan yang di peroleh melalui pengalaman empirik dalam
berbagai kondisi. Keempat, Aql adalah potensi untuk mengetahui akibat
sesuatu dan memukul syahwat yang mendorong pada kelezatan sesaat. Dengan
demikian orang yang berakal adalah orang yang didalam melakukan atau tidak
melakukan perbuatan didasarkan pada akibat yang akan muncul, bukan didasarkan
pada syahwat yang mendatangkan kelezatan sesaat.
Aql yang pertama dan kedua merupakan
bawaan, sedangkan aql yang ketiga dan yang keempat merupakan usaha.
Orang yang menggunakan akalnya akan
mencegah dirinya agar tidak terjerumus kedalam kenikmatan sesaat yang membawa
penderitaaan yang lebih lama. Orang yang berakal akan memilih kenikmatan yang
lama disbanding kenikmatan sementara. Kenikmatan dunia adalah kenikmatan
sementara. Bagi orang yang berakal, dunia tidak boleh menghalangi kebahagiaan
akhirat yang lebih lama durasinya.
Di dalam al-Qur’an, kata aql dalam
bentuk kata benda tidak ditemukan yang ditemukan dalam al-Qur’an adalah kata
kerjanya yaitu ya’qilun, ta’qilun dan seterusnya. Aqala (fi’il
madli, kata kerja lampau) berarti menahan atau mengikat. Dengan demikian al-‘Aqlu
(isim fa’il) berarti orang yang menahan atau mengikat nafsunya sehingga
nafsunya terkendali karena diikat atau ditahan. Sedangkan orang yang tidak
mempunyai aql tidak mengikat nafsunya sehingga nafsunya liar tak terkendali.
Itulah sebabnya orang berakal kadang disebut dengan uli al-nuha (yang
mempunyai daya cegah) dan terkadang disebut dengan dzi hijr (yang
mempunyai kesabaran). Hanya orang sabar saja yang mau mengendalikan nafsunya.[4]
C. Pengertian, fungsi serta hikmah hati
yang bersih
Dalam hadits
nabi, Riwayat Bukhari-Muslim disebutkan : “ ingatlah dalam tubuh manusia ada
segumpal darah,apabila baik, akan baik seluruh tubuh dan apabila rusak,
rusaklah seluruhnya, itulah dia hati”. ( Riwayat Bukhari-Muslim ).[5]
Menurut Abu Hamid al-Ghazali, Qalb
mempunyai dua pengertian. Pengertian pertama adalah hati jasmani (al-Qalb
aljasmani) atau daging sanubari (al-Lahm al-sanubari), yitu daging khusus yang
berbentuk jantung pisang yang terletak di dalam rongga dada sebelah kiri dan
berisi darah hitam kental.
Sedangkan qalb dalam arti kedua
adalah sebagai luthf rabbani ruhiy ( bersifat spiritual ). Al-Qalb merupakan alat
untuk mengetahui hakikat sesuatu. Dengan hati, seseorang dapat melihat sesuatu
sesuai dengan kenyataannya ( hakikatnya ).
[6]
Dengan Hati inilah manusia mampu mengenal diri sendiri dan hati inilah yang
diajak bicara, disiksa, dicela dan dituntut oleh Tuhan. Hati dalam pengertian
ini, mempunyai kaitan dgn jasmani yang menentukan sifat serta watak manusia yang
tampak secara lahiriah.
Qalb tempat ma’rifat dan pusatnya. Di qalb manusialah sumber ilmu
transcendental ( supra rasional ). Bila ilmu-ilmu yang bersifat rasional tempat
dan sumbernya di akal manusia, maka ilmu yang sifatnya supra rasional tempatnya
di qalbu.
Atas dasar itu pulalah epistimologi ilmu yang bersumber dari akal
berbeda dengan ilmu yang bersumber dari qalb. Ilmu dari akal sarananya adalah rasio
dan pengalaman manusia, sedangkan ilmu yang bersumber dari qalb sarananya
adalah wahyu, intuisi, mimpi yang benar dan termasuk di dalamnya ilmu laduni.[7]
Adapun manfaat dari hati yang bersih
adalah :
Hati yang bersih adalah hati yang akan membawa kebahagiaan, kesuksesan, kemenangan, kedamaian, dunia akhirat. Sungguh sukses beruntunglah hamba Allah yang suci hatinya.
Hati yang bersih adalah hati yang akan membawa kebahagiaan, kesuksesan, kemenangan, kedamaian, dunia akhirat. Sungguh sukses beruntunglah hamba Allah yang suci hatinya.
Pertama, Hati yang suci akan mudah
mengakses, menerima, hidayah - petunjuk Allah, rahmat - kasih sayang Allah,
maghfirah - ampunan Allah, inayah - pertolongan Allah, dan berkah demi berkah.
Kedua, hati yang bersih, do'a pun menjadi
mustijabah. Karena tidak ada hijab, tidak ada yang menghalangi dia dekat dengan
Allah, karena bersih hatinya, bening.
Kemudian yang ketiga, hati
yang bersih, kalau ia bicara, bicaranya pun menjadi hikmah. Qoulan tsakila,
kata-kata yang berbobot.. Dan kalau hamba Allah yang hatinya bersih itu bicara,
orang akan mendengar, orang akan menyimak, dan mudah mendapatkan hikmah, al
ilmu dari mereka yang hatinya bersih.
Keempat, hati yang bersih, bersemainya
sifat-sifat yang mulia. Ikhlash, sabar, syukur, qona'ah, tawadhu, tawakal, dan
sebagainya, subur sekali sifat-sifat mulia tumbuh bersemai di hatinya. Kemudian
hati yang bersih mudah meraih kekhusyu'an, mudah menerima ilham, intuisi-intuisi
kebaikan dan perbaikan.
Kelima, hati yang bersih, akan mendapat
kedudukan yang mulia, maqoomammahmuudah. Hati yang bersih, pusat perhatian para malaikat. Seperti bintang
di tengah malam, menyala-nyala, mengundang perhatian para malaikat. Sehingga
malaikat mendekatinya dan terus memujinya dan mendoakannya, agar ia terus dalam
kebersihan, dalam kesucian di hadapan Allah.
Keenam, hati yang bersih, akan membuat
hati itu bercahaya. Hati yang bercahaya akan menerangi pikirannya, bicaranya,
penglihatannya, pendengarannya, tubuhnya bercahaya. Hai akhlak yang mulia.
Kemudian ia bercahaya, maka siapapun yang mendekati dirinya akan merasakan
berkah dari cahaya yang ada pada dirinya. Jangankan dia, orang mendekat dia pun
akan merasakan keberkahan-Nya. Kalau suami hatinya bersih, istrinya pun
mendapatkan keberkahan. Kalau istri hatinya bersih insya Allah suamipun
mendapat keberkahan dari Allah. Kalau orang tua bersih hatinya insya Allah
anak-anaknya pun mendapat keberkahan dari Allah. Kalau pemimpin hatinya bersih
insya Allah rakyat pun mendapatkan keberkahan dari kebersihan hatinya.
Terakhir, Hati yang bersih, firasatnya
sangat tajam. Hati yang bersih, syaithon tidak dapat menguasainya, silau mata
syaithon melihat hati hamba Allah yang bersih, karena memancar cahaya.[8]
IV. KESIMPULAN
A.
Nafsu (النفس): roh; nyawa; jiwa; tubuh; diri seseorang; kehendak; niat;
selera; usaha.
Al-Qusyairi
mengatakan bahwa nafsu adalah segala sifat dan perbuatan manusia. Nafsu bermakna
keinginan, kecenderungan atau dorongan hati yang kuat.
Macam-macam
nafsu :
1. Nafsu Ammarah
2. Nafsu Lawwamah
3. Nafsu
Muthmainnah
4. Nafsu Mulhamah
5. Nafsu Radhiyah
6. Nafsu Mardhiyah
7. Nafsu Kamilah
B.
Akal berasal dari bahasa Arab ‘aqala-ya’qilu’ yang secara lughawi
memiliki banyak makna, sehingga kata al ‘aql sering disebut sebagai lafazh
musytarak.
Pertama,aql adalah potensi yang siap menerima pengetahuan
teoritis.
Kedua, aql adalah
pengetahuan tentang kemungkinan sesuatu yang mungkin dan kemuhalan sesuatu yang
mustahil yang muncul pada anak usia tamyiz.
Ketiga, aql adalah
pengetahuan yang di peroleh melalui pengalaman empirik dalam berbagai kondisi.
Keempat, Aql adalah
potensi untuk mengetahui akibat sesuatu dan memukul syahwat yang mendorong pada
kelezatan sesaat.
C.
Menurut Abu Hamid al-Ghazali, Qalb
mempunyai dua pengertian, yaitu hati
jasmani (al-Qalb aljasmani) atau daging sanubari (al-Lahm al-sanubari) dan Qalb
sebagai luthf rabbani ruhiy ( bersifat spiritual ).
D.
Menurut Abu Hamid al-Ghazali, Qalb
mempunyai dua pengertian. Pengertian pertama adalah hati jasmani (al-Qalb
aljasmani) atau daging sanubari (al-Lahm al-sanubari). Arti kedua adalah
sebagai luthf rabbani ruhiy ( bersifat spiritual ).
V. PENUTUP
Demikianlah
makalah yang dapat kami paparkan. Kami menyadari dalam penulisan makalah ini
banyak kekurangan. Maka dari itu kritik dan saran yang konstruktif sangat kami
harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan berikutnya. Besar harapan kami
semoga makalah ini bisa memberikan banyak manfaat bagi pembaca pada umumnya dan
pemakalah pada khususnya. Amin.
DAFTAR
PUSTAKA
Al Ghazali, Abu
Hamid. Minhaj al Abidin ila Jannah Rab al Alamin. (Damaskus: As Sairwan.
1996)
Al Ghazali, Abu
Hamid. Ihya’ Ulumuddin. Juz 2. Al-Maktabah Al-Syamilah.
Mahjuddin. Pendidikan
Hati-Kajian Tasawuf Amali. (Jakarta: Kalam Mulia. 2000)
Nasirudin. Pendidikan
Tasawuf. (Semarang: RaSAIL Media Group. 2010)
Usman,
Syafrein Effendi dan Norain Ishak. Nafsu dan Perkahwinan. (Kuala Lumpur:
Penerbitan Kintan Sdn Bhd. 1992)
[3] Abu
Hamid Al Ghazali, Minhaj al Abidin ila Jannah Rab al Alamin, (Damaskus:
As Sairwan, 1996), hlm. 62
[5]Haidar Putra Daulay, Qalbun Salim,( Jakarta:Rineka Cipta, 2009),
hlm.59
[6]Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, Juz 2, al-Maktabah
al-Syamilah, hlm.206
[7]Haidar Putra Daulay, Qalbun Salim,( Jakarta:Rineka Cipta, 2009),
hlm.60
Komentar